Cari Blog Ini

KONSEP PUSKESMAS

KONSEP PUSKESMAS: "
Pengertian Puskesmas
  • Puskesmas adalah unit pelaksana teknis (UPT) dinas kesehatan kabupaten/kota yang bertanggungjawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja

  • UPT tugasnya adalah menyelenggarakan sebagian tugas teknis Dinas Kesehatan

  • Pembangunan Kesehatan maksudnya adalah penyelenggara upaya kesehatan

  • Pertanggung jawaban secara keseluruhan ada diDinkes dan sebagian ada di Puskesmas

  • Wilayah Kerja dapat berdasarkan kecamatan, penduduk, atau daerah terpencil


Visi Puskesmas
  • Visi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh Puskesmas adalah tercapainya Kecamatan Sehat menuju terwujudnya Indonesia Sehat

Indikator Kecamatan Sehat:
(1) lingkungan sehat,
(2) perilaku sehat,
(3) cakupan pelayanan kesehatan yang bermutu
(4) derajat kesehatan penduduk kecamatan

Misi Puskesmas
  1. Menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan di wilayah kerjanya

  2. Mendorong kemandirian hidup sehat bagi keluarga dan masyarakat di wilayah kerjanya

  3. Memelihara dan meningkatkan mutu, pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan

  4. Memelihara dan meningkatkan kesehatan perorangan, keluarga dan masyarakat beserta lingkungannya


Fungsi Puskesmas
  1. Pusat Penggerak Pembangunan Berwawasan Kesehatan

  2. Pusat Pemberdayaan Masyarakat

  3. Pusat Pelayanan Kesehatan Strata Pertama

  4. Pelayanan Kesehatan Perorangan

  5. Pelayanan Kesehatan Masyarakat


Kedudukan
  • Sistem Kesehatan Nasional → sebagai sarana pelayanan kesehatan strata pertama yang bertanggungjawab menyelenggarakan UKP dan UKM di wilayah kerjanya.

  • Sistem Kesehatan Kabupaten/Kota → sebagai UPT Dinas Kesehatan yang bertanggungjawab menyelenggarakan sebagian tugas pembangunan kesehatan Kabupaten/kota di wilayah kerjanya.

  • adalah sebagai unit pelaksana teknisàSistem Pemerintahan Daerah dinas kesehatan kabupaten/kota yang merupakan unit struktural Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota bidang kesehatan di tingkat kecamatan.

  • Antar Sarana Pelayanan Kesehatan Strata Pertama → sebagai mitra dan sebagai pembina upaya kesehatan berbasis dan bersumberdaya masyarakat seperti Posyandu, Polindes, Pos Obat Desa dan Pos UKK.


Struktur Organisasi
  • Kepala Puskesmas

  • Unit Tata Usaha:

  1. Data dan Informasi,

  2. Perencanaan dan Penilaian,

  3. Keuangan, Umum dan Kepegawaian

  • Unit Pelaksana Teknis Fungsional Puskesmas:

  1. UKM / UKBM

  2. UKP

  • Jaringan pelayanan Puskesmas:

  1. Unit Puskesmas Pembantu

  2. Unit Puskesmas Keliling

  3. Unit Bidan di Desa/Komunitas


Tata Kerja
  • Kantor Camat → koordinasi

  • Dinkes → UPT → bertanggung jawab ke Dinkes

  • Jaringan Pelayanan Kesehatan Strata Pertama → sebagi mitra

  • Upaya kesehatan bersumberdaya masyarakat → sebagai pembina

  • Jaringan Pelayanan Kesehatan Rujukan →kerjasama

  • Lintas sektor → koordinasi

  • Masyarakat → perlu dukungan/partisipasi →BPP (Badan Penyantun Puskesmas)


Badan Penyantun Puskesmas (BPP)
Pengertian :
  • Suatu organisasi yang menghimpun tokoh-tokoh masyarakat peduli kesehatan yang berperan sebagai mitra kerja Puskesmas dalam menyelenggarakan upaya pembangunan kesehatan di wilayah kerja Puskesmas.

Fungsi:
  • Melayani pemenuhan kebutuhan penyelenggaraan pembangunan kesehatan oleh Puskesmas (to serve)

  • Memperjuangkan kepentingan kesehatan dan keberhasilan pembangunan kesehatan oleh Puskesmas (to advocate)

  • Melaksanaan tinjauan kritis dan memberikan masukan tentang kinerja Puskesmas (to watch)


Upaya Puskesmas
  • Ada dua: UKM DAN UKP

  • Upaya kesehatan Wajib → upaya berdasarkan komitmen nasional, regional dan global serta punya daya ungkit tinggi untuk peningkatan derajat kesehatan masyarakat serta wajib diselenggarakan puskesmas di wilayah Indonesia.

