Cari Blog Ini

Gambaran efek samping KB suntik depo progestin di puskesmas pembantu

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keluarga Berencana (KB) adalah suatu tindakan untuk menghindari atau mendapatkan kelahiran, mengatur interval kehamilan dan menentukan jumlah anak dalam keluarga. KB merupakan suatu cara yang efektif untuk mencegah mortalitas ibu dan anak karena dapat menolong pasangan suami istri menghindari kehamilan resiko tinggi, dapat menyelamatkan jiwa dan mengurangi angka kesakitan. Dengan KB ibu juga dapat terhindar dari “4” terlalu, too Young (terlalu muda), too old (terlalu tua), too many (terlalu banyak) dan too cloose (terlalu dekat jaraknya) (Hartanto, 2003). Program KB nasional mempunyai arti penting dalam pelaksanaan pembangunan di bidang kependudukan dan keluarga kecil berkualitas yang dilaksanakan secara berkesinambungan (BKKBN, 2005).
Menurut (Prawirohardjo, 2001) secara umum tujuan KB adalah mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera. Dengan tidak mengikuti gerakan KB akan menimbulkan masalah pada bidang pendidikan, masalah gizi dan pangan, keamanan, lapangan kerja serta masalah perumahan dan tempat tinggal. Efek samping yang dialami akseptor KB suntik biasanya dikarenakan kurangnya KIE tentang efek samping yang mungkin terjadi.
Salah satu jenis kontrasepsi efektif yang menjadi pilihan adalah KB hormonal suntikan (injectables), dan merupakan salah satu alat kontrasepsi yang berdaya kerja panjang (lama), yang tidak membutuhkan pemakaian setiap hari. Kontrasepsi yang baik adalah aman, dapat diandalkan, sederhana, murah, dapat diterima orang banyak, dan pemakaian jangka lama. Namun sampai saat ini belum tersedia 100% metode kontrasepsi yang sempurna dan ideal. Begitu juga dengan akseptor KB suntik yang dapat mengalami efek samping seperti gangguan pola haid, kenaikan berat badan, sakit kepala dan kenaikan tekanan darah (Hartanto, 2003). Nyeri perut bagian bawah, pertumbuhan rambut bahkan sampai penurunan gairan seksual.
Dalam menentukan kapan dan metode kontrasepsi apa yang akan digunakan wanita harus mempertimbangkan pengaruh metode kontrsepsi terhadap fungsi reproduksi, salah satu alasan yang paling banyak disebutkan dalam penghentian kontrasepsi adalah efek samping yang dirasakan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh WHO pada 5332 wanita yang telah mempunyai anak di 14 negara berkembang menunjukkan bahwa banyak wanita berhenti menggunakan kontrasepsi IUD, oral dan suntik dikarenakan mereka tidak dapat menerima perubahan pola menstruasi (Klobinsky, 1997).
Perasaan dan kepercayaan wanita mengenai tubuh dan seksualitasnya tidak dapat dikesampingkan dalam pengambilan keputusan dalam menggunakan kontrasepsi. Banyak wanita takut siklus normalnya berubah karena mereka takut perdarahan yang lama dapat mengubah pola hubungan seksual dan juga dapat membatasi aktivitas keagamaan maupun budaya. Dinamika seksual dan kekuasaan antara pria dan wanita dapat menyebabkan penggunaan kontrasepsi terasa canggung bagi wanita. Pendapat suami mengenai KB cukup kuat pengaruhnya untuk menentukan penggunaan metode kaluarga berencana oleh istri. Berbagai budaya mendukung kepercayaan bahwa pria mempunyai hak akan fertilitas istri mereka. Di Papua Nugini dan Nigeria, wanita tidak dapat membeli kontrasepsi tanpa persetujuan suami (Klobinsky, 1997).
Berdasarkan data pra survey di Pustu Tegal Ombo Kecamatan Way Bungur Kabupaten Lampung Timur tahun 2006 sebanyak 45 akseptor KB yang menggunakan suntikan depo progestin lebih dari satu tahun.
Berdasarkan uraian pada latar belakang penulis memilih judul penelitian tentang “Gambaran Efek samping KB suntik Depo Progestin di Pustu Tegal Ombo Kecamatan Way Bungur Kabupaten Lampung Timur tahun 2007”.

Baca Selengkapnya - Gambaran efek samping KB suntik depo progestin di puskesmas pembantu

Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya keikutsertaan suami menjadi akseptor keluarga berencana (KB) di desa