  • Upaya Kesehatan Pengembangan → upaya yang ditetapkan berdasarkan permasalahan kesehatan yang ditemukan di masyarakat serta yang disesuaikan dengan kemampuan Puskesmas


Upaya Kesehatan Wajib:
1. Upaya Promosi Kesehatan
2. Upaya Kesehatan Lingkungan
3. Upaya Kesehatan Ibu dan Anak serta Keluarga Berencana
4. Upaya Perbaikan Gizi Masyarakat
5. Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular
6. Upaya Pengobatan

Upaya Kesehatan Pengembangan
1. Upaya Kesehatan Sekolah,
2. Upaya Kesehatan Olah Raga,
3. Upaya Perawatan Kesehatan Masyarakat,
4. Upaya Kesehatan Kerja,
5. Upaya Kesehatan Gigi dan Mulut,
6. Upaya Kesehatan Jiwa
7. Upaya Kesehatan Mata,
8. Upaya Kesehatan Usia Lanjut,
9. Upaya Pembinaan Pengobatan Tradisional.

Azas Penyelenggaraan
  • Azas Pertanggungjawaban Wilayah →bertanggung jawab meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah kerjanya

  • Azas Pemberdayaan Masyarakat → Puskesmas wajib memberdayakan perorangan, keluarga dan masyarakat, agar berperan aktif dalam penyelenggaraan setiap upaya Puskesmas

  • Azas Keterpaduan

  1. Azas keterpaduan lintas program → MTBS, UKS, PUSLING, POSYANDU

  2. Azas Keterpaduan Lintas Sektor → UKS, GSI, UKK

  • Azas Rujukan

  1. Rujukan Upaya Kesehatan Perorangan → kasus, spesimen, ilmu pengetahuan

  2. Rujukan Upaya Kesehatan Masyarakat → sarana dan logistik, tenaga, operasional


Manajemen Puskesmas
  • P1: Perencanaan

  1. Rencana Usulan Kegiatan

  2. Rencana Pelaksanaan Kegiatan

  • P2: Pelaksanaan dan Pengendalian

  1. Pengorganisasian

  2. Penyelenggaraan

  3. Pemantauan

  • P3: Pengawasan dan Pertanggungjawaban

  • Pengawasan internal dan eksternal

  • Pertanggungjawaban
Baca Selengkapnya - KONSEP PUSKESMAS

Mengapa Dokter Menggunakan Baju Hijau??

Mengapa Dokter Menggunakan Baju Hijau??
Semula memang yang digunakan adalah warna putih yang melambangkan kebersihan. Namun, seorang dokter berpengaruh menggantinya dengan warna hijau karena menurut dia warna hijau lebih nyaman di mata. Walaupu sulit dikonfirmasi mengapa warna hijau jadi populer karena alasan ini, hijau memang cocok bagi dokter untuk melihat lebih baik di ruang pembedahan, karena hijau adalah lawan dari warna merah dalam roda warna.
Menurut seorang ahli psikologi, melihat pada warna hijau dapat menyegarkan mata ahli bedah dalam melihat benda-benda bewarna merah, termasuk organ-organ tubuh yang berlumuran darah saat pembedahan. Melihat warna merah terus meneruts menyebabkan sinyal warna merah di otak memudar sensifitasnya terhadap variasi warna merah.
Alasan lainnya adalah, terus-menerus berfokus pada warna merah akan menyebabkan ilusi nofa berwarna hijau pada latar warna berwarna terang atau putih. Ini akan menggangu penlihatan dokter. Jika warna baju ahli bedah berwarna hijau, ilusi ini akan memudar dan tidak akan mengganggu penglihatan dokter
Baca Selengkapnya - Mengapa Dokter Menggunakan Baju Hijau??

Gambaran faktor penyebab rendahnya peran serta ibu balita di posyandu

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagai penjabaran dari visi Departemen Kesehatan, maka tujuan yang akan dicapai adalah terselenggaranya pembangunan kesehatan secara berhasil guna dan berdaya guna dalam rangka mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi tingginya. Dalam pelaksanaannya masyarakat harus dapat berperan aktif sejak dimulainya perencanaan kebijakan pembangunan kesehatan. Pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan mendorong masyarakat agar mampu secara mandiri menjamin terpenuhinya kebutuhan kesehatan dan kesinambungan pelayanan kesehatan (Depkes RI, 2005).
Fungsi pemerintah lebih di tekankan pada penyediaan fasilitas, sarana pra sarana, pembinaan dan penyuluhan, serta penyediaan tenaga kesehatan. Bentuk peran serta masyarakat yang paling dominan dibidang kesehatan saat ini adalah posyandu, yang sudah mampu menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB), serta bisa meningkatkan rata-rata umur harapan hidup. Perkembangan terakhir, menunjukkan, bahwa walaupun secara kualitas jumlah posyandu yang ada saat ini sudah memadai, namun secara kualitas masih perlu di tingkatkan, misalnya kelengkapan sarana, dan ketrampilan kader yang masih rendah yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap menurunnya status gizi masyarakat, khususnya kelompok rentan yaitu bayi, anak balita, ibu hamil dan menyusui (Depkes RI, 2006).
Di Kabupaten Lampung Timur diperoleh data angka kematian bayi pada tahun 2005 adalah 124 kasus atau 6,31 per 1000 kelahiran hidup. Data tersebut menunjukkan bahwa target penurunan angka kematian bayi sebesar 3,7 per 1000 kelahiran hidup belum tercapai. Jumlah bayi lahir dan kematian bayi terbanyak terjadi di Kecamatan Raman Utara. Bila dilihat dari faktor penyebab kematian tersebut disebabkan oleh Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) (29,7%) Asfiksia (17%), Pneomonia (1,7%), Diare (12,7%) dan penyebab lain (39%) (Dinkes Lampung Timur, 2006).
Angka kematian ibu pada tahun 2005 di Kabupaten Lampung Timur sebanyak 18 kasus. Setiap tahun terjadi fluktuasi angka kematian ibu, dimana pada tahun 2001 terjadi 13 kasus, tahun 2002 sebanyak 9 kasus, tahun 2003 terjadi 20 kasus dan tahun 2004 sebanyak 19 kasus. Penyebab kematian ibu terjadi karena eklamsi (31,8%), perdarahan (27,3%), aborsi (27,3%), partus lama (4,6%) dan penyebab lain (9,1%). Namun demikian angka tersebut belum menggambarkan jumlah kematian yang sebenarnya karena tidak setiap Puskesmas membuat laporannya (Dinkes Lampung Timur, 2006).
Dilihat dari status gizi masyarakat, pada tahun 2005 terjadi 233 kasus gizi buruk di Kabupaten Lampung Timur. Kondisi ini ditemukan di semua Kecamatan. Hasil pemantauan status gizi, Kekurangan Energi Protein (KEP) mengalami peningkatan pada 3 tahun terakhir. Berdasarkan hasil penimbangan di Posyandu terdapat 967 (1,76%) menderita Bawah Garis Merah (BGM) dan terjadi kasus BBLR sebanyak 118 kasus (0,71%) dari jumlah kelahiran (Dinkes Lampung Timur, 2006).
Analisis faktor yang berpengaruh terhadap tingginya angka kematian ibu, bayi dan kasus gizi buruk di Indonesia ternyata di pengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari tingkat pendidikan dan pengetahuan, sosial budaya, sosial ekonomi, posisi geografis dan aksesbilitas ibu pada fasilitas kesehatan modern. Faktor ini sangat kompleks dan saling berkaitan sehingga tidak mudah untuk menanggulanginya (Dinkes Propinsi Lampung, 2006).
Berbagai upaya telah dan akan selalu dilakukan oleh pemerintah, sektor swasta dan masyarakat untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Peran serta masyarakat menjadi begitu penting sejak dikembangkannya posyandu sebagai sarana pendidikan dan pelayanan gizi kepada para ibu agar lebih sadar gizi. Posyandu merupakan salah satu bentuk partisipasi masyarakat yang punya pengaruh sangat besar terhadap peningkatan status gizi bayi dan balita dan mempunyai daya ungkit besar terhadap penurunan angka kematian bayi (Depkes Kab. Lampung Timur, 2006).
Dalam pelaksanaannya posyandu melayani 5 program prioritas yaitu KB, KIA, gizi, imunisasi dan penanggulangan diare. Dari 5 kegiatan tersebut tidak semua kegiatan bisa dilakukan sendiri oleh masyarakat, khususnya dalam pelayanan antenatal, pelayanan kontrasepsi (kecuali pil dan kondom) dan imunisasi. Oleh sebab itu dalam kegiatan posyandu yang dilakukan 1 bulan sekali tersebut haru ada setidaknya 2 petugas Pusksemas untuk memberikan pelayanan teknis dan bimbingan atau pembinaan (Depkes RI, 2001).