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Program keluarga berencana adalah suatu program yang dimaksudkan untuk membantu para pasangan dan perorangan dalam mencapai tujuan reproduksi mereka, mencegah kehamilan yang tidak diinginkan dan mengurangi insidens kehamilan beresiko tinggi, kesakitan dan kematian membuat pelayanan yang bermutu, terjangkau, diterima dan mudah diperoleh bagi semua orang yang membutuhkan, meningkatkan mutu nasehat, komunikasi, informasi, edukasi, konseling, dan pelayanan meningkatkan partisipasi dan tanggung jawab pria dalam praktek KB (BKKBN 2001).
Salah satu usaha dari program KB adalah penjarangan kehamilan dengan menggunakan alat kontrsepsi yaitu suatu alat yang digunakan sebagai upaya untuk mencegah terjadinya kehamilan, pada umumnya metode kontrasepsi terdiri dari metode sedarhana, metode efektif dan metode kontrasepsi mantap. Metode sederhana antara lain terdiri dari senggama terputus, pantang berkala, kondom, diafragma, cream atau jelly, dan cairan berbusa, metode efektif cotohnya yaitu pil KB, Intra Uterine Device (IUD), Suntik dan alat kontrasepsi bawah kulit (AKBK) sedangkan metode kontrasepsi mantap yaitu dengan cara operasi yang terdiri dari metode operasi pria dan metode operasi pada wanita yaitu tubektomi untuk wanita, vasektomi untuk pria (DepKes, 1996).
Pengembangan program KB yang secara resmi dimulai sejak tahun 1970 telah memberikan dampak terhadap penurunan tingkat fertilitas total (TFR) yang cukup menggembirakan, namun partisipasi pria dalam ber KB masih sangat rendah yaitu sekitar 1,3 persen (SDKI 2002-2003). Angka tersebut bila dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya seperti pakistan 5,2% pada tahun 1999, Banglades 13,9% pada tahun 1997, Malaysia 16,8% pada tahun1998 adalah yang terendah (BKKBN, 2001). Hal ini selain disebabkan oleh keterbatasan macam dan jenis alat kontrasepsi pria, juga oleh keterbatasan pengetahuan suami akan hak-hak dan kesehatan reproduksi serta kesehatan dan keadilan gender.
Rendahnya partisipasi pria dalam KB dapat memberikan dampak negatif bagi kaum wanita karena dalam kesehatan reproduksi tidak hanya kaum wanita saja yang selalu berperan aktif, sehingga emansipasi wanita yang telah dipelopori oleh ibu Kartini yang menuntut kesamaan hak antara wanita dan pria menjadi suatu kenyataan dan wanita tidak hanya dijadikan sebagai alat “Pembuat anak dan budak untuk mengurus anak serta seluruh keluarga”. Karena itu perlu sekali kesetaraan dalam kesehatan Reproduksi, kaum pria tidak hanya menjadi “penonton” dan harus ikut andil, belum lagi wanita yang hamil dan melahirkan akan dihadapkan pada bahaya kehamilan dan persalinan (Entjang, 1982).
Berdasarkan data dari BKKBN propinsi Lampung tahun 2005, di Wilayah Kabupaten Lampung Selatan terdapat 232,113 pasangan usia subur (PUS) dengan jumlah peserta KB aktif yang menggunakan alat kontrasepsi kondom 367 (0,23%) dan vasektami (MOP) 2.369 (1,47%) untuk kecamatan natar dengan jumlah PUS 26.972 yang menggunakan alat kontrasepsi kondom sejumlah 54 (0,29%). Dari hasil prasurvey langsung di dapatkan jumlah PUS yang menggunakan vasektomi hanya 7 (0,03%) PUS sedangkan di Desa Haduyang dengan jumlah akseptor KB 857 PUS di dapatkan yang menggunakan alat kontrasepsi kondom hanya 12 PUS dan tidak ada yang menggunakan alat kontraspesi berupa vasektomi.
Pengembangan metode kontrasepsi pria masih jauh tertinggal karena adanya hambatan-hambatan yang ditemukan antara lain kesulitan dalam memperoleh informasi tentang alat kontrasepsi, hambatan medis yang berupa ketersediaan alat maupun ketersediaan tenaga kesehatan, selain itu juga adanya rumor yang beredar di masyarakat mengenai alat kontrasepsi sehingga hal ini menjadi faktor penghambat dalam pengembangan metode kontrasepsi (BKKBN, 2001).
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis ingin mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya keikutsertaan suami menjadi akseptor keluarga berencana (KB) di Desa Haduyang Kecamatan Natar Lampung Selatan pada tahun 2007.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang terdapat pada latar belakang, maka rumusan dalam penelitian ini adalah "faktor-faktor apakah yang mempengaruhi rendahnya keikutsertaan suami menjadi akseptor keluarga berencana di Desa Haduyang Kecamatan Natar Lampung Selatan?".


Baca Selengkapnya - Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya keikutsertaan suami menjadi akseptor keluarga berencana (KB) di desa

Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya konsumsi tablet Fe pada ibu hamil di wilayah kerja puskesmas