Memperhatikan realita yang terjadi di masyarakat saat ini, bahwa Posyandu telah menjadi bagian yang penting dalam pembangunan kesehatan masyarakat pedesaan di Indonesia. Agar manfaat Posyandu semakin besar di perlukan adanya interaksi yang baik antara PKK, Puskesmas, Kader dan masyarakat sendiri sebagai pelaksanaan dan sekaligus target kinerja Posyandu (Depkes RI, 1990).
Petugas kesehatan tidak bisa berbuat banyak jika kader tidak menyelenggarakan kegiatan Posyandu yang telah dijadwalkan. Usaha kader juga akan sia-sia jika warga tidak ada yang datang, selanjutnya peran serta ibu yang tidak aktif juga akan berdampak langsung terhadap kesehatan ibu dan anak karena kurangnya pemantauan petugas (Depkes RI, 1990).
Hasil pengamatan penulis yang telah dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Raman Utara Kabupaten Lampung Timur, ternyata tingkat partisipasi ibu untuk datang ke Posyandu bervariasi. Data yang ada menunjukkan terdapat 890 ibu hamil dan yang datang ke posyandu hanya 27%, ibu bayi dan balita 3561 orang dengan tingkat keaktifan 35%. Data tersebut menunjukkan bahwa sebagian ibu hamil, ibu bayi dan balita belum memanfaatkan posyandu untuk mendapatkan pelayanan. Di Kecamatan Raman Utara, pada tahun 2006 lalu terdapat 11 kasus AKB, 9 kasus AKI, 1 orang kasus Gizi Buruk, 20 bayi menderita BGM (Puskesmas Raman Utara, 2006).
Selanjutnya untuk bisa mengetahui tingkat partisipasi ibu hamil, ibu bayi dan balita dalam memanfaatkan posyandu, maka dipilih Posyandu Anggrek di Desa Raman Aji Kecamatan Raman Utara Kabupaten Lampung Timur. Data yang ada pada Posyandu Anggrek selama bulan Maret-April 2007 menunjukkan jumlah ibu bayi dan balita 76 orang. Dari jumlah tersebut terdapat 41 ibu bayi dan balita yang tidak datang ke Posyandu, dengan tingkat keaktifan 31%, ibu hamil 5 orang, dengan tingkat keaktifan 0%. Dengan demikian bila dibanding dengan target cakupan Posyandu Purnama yaitu tingkat kehadiran diatas 50%, maka kondisi ini berada di bawah rata-rata target ideal.
Dari data diatas, dapat disimpulkan bahwa tingkat partisipasi ibu hamil, ibu bayi dan balita dalam memanfaatkan Posyandu masih rendah. Berdasarkan permasalah yang ada tersebut Penulis mengambil judul penelitian “Gambaran Faktor Penyebab Rendahnya Peran Serta Ibu Bayi dan Balita di Posyandu Anggrek Desa Raman Aji Kecamatan Raman Utara Lampung Timur.”

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari data pada latar belakang dirumuskan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut : “Bagimanakah Gambaran Faktor Penyebab Rendahnya Peran Serta Ibu Bayi dan Balita di Posyandu Anggrek Desa Raman Aji Kecamatan Raman Utara.”

DOWNLOAD KLIK DISINI:
Gambaran faktor penyebab rendahnya peran serta ibu balita di posyandu
Baca Selengkapnya - Gambaran faktor penyebab rendahnya peran serta ibu balita di posyandu

Gambaran efek samping KB suntik depo progestin di puskesmas pembantu

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keluarga Berencana (KB) adalah suatu tindakan untuk menghindari atau mendapatkan kelahiran, mengatur interval kehamilan dan menentukan jumlah anak dalam keluarga. KB merupakan suatu cara yang efektif untuk mencegah mortalitas ibu dan anak karena dapat menolong pasangan suami istri menghindari kehamilan resiko tinggi, dapat menyelamatkan jiwa dan mengurangi angka kesakitan. Dengan KB ibu juga dapat terhindar dari “4” terlalu, too Young (terlalu muda), too old (terlalu tua), too many (terlalu banyak) dan too cloose (terlalu dekat jaraknya) (Hartanto, 2003). Program KB nasional mempunyai arti penting dalam pelaksanaan pembangunan di bidang kependudukan dan keluarga kecil berkualitas yang dilaksanakan secara berkesinambungan (BKKBN, 2005).
Menurut (Prawirohardjo, 2001) secara umum tujuan KB adalah mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera. Dengan tidak mengikuti gerakan KB akan menimbulkan masalah pada bidang pendidikan, masalah gizi dan pangan, keamanan, lapangan kerja serta masalah perumahan dan tempat tinggal. Efek samping yang dialami akseptor KB suntik biasanya dikarenakan kurangnya KIE tentang efek samping yang mungkin terjadi.
Salah satu jenis kontrasepsi efektif yang menjadi pilihan adalah KB hormonal suntikan (injectables), dan merupakan salah satu alat kontrasepsi yang berdaya kerja panjang (lama), yang tidak membutuhkan pemakaian setiap hari. Kontrasepsi yang baik adalah aman, dapat diandalkan, sederhana, murah, dapat diterima orang banyak, dan pemakaian jangka lama. Namun sampai saat ini belum tersedia 100% metode kontrasepsi yang sempurna dan ideal. Begitu juga dengan akseptor KB suntik yang dapat mengalami efek samping seperti gangguan pola haid, kenaikan berat badan, sakit kepala dan kenaikan tekanan darah (Hartanto, 2003). Nyeri perut bagian bawah, pertumbuhan rambut bahkan sampai penurunan gairan seksual.
Dalam menentukan kapan dan metode kontrasepsi apa yang akan digunakan wanita harus mempertimbangkan pengaruh metode kontrsepsi terhadap fungsi reproduksi, salah satu alasan yang paling banyak disebutkan dalam penghentian kontrasepsi adalah efek samping yang dirasakan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh WHO pada 5332 wanita yang telah mempunyai anak di 14 negara berkembang menunjukkan bahwa banyak wanita berhenti menggunakan kontrasepsi IUD, oral dan suntik dikarenakan mereka tidak dapat menerima perubahan pola menstruasi (Klobinsky, 1997).
Perasaan dan kepercayaan wanita mengenai tubuh dan seksualitasnya tidak dapat dikesampingkan dalam pengambilan keputusan dalam menggunakan kontrasepsi. Banyak wanita takut siklus normalnya berubah karena mereka takut perdarahan yang lama dapat mengubah pola hubungan seksual dan juga dapat membatasi aktivitas keagamaan maupun budaya. Dinamika seksual dan kekuasaan antara pria dan wanita dapat menyebabkan penggunaan kontrasepsi terasa canggung bagi wanita. Pendapat suami mengenai KB cukup kuat pengaruhnya untuk menentukan penggunaan metode kaluarga berencana oleh istri. Berbagai budaya mendukung kepercayaan bahwa pria mempunyai hak akan fertilitas istri mereka. Di Papua Nugini dan Nigeria, wanita tidak dapat membeli kontrasepsi tanpa persetujuan suami (Klobinsky, 1997).
Berdasarkan data pra survey di Pustu Tegal Ombo Kecamatan Way Bungur Kabupaten Lampung Timur tahun 2006 sebanyak 45 akseptor KB yang menggunakan suntikan depo progestin lebih dari satu tahun.
Berdasarkan uraian pada latar belakang penulis memilih judul penelitian tentang “Gambaran Efek samping KB suntik Depo Progestin di Pustu Tegal Ombo Kecamatan Way Bungur Kabupaten Lampung Timur tahun 2007”.