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Defisiensi zat besi merupakan penyebab anemia gizi yang paling lazim. Anemia defisiensi besi pada wanita hamil merupakan problem kesehatan yang dialami oleh wanita di seluruh dunia terutama di negara berkembang. Badan Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa prevalensi ibu hamil yang mengalami defisiensi besi sekitar 35-75% (Riswan M., 2003). Anemia defisiensi besi dapat dicegah dengan pemberian suplemen tambah darah mengandung 200 mg sulfas Ferosus (setara dengan 60 mg besi) dan 0,25 mg asam folat (tablet Fe) apabila kadar Hb meningkat 0,1 gr/dl sehari, dimulai dari hari keempat selama bulan pertama, pengobatan diartikan berhasil atau mendapat respon positif dari pengobatan (E.M.DeMaeyer, 1995).
Cakupan pemberian tablet Fe1 (Pertama kali ibu mendapatkan tablet Fe sebanyak 30 tablet) di Indonesia sebesar 69,14%. Propinsi dengan cakupan Fe1 tertinggi adalah di Propinsi Kalimantan Selatan (101,99%) dan yang terendah di Propinsi Jambi (21,31%). Cakupan pemberian tablet Fe3 (Pemberian tablet Fe berikutnya sebanyak 90 tablet) di Indonesia sebesar 59,62%. Propinsi dengan cakupan Fe3 tertinggi adalah Propinsi Kalimantan Selatan (88,10%) dan yang terendah adalah Propinsi Lampung (19,23%) (Dep.Kes.RI, 2003).
Berdasarkan data tahun 2005 dari Dinas Kesehatan Propinsi Lampung pemberian tablet Fe pada ibu hamil yang dianjurkan minimal 90 butir selama kehamilan dan pemberian ini biasanya diberikan secara bertahap serta paling baik diberikan pada trimester tiga. Di Propinsi Lampung prosentase ibu hamil yang minum tablet Fe sesuai anjuran ternyata relatif kecil yaitu 18,8% (Dinas Kesehatan Propinsi Lampung, 2005).
Di Kota Metro cakupan kualitas sering mengalami penurunan. Cakupan tablet Fe untuk ibu hamil di Kota Metro dapat dilihat pada tabel sebagai berikut :
Tabel 1
Cakupan tablet Fe untuk ibu hamil di kota metro tahun 2006
Puskesmas Sasaran Fe1 Fe3
Cakupan % Cakupan %
Yasomulyo 587 598 100,3% 585 99,65%
Metro 502 514 102,3% 481 91,81%
Iringmulyo 694 633 91,21% 569 81,98%
Banjar sari 500 484 86,8% 447 89,4%
Sumber sari bantul 288 235 81,59% 213 79,95%
G. agung 473 426 90,06% 302 63,84%
Jumlah 3044 2881 94,64% 2597 85,31%
Sumber : Dinas Kesehatan Kota Metro, 2006
Tabel diatas menjelaskan bahwa cakupan Fe1 tertinggi di Puskesmas Metro (102,3%) dan cakupan Fe3 tertinggi di Puskesmas Iringmulyo (99,65%) sedangkan cakupan Fe1 terendah di Puskesmas Sumber Sari Bantul (81,59%) dan cakupan Fe3 terendah di Puskesmas Ganjar Agung (63,84%). Prosentase tertinggi punurunan cakupan Fe1 ke cakupan Fe3 di Puskesmas Ganjar Agung (26,22%).
Tablet Fe sangat dibutuhkan pada saat hamil karena ibu hamil sangat memerlukan tambahan zat besi untuk meningkatkan jumlah sel darah merah dan membentuk sel darah merah janin dan plasenta. Di Kota Metro khususnya Puskesmas Ganjar Agung cakupan tablet Fe masih terbilang rendah.
Rendahnya konsumsi tablet Fe pada ibu hamil disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain : 1) Efek dari pemakaian tablet Fe. Berdasarkan hasil penelitian faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Anemia Pada Ibu Hamil di Propinsi Lampung pada Tahun 2004 didapatkan bahwa penyebab tertinggi ibu tidak mengkonsumsi tablet Fe dikarenakan efek dari pamakaian tablet Fe dapat mengakibatkan mual dan muntah sebesar 26,15% dari 2203 responden (Islamiyati, 2005), 2) Kurangnya pengetahuan ibu tentang tablet Fe. Berdasarkan hasil penelitian pengetahuan ibu terhadap tablet Fe pada Tahun 2004 di Wilayah Kerja Puskesmas Kampung Sawah Bandar Lampung didapatkan hasil hanya 55% dari 20 respnden yang cukup mengetahui tentang tablet Fe (Fitri, 2004). Pengetahuan ibu yang kurang terhadap tablet Fe dapat mempengaruhi ibu untuk mengkonsumsi tablet Fe, 3) Kepatuhan ibu dalam mengkonsumsi tablet Fe. Kepatuhan terhadap pemakaian tablet Fe dapat dipengaruhi oleh efek dari pemakaian tablet Fe yang berupa gangguan perut dan ternyata rata-rata hanya 15 tablet yang dipakai oleh wanita hamil (Saifuddin, 2002). Sebab utama kegagalan pengobatan dengan tablet Fe adalah ketidaktaatan penderita mengkonsumsi tablet Fe (E.M.DeMaeyer,1995).
Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik ingin mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya konsumsi tablet Fe pada ibu hamil di Wilayah Kerja Puskesmas Ganjar Agung tahun 2007.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah ”faktor-faktor apakah yang mempengaruhi rendahnya konsumsi tablet Fe pada ibu hamil?”


Baca Selengkapnya - Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya konsumsi tablet Fe pada ibu hamil di wilayah kerja puskesmas

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya pre menstrual syndrom (PMS) pada wanita usia 25-35 tahun di kampung

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pre Menstrual Syndrom (PMS) adalah sekumpulan gejala berupa gangguan fisik dan mental, dialami 7 – 10 hari menjelang menstruasi dan menghilang beberapa hari setelah menstruasi. (Agustin,2004). Penderita Pre Menstrual Syndrom kadang merasa pusing kepala yang terkadang sampai pingsan. (Karyadi,1999).
Pre Menstrual Syndrom merupakan suatu gejala yang sering dialami oleh wanita menjelang menstruasi dangan dampak yang dialami bisa menjadi lebih ringan seperti bingung, pelupa, timbul jerawat ataupun lebih berat seperti diare, konstipasi, insomnia, depresi, bahkan kadang muncul rasa ingin bunuh diri. Sedangkan gangguan mental dapat berupa mudah tersinggung dan sensitif,sedangkan gangguan fisik berupa acne, nyeri perut, pusing, sakit punggung, nyeri payudara. Pre menstrual syndrom bisa membuat penderitanya merasa sangat sengsara.(Agustini,2004)
Survei di Amerika Serikat tahun 1982 menunjukkan bahwa 50% wanita mengalami Pre Menstrual Syndrom (Karyadi, 2007), sedangkan di Indonesia kurang lebih 85% gejala Pre Menstrual Syndrom dialami oleh wanita usia produktif antara usia 25-35 tahun. (Agustini,2007).
Di Kabupaten Lampung Tengah,tepatnya kampung Tanggul Angin diperoleh data jumlah penduduk wanita usia 25 – 35 tahun ada 178 orang. Berdasarkan hasil pra survei yang dilakukan oleh peneliti terhadap 27 orang wanita usia 25-35 tahun, ditemukan 24 orang yang mengalami gejala Pre Menstrual Syndrom dan 3 orang yang tidak mengalami keluhan apapun saat menjelang menstruasi. Menghadapi gejala tersebut mereka merasa resah, cemas, was-was,dan terganggu,mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Pre Menstrual Syndrom belum jelas penyebabnya. Beberapa teori menyebutkan karena faktor hormonal yaitu ketidakseimbangan antara hormon estrogen dan progesteron, stres dan kekurangan gizi serta jumlah kegiatan fisik yang tidak memadai. (Tan, 1996). Faktor-faktor yang turut memperberat Pre Menstrual Syndrom menurut Agustini,(2004) ialah faktor paritas, dan faktor usia. Sedangkan menurut Karyadi (1999) faktor-faktor yang turut memperberat Pre Menstrual Syndrom ialah faktor paritas, usia, diet, kekurangan zat gizi, dan kegiatan fisik.
Uraian di atas melatar belakangi penulis untuk meneliti lebih lanjut tentang faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya Pre Menstrual Syndrom pada wanita usia 25-35 tahun di Kampung Tanggul Angin wilayah Puskesmas Punggur tahun 2007.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah, maka diperoleh rumusan masalah dalam penelitian yaitu “Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi terjadinya Pre Menstrual Syndrom pada wanita usia 25-35 tahun di Kampung Tanggul Angin wilayah Puskesmas Punggur?”

C. Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menetapkan ruang lingkup penelitian sebagai berikut:


Baca Selengkapnya - Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya pre menstrual syndrom (PMS) pada wanita usia 25-35 tahun di kampung

Faktor-faktor yang mempengaruhi tidak teraturnya siklus menstruasi pada mahasiswa tingkat ……. program studi kebidanan

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Wanita dalam kehidupannya tidak luput dari adanya siklus haid normal yang terjadi secara siklik. Ia akan merasa terganggu bila hidupnya mengalami perubahan, terutama bila haid menjadi lebih lama dan atau banyak, tidak teratur, lebih sering atau tidak haid sama sekali (amenore). Penyebab gangguan haid dapat karena kelainan biologik (organik atau disfungsional) atau dapat pula karena psikologik seperti keadaan-keadaan stres dan gangguan emosi atau gabungan biologik dan psikologik (Biran Affandi, 1990: 17). Siklus menstruasi mempunyai hubungan tertentu terhadap keadaan fisik dan psikologis wanita (Sri Hartanti, 1990: 129).
Salah satu penyebab infertilitas wanita antara lain dilihat dari riwayat menstruasinya, apakah siklus menstruasinya teratur. Kelainan fase luteal siklus menstruasi merupakan penyebab infertilitas yang penting (Sylvia Verralis, 2003). Disfungsi ovulasi berjumlah 10-25% dari kasus infertilitas wanita. Gangguan nutrisi yang berat (misalnya kelaparan, anoreksia nervosa), penurunan BB (misalnya: penyakit medis atau psikiatrik) dan aktivitas yang berat (misalnya : pelari maraton, penari balet) adalah berhubungan dengan gangguan ovulasi. Obesitas juga disertai dengan siklus anovulatorik karena peningkatan tonik kadar estrogen. Stress berat menyebabkan anovulasi dan amenore (Decherney, dkk, 1998: 4).
Panjang siklus menstruasi yang normal atau dianggap sebagai siklus menstruasi yang khas ialah 28 hari, tetapi variasinya cukup luas, bukan saja antara beberapa wanita tatapi juga pada wanita yang sama. Juga pada kakak beradik bahkan saudara kembar, siklusnya tidak terlalu sama. Rata-rata panjang siklus menstruasi pada gadis usia 12 tahun ialah 25,1 hari. Lama menstruasi biasanya antara 3-8 hari, pada setiap wanita biasanya lama menstruasi itu tetap (Sarwono, 2002: 103).
Telah dilakukan penyelidikan terhadap 4000 wanita, ternyata hanya 3% diantaranya yang mempunyai siklus menstruasi yang teratur. Hampir semua wanita mengalami siklus menstruasi yang kurang teratur dari bulan yang satu ke bulan yang lain, pasti ada perubahan sedikit (Sheldon, 1990: 47)
Sebanyak dua pertiga dari wanita-wanita yang dirawat dirumah sakit untuk perdarahan disfungsional berumur diatas 40 tahun dan 3% dibawah 20 tahun. Sebetulnya dalam praktek banyak dijumpai perdarahan disfungsional dalam masa pubertas, akan tetapi karena keadaan ini biasanya dapat sembuh sendiri, jarang diperlukan perawatan di Rumah Sakit. Perdarahan ovulator merupakan kurang lebih 10% dari perdarahan disfungsional dengan siklus pendek (polimenorea) atau panjang (oligomenorea) (Sarwono, 2002).
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Maret 2007 terhadap Mahasiswa Tingkat IIB Program Studi Kebidanan Metro yang berjumlah 39 Mahasiswa, penulis temukan berjumlah 22 Mahasiswa mengalami siklus menstruasi yang tidak teratur. Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai “Faktor-faktor yang mempengaruhi tidak teraturnya siklus menstruasi pada Mahasiswa Tingkat IIB Program Studi Kebidanan Metro.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka penulis membuat rumusan masalah penelitian sebagai berikut, “Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi tidak teraturnya siklus menstruasi pada Mahasiswa Tingkat IIB Program Studi Kebidanan Metro?”


Baca Selengkapnya - Faktor-faktor yang mempengaruhi tidak teraturnya siklus menstruasi pada mahasiswa tingkat ……. program studi kebidanan