DOWNLOAD KLIK DISINI:
Gambaran efek samping KB suntik depo progestin di puskesmas pembantu
Baca Selengkapnya - Gambaran efek samping KB suntik depo progestin di puskesmas pembantu

Gambaran faktor-faktor penyebab terjadinya ketuban pecah dini di ruang kebidanan RSUD

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tolak ukur keberhasilan dan kemampuan pelayanan kesehatan suatu negara diukur dengan angka kematian ibu dan angka kematian perinatal. Diseluruh dunia terdapat kematian ibu sebesar 500.000 jiwa pertahun dan kematian bayi khususnya 10.000.000 jiwa pertahun. Sebesar 99% terjadi di negara sedang berkembang (Manuaba, 1998:8).
Menurut hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2002-2003, angka kematian ibu di Indonesia sebesar 307 per 1000 kelahiran hidup (Profil Kesehatan Indonesia, 2005:16). Salah satu penyebab langsung kematian ibu adalah karena infeksi sebesar 20-25% dalam 100.000 kelahiran hidup (Manuaba, 1998:19). Di Provinsi Lampung tahun 2005 angka kematian ibu akibat infeksi sebesar 1,39% dari 100.000 kelahiran hidup (Profil Kesehatan Provinsi Lampung, 2005:60).
Ketuban pecah dini atau spontaneous/early/premature rupture of membran atau KPD merupakan penyebab yang paling sering terjadi pada saat mendekati persalinan. Kejadian Ketuban pecah Dini mendekati 10% dari semua persalinan. Pada umur kehamilan kurang dari 34 minggu kejadiannya sekitar 4% (Manuaba, 1998:229). Kemungkinan infeksi ini dapat berasal dari dalam rahim (intrauterine), biasanya infeksi sudah terjadi tetapi ibu belum merasakan adanya infeksi misalnya kejadian ketuban pecah dini. Hal ini dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas pada ibu dan janinnya (Mochtar, 1998:257).
Ketuban pecah dini bila dihubungkan dengan kehamilan preterm, ada resiko peningkatan morbiditas dan mortalitas perinatal akibat imaturatas janin, disamping itu bila kelahiran tidak terjadi dalam 24 jam juga terjadi resiko peningkatan infeksi intrauterine (Taber, 1994:368). Adapun komplikasi yang ditimbulkan dari ketuban pecah dini bagi ibu diantaranya pendarahan post partum, sedangkan pada janinnya diantaranya dapat terjadi intra uteri fetal death atau IUFD (Mochtar, 1998:258). Oleh karena itu, tatalaksana ketuban pecah dini memerlukan tindakan yang dapat menurunkan kejadian infeksi pada ibu dan janin (Manuaba, 1998:230).
Berdasarkan data yang didapat pada saat pra survey pada bulan Maret 2007 di Ruang Kebidanan RSUD A.Yani Metro, didapatkan bahwa kejadian ketuban pecah dini masih banyak dan datanya adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Jumlah klien ketuban pecah dini di Ruang kebidanan RSUD A. Yani Metro
pada bulan Januari sampai dengan bulan Desember 2006