Faktor-faktor yang menyebabkan kurangnya akseptor KB kondom di puskesmas

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di dunia Internasional menghadapi masalah pertumbuhan penduduk pada akhir dekade 60-an, selain mempengaruhi strategi dan praktek pembangunan ekonomi kiranya ikut mempengaruhi kebijaksanaan terhadap masalah kependudukan. Problem pertumbuhan penduduk dengan demikian telah menjadi focus persoalan, bahkan mengurangi angka pertumbuhan penduduk dilihat sebagai salah satu kunci dalam menyelesaikan persoalan yang lebih luas,yaitu kemiskinan dan keterbelakangan ialah karena meledaknya penduduk di seluruh dunia telah bertambah lebih dua kali lipat dalam masa satu abad (Juliantoro, 1984 :9)
Sebagai salah satu Negara berkembang, Indonesia tidak luput dari masalah kependudukan , Indonesia menghadapi masalah dengan jumlah kualitas sumberdaya manusia dengan kelahiran 5.000.000 pertahun.Untuk dapat mengangkat derajat kehidupan bangsa telah di laksanankan secara bersamaan pembangunan ekonomi yang merupakan sisi masing-masing mata uang.Bila Gerakan Keluarga Berencana (KB) tidak di lakukan bersamaan dengan pembangunan ekonomi,di khawatirkan hasil pembangunan tidak akan berati (Manuaba,1996 : 437 ). Sejak Pelita V program KB Nasional berubah menjadi Gerakan KB Nasional.Gerakan KB Nasional adalah gerakan masyarakat yang menghimpun dan mengajak segenap potensi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam melembagakan dan membudayakan NKKBS dalam rangka meningkatkan mutu sumber daya Indonesi (Wiknjosastro, 1999 : 902)
Adapun tujuan gerakan KB Nasional menurut Wiknjosastro (1999:902) adalah mewujudkan keluaga kecil bahagia sejahtera yang menjadi dasar bagi terwujudnya masyarakat yang sejahtera melalui pengendalian kelahiran dan pertumbuhan penduduk Indonesia. Sasaran Gerakan KB Nasional ialah (1) Pasangan Usia Subur, dengan proritas PUS muda dengan prioritas rendah (2) Generasi muda dan purna PUS (3) Pelaksana dan pengelola KB dan (4) Sasaran wilayah adalah wilayah dengan laju prtumbuhan penduduk tinggi dan wilayah khusus seperti sentra industri, pemukiman padat, daerah kumuh dan daerah pantai serta terpencil.
Pada umumnya pemerintah di Negara-negara sedang berkembang paling banyak menggunakan metode kontrasepsi yang pemakainya perempuan.Distribusinya adalah pemakai pil 17,1 %,injeksi 15,2 %,IUD 10,3 %,nonplant 4,6 %, tubektomi 3,1 %,vasektomi 0,7 %,dan kondom 0,9 % ( Juliantoro ,1999 : 29 ). Dari begitu beragamnya alat-alat kontrasepsi bagi perempuan menyebabkan banyak anggota masyarakat menganggap bahwa pembatasan kelahiran memang menjadi urusan kaum perempuan,padahal semua kita tahu meskipun kehamilan hanya di alami oleh perempuan akan tetapi kehmilan tidak akn terjadi tanpa adanya sperma laki-laki
(www.yakita.or.id/alat kontrasepsi2.htm). Untuk itulah, pada masa kini,kondom yang merupakan metode kontrasepsi pria yang telah lam di kenal, kembali mendapatkan perhatian baru, baik dalam bidang keluarga berencana maupun dalam bidang lain (Hartanto, 2002 :60).Perkembangan partisipasi pria dalam KB, khususnya kondom, selama kurun waktu 12 tahun terakhir belum memperlihatkan kenaikan bahkan tidak mengalami kenaikan sama sekali.Hal ini dapat dilihat dalam angka-angka pencapaian kondom tahun 1991 sebesar 0,8 % (SDKI 1991).tahun 1994 sebesar 0,9 % tahun 1997 sebesar 0,7 % (SDKI 1997) dan tahun 2003 sebesar 0,9 % (SDKI 2002-2003).
Metode kontrasepsi kondom merupakan metode sederhana yang salah satunya menjadi pilihan untuk menjarangkan kehamilan dengan periode usia akseptor 20-30/35 tahun, dengan jumlah anak 2 orang dan jarak antara kelahiran adalah 2-4 tahun (Wiknjosastro, 1999: 903), dengan memilki kelebihan mudah di pakai, dapat mencegah penularan penyakit kelamin,efek samping hampir tidak ada, relative, murah, kontrasepsi yang tidak mengandung hormon,sederhana,ringan,mudah di dapat, disposable, tidak memerlukan pemeriksaan medis,dan saat ini kondom telah di buat modern, sehingga tidak mengurangi kenikmatan seks (Hartanto, 2002:60). Keuntungan-keuntungan kondom tersebut akan di peroleh kalau kondom di pakai secara benar dan konsisten pada setiap senggama, karena umumnya angka kegagalan yang timbul akibat di sebabkan pemakaian yang tidak benar, tidak konsisten, tidak teratur atau tidak hati-hati ( Hartanto , 2002 : 60 ). Sedangkan pembuatan kondom sendiri padea masa sekarang sudah sangat baik karena harus memenuhi standar tertentu sehingga kualitasnya tidak perlu di ragukan lagi (Llewellyn, 2005 : 110).
Dalam hal memanfaatkan kontrasepsi modern pada masyarakat luas, Jepang merupakan kasus yang menarik, sudah sejak lama cara kontrasepsi yang paling banyak di gunakan di Jepang adalah kondom sebanyak 75,8 % PUS, salah satu alasan dari pemerintah Jepang karena akibat samping terhadap kesehatan akseptor memakai alat kontrasepsi lainnya (Juliantoro, 2000 : 26), sedangkan di Indonesia pemakai alat kontrasepsi adalah perempuan, sedangkan laki-laki jarang.Kini presentase konsumen yang menggunakan kondon tidak sampai 5 %. Penggeseran ini menjadi semakin mendesak terutama bila mengingat pandemic AIDS (Juliantoro, 2000 : 150)
Pada tahun 2003, di Indonesia akseptor KB kondom mencapai 0,46 % (BPS,Statistik Kesejahteraan Rakyat,2003), sedangkan pada tahun 2005 di propinsi Lampung, akseptor KB kondom mencapai 3.260 PUS (0,34 %) dari jumlah PUS 1.380.636.Pada Kota Metro sendiri tahun 2006 jumlah akseptor KB kondom mencapai 106 PUS dari jumlah PUS 24.331. Di Kecamatan Metro Utara terdapat 4 akseptor KB kondom dari jumlah PUS 4.756.( BKKBN Propinsi Lampung : 2005/2006). Berdasarkan prasurvey yang di lakukan oleh penulis pada tanggal 20-22 Maret 2007 di Puskesmas Banjar Sari Kelurahan Banjar Sari di peroleh data dari januari sampai desember 2006 berjumlah 1.877 PUS, peserta KB aktif 1.467 orang dan akseptor KB kondom 2 orang.