Bulan Rawat inap di RB RSUD A. Yani Pasien Ketuban Pecah Dini Persentase (%)
Januari 62 7 0.63
Februari 75 9 0,81
Maret 77 8 0,72
April 100 11 1,00
Mei 91 4 0,36
Juni 84 6 0,54
Juli 98 7 0,63
Agustus 90 4 0,36
September 112 7 0,63
Oktober 117 8 0,72
November 100 6 0,54
Desember 94 3 0,27
Jumlah 1100 80 7,27
Sumber: Buku Register Pasien di Rekam Medik RSUD A. Yani Metro 2006
Mengamati dari tabel diatas dapat kesimpulan bahwa di Ruang kebidanan RSUD A.Yani Metro dari bulan Januari sampai dengan Desember 2006 terdapat 80 pasien atau sebesar 7,27% yang dirawat dengan kasus ketuban pecah dini. Dimana kejadian ketuban pecah dini di Ruang Kebidanan RSUD A.Yani Metro selalu ada disetiap bulannya. Adapun angka kejadian intra uteri fetal death (IUFD) di Ruang Kebidanan RSUD A. Yani Metro tahun 2006 sebanyak 40 bayi dari 558 bayi lahir hidup, dan angka kejadian ibu yang mengalami pendarahan post partum sebanyak 66 ibu dari 592 ibu bersalin di Ruang Kebidanan RSUD A. Yani Metro (Buku Register Pasien di Rekam Medik 2006).
Kejadian ketuban pecah dini terjadi sebelum proses persalinan, oleh karena itu penyebab ketuban pecah dini dapat berasal dari ibu atau janinnya. Menurut Manuaba (1998:229) penyebab ketuban pecah dini diantaranya kehamilan kembar, anemia dalam kehamilan selain itu kemungkinan yang menjadi penyebab yaitu kelainan letak yaitu letak sungsang dan letak lintang. Selanjutnya Taylor, dkk berpendapat pula bahwa faktor penyebab ketuban pecah dini juga diakibatkan oleh multipara karena tingginya jumlah paritas (Mochtar, 1998:256). Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tentang gambaran faktor-faktor terjadinya ketuban pecah dini di Ruang Kebidanan RSUD A.Yani Metro tahun 2006.

DOWNLOAD KLIK DISINI:
Gambaran faktor-faktor penyebab terjadinya ketuban pecah dini di ruang kebidanan RSUD
Baca Selengkapnya - Gambaran faktor-faktor penyebab terjadinya ketuban pecah dini di ruang kebidanan RSUD

Gambaran faktor penyebab akseptor tidak melanjutkan penggunaan kontrasepsi IUD di RB

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Keluarga sebagai unit terkecil dalam kehidupan berbangsa diharapkan menerima Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS) yang berorientasi pada “Catur Warga” atau Zero Population Grow (pertumbuhan seimbang) yang menghasilkan keluarga berkualitas. (Manuaba, 1998). Sasaran utama program Keluarga Berencana (KB) adalah Pasangan Usia Subur (PUS). Dalam hal ini gerakan Keluarga Berencana tidak hanya meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak, namun yang lebih penting lagi adalah kontribusi KB dalam meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan keluarga yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas bangsa. (Mochtar , 1998).
Berbagai usaha di bidang gerakan KB sebagai salah satu kegiatan pokok pembangunan keluarga sejahtera telah dilakukan baik oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat sendiri. (Mochtar, 1998). Usaha ini antara lain dengan senantiasa memberikan kesempatan seluas – luasnya kepada PUS untuk ikut berpatisipasi dalam menciptakan NKKBS melalui pemakaian alat kontrasepsi.
Intra Uterine Devices (IUD) merupakan alat kontrasepsi metode efektif mekanis, dipandang dari segi efektivitasnya IUD mempunyai efektivitas yang cukup tinggi dalam mencegah kehamilan yaitu berkisar antara 1,53 per 100 wanita per tahun pertama dan menjadi rendah pada tahun – tahun berikutnya. Dari angka keefektivan tersebut maka dengan pemakaian IUD diharapkan menekan terjadinya kenaikan angka kelahiran di Indonesia sehingga akan terbentuk keluarga yang berkualitas. (Manuaba, 1998).
Hal ini karena perkembangan di lapangan menunjukkan bahwa dalam menggalakkan pemakaian IUD sangat ditekankan oleh Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB) untuk mendapatkan peserta KB IUD sebanyak – banyaknya, tanpa dipertanyakan ataupun dievaluasi apakah dengan cara itu kecenderungan menurunnya pemakaian IUD bisa dihentikan. (BKKBN, 2004).
Data tahun 1971 menunjukkan 55,3% peserta KB aktif adalah pemakai IUD, pada tahun 1997 menurun menjadi 21,5%. Penurunan ini juga terlihat dari Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) yaitu tahun 1991 adalah 13,3% dari 49,7% PUS yang ber-KB. Tahun 1994 mengalami penurunan yaitu menjadi 10,3% dari 54,7% PUS ber-KB dan menurun lagi pada tahun 1997 menjadi 8,1% dari 57,4% PUS ber-KB.
Di Provinsi Lampung terjadi penurunan penggunaan kontrasepsi IUD setiap tahunnya. Pada tahun 2001 akseptor IUD 3,38%, pada tahun 2002 turun menjadi 2,88 %, kemudian tahun 2003 lebih rendah lagi pencapaiaanya hanya 2,67 %.
Selanjutnya di RB Al-Anies juga terjadi penurunan pada tahun 2001 yaitu 7,5 % kemudian tahun 2002 turun sedikit menjadi 7,2 %, namun pada tahun 2003 terjadi penurunan yang cukup besar yaitu menjadi 5,3 %. Kondisi ini merupakan tantangan bagi gerakan Keluarga Berencana untuk mensukseskan gerakan program Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKPJ) khususnya IUD. (BKKBN, 2004).
Penggunaan kontrasepsi Intra Uterine Devices (IUD) lebih sering digunakan karena efektifitasnya tinggi namun ada beberapa hal yang menyebabkan penggunaan IUD tidak berlanjut, hal ini diantaranya disebabkan oleh efek samping yang merupakan alasan medis utama dari penghentian pemakaian IUD yaitu kira –kira 4 – 15 % dalam satu tahun disamping kehamilan dan ganti cara kontrasepsi lain. (Hartanto, 2002).
Berdasarkan data di atas penulis akan melaksanakan penelitian tentang faktor – faktor yang menjadi penyebab akseptor tidak melanjutkan penggunaan kontrasepsi IUD di RB Al Anies Branti Raya Natar.