Baca Selengkapnya - Faktor-faktor yang menyebabkan kurangnya akseptor KB kondom di puskesmas

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya mastitis pada ibu postpartum di BPS

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu kegunan kita tentang cinta Tuhan kepada umat-Nya dapat kita rasakan ketika ibu mulai menyusui bayinya dengan ASI (Air Susu Ibu). Proses ini merupakan mukjizat yang harus disyukuri dan dimanfaatkan seoptimal mungkin. Hal ini dapat kita pahami dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa tidak ada makanan di dunia ini yang sesempurna ASI. ASI adalah salah satu jenis makanan yang mencukupi seluruh unsur kebutuhan bayi baik fisik, psikologis, sosial maupun spiritual (Hubertin, 2003).
Menyusui merupakan suatu proses alamiah. Berjuta-juta ibu diseluruh dunia berhasil menyusui bayinya tanpa pernah membaca buku tentang ASI. Seiring dengan perkembangan zaman, terjadi pula peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat sehingga pengetahuan lama yang mendasar seperti menyusui justru kadang terlupakan, menyusui adalah suatu pengetahuan yang selama berjuta-juta tahun mempunyai peran yang penting dalam mempertahankan kehidupan manusia (Roesli, 2000).
Semakin disadari bahwa pengeluaran ASI yang tidak efisien akibat dari teknik menyusui yang buruk, merupakan penyebab penting terjadinya mastitis, tetapi dalam benak banyak petugas kesehatan, mastitis masih dianggap sama dengan infeksi payudara. Mereka sering tidak mampu membantu wanita penderita mastitis untuk terus menyusui, dan mereka bahkan mungkin menyarankan wanita tersebut untuk berhenti menyusui, yang sebenarnya tidak perlu. Mastitis dan abses payudara terjadi pada semua populasi, dengan atau tanpa kebiasaan menyusui. Insiden yang dilaporkan bervariasi dan sedikit sampai 33% wanita menyusui, tetapi biasanya dibawah 10% (WHO, 2003).
Masalah-masalah menyusui yang sering terjadi adalah puting susu lecet/nyeri sekitar 57% dari ibu-ibu yang menyusui dilaporkan pernah menderita kelecetan pada putingnya, payudara bengkak. Payudara bengkak sering terjadi pada hari ketiga dan keempat sesudah ibu melahirkan, karena terdapat sumbatan pada satu atau lebih duktus laktiferus dan mastitis serta abses payudara yang merupakan kelanjutan/komplikasi dari mastitis yang disebabkan karena meluasnya peradangan payudara.Sehingga dapat menyebabkan tidak terlaksananya ASI ekslusif (Soetjiningsih, 1997).
Berdasarkan pra survey yang diperoleh di BPS Dwi Yuliani Seputih Banyak pada Januari -Mei 2007, diperoleh kunjungan ibu yang mengalami mastitis yang menunjukkan adanya gangguan atau masalah dalam menyusui 11 orang (16,17%) dari total ibu postpartum sebanyak 68 orang.
Dari uraian di atas, maka penulis ingin mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya mastitis pada ibu postpartum pada bulan Januari-Mei 2007 di BPS Dwi Yuliani Seputih Banyak.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, maka penulis merumuskan masalah dalam penelitian yaitu “Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya mastitis pada ibu postpartum di BPS Dwi Yuliani Seputih Banyak pada bulan Januari-Mei 2007 ?”.


Baca Selengkapnya - Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya mastitis pada ibu postpartum di BPS

Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya keikutsertaan suami menjadi akseptor keluarga berencana (KB) di desa

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Program keluarga berencana adalah suatu program yang dimaksudkan untuk membantu para pasangan dan perorangan dalam mencapai tujuan reproduksi mereka, mencegah kehamilan yang tidak diinginkan dan mengurangi insidens kehamilan beresiko tinggi, kesakitan dan kematian membuat pelayanan yang bermutu, terjangkau, diterima dan mudah diperoleh bagi semua orang yang membutuhkan, meningkatkan mutu nasehat, komunikasi, informasi, edukasi, konseling, dan pelayanan meningkatkan partisipasi dan tanggung jawab pria dalam praktek KB (BKKBN 2001).
Salah satu usaha dari program KB adalah penjarangan kehamilan dengan menggunakan alat kontrsepsi yaitu suatu alat yang digunakan sebagai upaya untuk mencegah terjadinya kehamilan, pada umumnya metode kontrasepsi terdiri dari metode sedarhana, metode efektif dan metode kontrasepsi mantap. Metode sederhana antara lain terdiri dari senggama terputus, pantang berkala, kondom, diafragma, cream atau jelly, dan cairan berbusa, metode efektif cotohnya yaitu pil KB, Intra Uterine Device (IUD), Suntik dan alat kontrasepsi bawah kulit (AKBK) sedangkan metode kontrasepsi mantap yaitu dengan cara operasi yang terdiri dari metode operasi pria dan metode operasi pada wanita yaitu tubektomi untuk wanita, vasektomi untuk pria (DepKes, 1996).
Pengembangan program KB yang secara resmi dimulai sejak tahun 1970 telah memberikan dampak terhadap penurunan tingkat fertilitas total (TFR) yang cukup menggembirakan, namun partisipasi pria dalam ber KB masih sangat rendah yaitu sekitar 1,3 persen (SDKI 2002-2003). Angka tersebut bila dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya seperti pakistan 5,2% pada tahun 1999, Banglades 13,9% pada tahun 1997, Malaysia 16,8% pada tahun1998 adalah yang terendah (BKKBN, 2001). Hal ini selain disebabkan oleh keterbatasan macam dan jenis alat kontrasepsi pria, juga oleh keterbatasan pengetahuan suami akan hak-hak dan kesehatan reproduksi serta kesehatan dan keadilan gender.
Rendahnya partisipasi pria dalam KB dapat memberikan dampak negatif bagi kaum wanita karena dalam kesehatan reproduksi tidak hanya kaum wanita saja yang selalu berperan aktif, sehingga emansipasi wanita yang telah dipelopori oleh ibu Kartini yang menuntut kesamaan hak antara wanita dan pria menjadi suatu kenyataan dan wanita tidak hanya dijadikan sebagai alat “Pembuat anak dan budak untuk mengurus anak serta seluruh keluarga”. Karena itu perlu sekali kesetaraan dalam kesehatan Reproduksi, kaum pria tidak hanya menjadi “penonton” dan harus ikut andil, belum lagi wanita yang hamil dan melahirkan akan dihadapkan pada bahaya kehamilan dan persalinan (Entjang, 1982).
Berdasarkan data dari BKKBN propinsi Lampung tahun 2005, di Wilayah Kabupaten Lampung Selatan terdapat 232,113 pasangan usia subur (PUS) dengan jumlah peserta KB aktif yang menggunakan alat kontrasepsi kondom 367 (0,23%) dan vasektami (MOP) 2.369 (1,47%) untuk kecamatan natar dengan jumlah PUS 26.972 yang menggunakan alat kontrasepsi kondom sejumlah 54 (0,29%). Dari hasil prasurvey langsung di dapatkan jumlah PUS yang menggunakan vasektomi hanya 7 (0,03%) PUS sedangkan di Desa Haduyang dengan jumlah akseptor KB 857 PUS di dapatkan yang menggunakan alat kontrasepsi kondom hanya 12 PUS dan tidak ada yang menggunakan alat kontraspesi berupa vasektomi.
Pengembangan metode kontrasepsi pria masih jauh tertinggal karena adanya hambatan-hambatan yang ditemukan antara lain kesulitan dalam memperoleh informasi tentang alat kontrasepsi, hambatan medis yang berupa ketersediaan alat maupun ketersediaan tenaga kesehatan, selain itu juga adanya rumor yang beredar di masyarakat mengenai alat kontrasepsi sehingga hal ini menjadi faktor penghambat dalam pengembangan metode kontrasepsi (BKKBN, 2001).
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis ingin mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya keikutsertaan suami menjadi akseptor keluarga berencana (KB) di Desa Haduyang Kecamatan Natar Lampung Selatan pada tahun 2007.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang terdapat pada latar belakang, maka rumusan dalam penelitian ini adalah "faktor-faktor apakah yang mempengaruhi rendahnya keikutsertaan suami menjadi akseptor keluarga berencana di Desa Haduyang Kecamatan Natar Lampung Selatan?".