DOWNLOAD KLIK DISINI:
Gambaran faktor penyebab akseptor tidak melanjutkan penggunaan kontrasepsi IUD di RB
Baca Selengkapnya - Gambaran faktor penyebab akseptor tidak melanjutkan penggunaan kontrasepsi IUD di RB

Gambaran faktor-faktor penyebab wanita PUS tidak melakukan pemeriksaan PAP Smear di wilayah kerja puskesmas.doc

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pasangan Usia Subur (PUS) perlu untuk mendapatkan perawatan kesehatan baik dari keluarganya maupun dari bidan atau dokter. Adanya penyulit reproduksi yang sering dialami oleh PUS sebenarnya bisa di cegah dengan melakukan pencegahan melalui tindakan deteksi dini. Upaya pencegahan ini diharapkan dapat menekan angka kesakitan akibat penyakit kelainan reproduksi dan mencegah kegawat daruratan/komplikasi untuk menyelamatkan jiwa ibu dalam rangka menurunkan angka kematian ibu (Dinkes Metro, 2007).
Kanker serviks disinyalir menjadi pembunuh nomor 1 bagi wanita, dan urutan terbesar dari jumlah penderita penyakit kanker. Saat ini di seluruh dunia terdapat 270.000 penderita kanker serviks baru dan 140.000 diantaranya meninggal dunia tiap tahunnya (Wijaya, 2008).
Dalam 40 tahun terakhir, kejadian dan kematian ibu akibat kanker serviks menurun hingga 70 %, karena kematian terjadi pada sebagian besar penderita yang datang berobat sudah dalam stadium lanjut. Salah satu cara untuk menemukan kanker serviks dalam stadium dini adalah dengan pap smear (Soepardiman, 2000).
Pap smear adalah cara pemeriksaan secara mikroskopik pada jaringan serviks untuk mendeteksi secara dini ada atau tidaknya jaringan sel-sel kanker sebelum akhirnya berkembang menjadi kanker serviks yang serius, yaitu dengan memasukan alat kecil yang disebut speculum kedalam vagina dan mengambil contoh sel-sel dari saluran leher rahim. Pemeriksaan ini sangat sederhana, tidak menimbulkan rasa sakit serta hanya memakan waktu lebih kurang 10 menit. (Tharsyah, 2001).
Dampak dari tidak melakukan pemeriksaan pap smear adalah tidak terdeteksinya gejala awal dari kanker serviks (Evennet, 2004). Sebagaimana kanker umumnya maka kanker serviks akan menimbulkan masalah berupa kesakitan (morbiditas) penderitaan, kematian, finansial / ekonomi maupun lingkungan bahkan pemerintah (Farid, 2001). Diagnosa kanker serviks masih sering terlambat dibuat dan penanganannya ternyata tidak memberi hasil yang baik (Harahap, 1984). Keterlambatan diagnosa berakibat lebih dari separuh penderita kanker serviks berada dalam stadium lanjut yang memerlukan fasilitas khusus untuk pengobatan seperti peralatan radioterapi yang hanya tersedia di beberapa kota besar saja. Disamping mahal, pengobatan terhadap kanker stadium lanjut memberikan hasil yang tidak memuaskan dengan harapan hidup 5 tahun yang rendah (Sjamsuddin, 2001).
Kanker serviks uteri merupakan penyakit keganasan yang menimbulkan masalah kesehatan kaum wanita terutama di negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia (Tambunan, 1995). Departemen Kesehatan RI memperkirakan insiden kanker serviks 100 per 100.000 penduduk per tahun. Data yang dikumpulkan (1988 – 1994) dari 13 laboratorium patologi anatomi di Indonesia menunjukkan bahwa frekuensi kanker servik tertinggi diantara kanker yang ada di Indonesia, maupun di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Ciptomangunkusumo (Aziz, 2001). Masalah kanker servik di Indonesia semakin di perburuk lagi dengan banyaknya yaitu lebih dari 70% kasus kanker yang sudah berada pada stadium lanjut ketika datang ke rumah sakit (Nuranna, 2001).
Di ruang kebidanan dan penyakit kandungan RSUD Jend. A. Yani Metro insiden kanker serviks pada bulan Januari – Desember 2007 adalah kanker terbanyak diantara kanker ginekologi lainnya yaitu sebanyak 7 kasus dengan 2 orang meninggal dunia. (RSUD A. Yani Metro, 2007). Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Metro terhadap 8 puskesmas di Kota Metro yang telah melakukan pemeriksaan pap smear masal pada tahun 2007, didapatkan data, jumlah peserta yang melakukan pemeriksaan pap smear di Puskesmas Iringmulyo adalah terendah diantara puskesmas lainnya yaitu sebanyak 10 wanita PUS atau 0,007% dari jumlah sasaran 1438 wanita PUS.
Pada dasarnya kanker serviks ini menimpa wanita karena wanita itu sendiri tidak pernah melakukan pemeriksaan sejak dini. Apa lagi bagi mereka yang memiliki resiko tinggi untuk terkena penyakit ini (Tharisyah, 2001). Hal ini disebabkan karena kurangnya pengertian akan bahaya kanker, karena pendidikan yang kurang atau kurangnya penerangan mengenai kanker umumnya, kanker leher rahim khususnya. Tidak jarang pula penderita tidak dapat pergi ke dokter karena persoalan biaya, sehingga keterlambatan diagnosa kanker serviks sering terjadi (Harahap, 1998).
Penyebab masalah lain dalam deteksi dini adalah rasa takut kalau pap smear akan menyatakan bahwa mereka menderita kanker sehingga mereka lebih memilih untuk menghindarinya. Perasaan malu, khawatir atau cemas untuk menjalani pap smear karena adanya pikiran tentang ada orang lain selain pasangan yang memasukkan sesuatu ke dalam dirinya, selain itu serangan dari pasangan yang beranggapan bahwa telah melakukan persetubuhan dengan siapa saja, sehingga mempengaruhi wanita tidak melakukan pap smear (Evennett, 2004).
Berdasarkan urian diatas, penulis tertaik untuk melakukan penelitian tentang faktor-faktor penyebab wanita PUS tidak melakukan pemeriksaan pap smear.


B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah penulis membuat rumusan masalah penelitian sebagai berikut “Bagaimanakah Gambaran Faktor-faktor Penyebab Wanita PUS Tidak Melakukan Pemeriksaan Papsmear di Puskesmas Iringmulyo tahun 2008?”

DOWNLOAD KLIK DISINI:
Gambaran faktor-faktor penyebab wanita PUS tidak melakukan pemeriksaan PAP Smear di wilayah kerja puskesmas
Baca Selengkapnya - Gambaran faktor-faktor penyebab wanita PUS tidak melakukan pemeriksaan PAP Smear di wilayah kerja puskesmas.doc

Arsip

0-Asuhan Kebidanan (Dokumen Word-doc) 0-KTI Full Keperawatan (Dokumen Word-doc) Anak Anatomi dan Fisiologi aneh lucu unik menarik Antenatal Care (ANC) Artikel Bahasa Inggris Asuhan Kebidanan Asuhan Keperawatan Komunitas Asuransi Kesehatan Berita Hiburan Berita Terkini Kesehatan Berita Tips Twitter Celeb contoh Daftar Pustaka Contoh KTI Contoh KTI Kebidanan Farmakologi (Farmasi) Gadar-kegawatdaruratan Gizi Handphone Hirschsprung Hukum Kesehatan Humor Segar (Selingan) Imunisasi Info Lowongan Kerja Kesehatan Intranatal Care (INC) Jiwa-Psikiatri kamus medis kesehatan online Kebidanan Fisiologis Kebidanan Patologis Keluarga Berencana (KB) Keperawatan Gerontology Kesehatan Anak (UMUM) Kesehatan Bayi (untuk UMUM) Kesehatan Haji Kesehatan Ibu Hamil (untuk UMUM) Kesehatan Ibu Menyusui (untuk UMUM) Kesehatan Pria (untuk UMUM) Kesehatan Remaja Kesehatan Reproduksi (Kespro) Kesehatan Wanita (untuk UMUM) Koleksi Skripsi Umum Konsep Dasar KTI D-3 Kebidanan KTI Skripsi Keperawatan kumpulan askep Laboratorium Lain-lain Makalah Keperawatan Kebidanan Managemen Kesehatan Mikrobiologi Motivasi Diri Napza dan zat Adiktif Neonatus dan Bayi News Penyakit Menular potensi KLB Penyakit Menular Seksual (PMS) Postnatal Care (PNC) Protap-SOP Psikologi-Psikiater (UMUM) Reformasi Kesehatan Sanitasi (Penyehatan Lingkungan) Satuan Acara Penyuluhan (SAP) Sistem Endokrin Sistem Immunologi Sistem Indera Sistem Integumen Sistem Kardiovaskuler Sistem Muskuloskeletal Sistem Neurologis Sistem Pencernaan Sistem Perkemihan Sistem Pernafasan Surveilans Penyakit Teknologi Tips dan Tricks Seks Tips Facebook Tips Karya Tulis Ilmiah (KTI) Tips Kecantikan Tips Kesehatan Umum Tokoh Kesehatan Tutorial Blogging Youtuber