Baca Selengkapnya - Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya keikutsertaan suami menjadi akseptor keluarga berencana (KB) di desa

Faktor-faktor rendahnya penggunaan implant di kelurahan

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Program Keluarga Berencana (KB) merupakan salah satu usaha pemerintah Indonesia untuk menanggulangi masalah pertumbuhan penduduk. Gerakan Keluarga Berencana Nasional adalah gerakan masyarakat yang menghimpun dan mengajak segenap potensi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam melembagakan dan membudayakan Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS) dalam rangka meningkatkan mutu sumber daya manusia Indonesia (Wiknjosastro, 2002:902). Program Keluarga Berencana di Indonesia dirintis sejak tahun 1957 dengan diresmikannya Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI). PKBI sebagai pelopor pergerakan Keluarga Berencana dan sampai sekarang masih aktif membantu program Keluarga Berencana nasional yang dikoordinir oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) (Mochtar, 1998:251). Dalam program ini salah satu tujuannya adalah menjarangkan kehamilan dengan menggunakan metode kontrasepsi.
Metode kontrasepsi yang digunakan diantaranya menggunakan metode alamiah seperti metode kalender, metode suhu badan basal, metode lendir serviks dan metode sympto-termal. Selain itu ada juga yang menggunakan pil, suntik, Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR), Implant, serta metode kontrasepsi mantap seperti tubektomi dan vasektomi. Sampai saat ini belum ada suatu cara kontrasepsi yang 100% ideal. Ciri-ciri suatu kontrasepsi yang ideal meliputi daya guna, aman, murah, estetik, mudah didapat, tidak memerlukan motivasi terus-menerus dan efek sampingnya minimal (Wiknjosastro, 2002:906). Namun demikian, masyarakat dapat menerima hampir semua metode medis tekhnis Keluarga Berencana yang dicanangkan oleh pemerintah (Manuaba, 1998:437).
Salah satu Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) adalah implant, yaitu suatu alat kontrasepsi yang mengandung levonorgestrel yang dibungkus dalam kapsul silatic-silicone dan disusukkan di bawah kulit. Implant berdaya guna tinggi, perlindungan jangka panjang (sampai 5 tahun), tidak membutuhkan pemeriksaan dalam dan tidak mengganggu kegiatan senggama. Selain itu implant dapat dicabut setiap saat sesuai kebutuhan.
Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Lampung tahun 2005, jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) di Provinsi Lampung tercatat sebanyak 1.380.636 pasangan dan yang menjadi peserta KB aktif sebanyak 961.460 orang (69,64%), akseptor KB implant sebanyak 123.097 orang (12,8%). Berdasarkan data dari Badan Kependudukan, Catatan Sipil dan Keluarga Berencana (BKCSKB) Kota Metro bulan Desember 2006 jumlah PUS sebanyak 24.331 pasangan, yang menjadi peserta KB aktif sebanyak 17.741 orang (72,92%), akseptor KB implant sebanyak 2.507 orang (14,13%). Jika dilihat menurut Kecamatan, jumlah PUS di Kecamatan Metro Pusat sebanyak 7.958 pasangan, yang menjadi peserta KB aktif 5.676 orang (71,32%), akseptor KB implant 510 orang (8,98%) Kecamatan Metro Utara jumlah PUS sebanyak 4.756 pasangan, peserta KB aktif 3.643 orang (76,60%) akseptor KB implant 576 orang (15,81%). Kecamatan Metro Barat jumlah PUS sebanyak 3.815 pasangan, peserta KB aktif 2.771 orang (72,63%), akseptor KB implant 439 orang (15,84%). Kecamatan Metro Timur jumlah PUS sebanyak 5.355 pasangan, peserta KB aktif sebanyak 3.780 orang (70,59%) akseptor KB implant sebanyak 448 orang (11,85%). Kecamatan Metro Selatan jumlah PUS 2.447 pasangan, peserta KB aktif sebanyak 1.871 orang (76,46%) akseptor KB implant sebanyak 534 orang (28,54%). Dari data tersebut dapat diketahui bahwa di Kecamatan Metro Pusat penggunaan metode KB implant paling rendah dibandingkan di Kecamatan lainnya.
Dari hasil study pendahuluan yang dilakukan di Kecamatan Metro Pusat didapatkan data tentang kontrasepsi yang digunakan akseptor KB di Kecamatan Metro Pusat sebagai berikut :
Tabel 1. Jumlah Akseptor KB Berdasarkan Jenis Alat Konstrasepsi yang Digunakan di Kecamatan Metro Pusat bulan Desember tahun 2006
Sumber : Dokumentasi Pengelola KB, Kecamatan Metro Pusat tahun 2006.
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa di Kelurahan Imopuro Kecamatan Metro Pusat jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) sebanyak 1.343 pasangan yang menjadi peserta KB aktif 944 orang (70,29%) dan akseptor KB implant 62 orang (6,57%). Dapat diketahui bahwa di Kelurahan Imopuro penggunaan metode KB implant paling rendah dibandingkan Kelurahan lainnya. Hal inilah yang menarik peniliti untuk mengambil penelitian terhadap faktor-faktor rendahnya penggunaan metode KB implant di Kelurahan Imopuro.

B. Rumusan Masalah
Masalah adalah kesenjangan antara harapan dan kenyataan dengan apa yang diinginkan atau yang dituju dengan apa yang terjadi atau faktanya (Notoatmodjo, 2002:51). Masalah dalam penelitian ini adalah : Apakah faktor-faktor rendahnya penggunaan implant di Kelurahan Imopuro Kecamatan Metro Pusat.


Baca Selengkapnya - Faktor-faktor rendahnya penggunaan implant di kelurahan

Faktor-faktor yang mempengaruhi pemberian makanan pendamping ASI pada bayi kurang dari 6 bulan di wilayah kerja puskesmas

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Peningkatan kualitas manusia harus dimulai sedini mungkin sejak masih bayi. Salah satu faktor yang memegang peranan penting dalam peningkatan kualitas manusia adalah pemberian air susu ibu (ASI). Pemberian ASI semaksimal mungkin merupakan kegiatan penting dalam pemeliharaan anak dan persiapan generasi penerus di masa depan (usu.online, 2007). Air susu ibu (ASI) merupakan makanan terbaik bagi bayi karena ASI mengandung zat gizi yang paling sesuai kualitas dan kuantitasnya untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi. Sejak lahir, bayi seharusnya di beri ASI saja sampai usia 6 bulan yang di sebut sebagai ASI eksklusif. Selanjutnya pemberian ASI di teruskan hingga anak berusia 2 tahun, setelah berusia 6 bulan bayi baru boleh di berikan makanan pendamping ASI (MP-ASI) dalam bentuk dan jumlah yang sesuai dengan umur bayi (Dep.Kes, 2005).
Menyusui secara eksklusif mempunyai manfaat yang besar, tidak hanya memberikan keuntungan untuk bayi tetapi juga untuk ibu, ayah, keluarga dan juga negara. Menurut penelitian dr. Reva (1997) ditemukan bahwa bayi yang diberi ASI eksklusif, ketika berusia 9,5 tahun mempunyai tingkat IQ 12,9 point lebih tinggi dibandingkan bayi yang tidak diberi ASI eksklusif (Roesli, 2002).
Tahun 2003 di Indonesia dengan jumlah bayi 3.213.860 bayi yang sudah diberi ASI eksklusif adalah 1.339.298 orang bayi yaitu (41,67%). Berarti 1.874.562 bayi yaitu (58,33%) tidak diberi ASI eksklusif dengan berbagai alasan. Sedangkan di Lampung dengan jumlah 3.114 bayi, yang sudah diberi ASI eksklusif adalah 2.190 (70,33%) bayi dan 914 (29,67%) bayi tidak diberi ASI eksklusif (Dinkes Lampung, 2004).
ASI eksklusif memiliki manfaat yang sangat besar, maka sangat disayangkan bahwa pada kenyataan penggunaan ASI eksklusif belum seperti yang diharapkan. Hal ini disebabkan karena ibu sibuk bekerja dan hanya diberi cuti melahirkan selama 3 bulan, serta masih banyak ibu yang masih beranggapan salah sehingga ibu tidak menyusui bayinya secara eksklusif. Selain itu ibu takut menyusui karena akan merubah bentuk payudara ibu menjadi jelek dan ibu takut ditinggal suami, takut badan tetap gemuk. Serta masih adanya mitos atau anggapan bahwa bayi yang tidak diberi ASI tetap berhasil menjadi orang, sedangkan bayi yang diberi ASI bayinya akan tumbuh menjadi anak yang tidak mandiri dan manja. Dan alasan lain ibu memberikan makanan pendamping ASI karena ibu merasa ASI nya tidak mencukupi kebutuhan nutrisi bayinya sehingga ibu memilih susu formula karena lebih praktis (Roesli, 2002)
Pemberian makanan pendamping ASI yang terlalu dini dalam waktu jangka panjang akan mengakibatkan anak kurang gizi sehingga dapat mempengaruhi perkembangan otak (Balita Anda Indoglobal Online, 2007). Selain mengalami gangguan di atas, dapat timbul efek samping lain, yaitu berupa kenaikan berat badan yang terlalu cepat hingga menjurus ke obesitas dan dapat mengalami alergi dari salah satu zat gizi yang terdapat dalam makanan pendamping tersebut sehingga dapat menimbulkan diare (Pudjiadi, 1990).
Diare pada bayi bisa mengakibatkan kematian dan masih merupakan salah satu penyakit utama pada bayi dan anak di Indonesia. Diperkirakan, angka penderita antara 150-430 per 1.000 penduduk setahunnya. Dengan berbagai upaya angka kematian bayi dan anak akibat diare dirumah sakit sekarang dapat ditekan menjadi kurang dari 3% (Gizinet.Online, 2007).
Dilihat dari jumlah ibu dan lamanya menyusui dibanyak bagian dunia telah menunjukkkan penurunan karena berbagai alasan sosial, ekonomi, budaya. Di Indonesia terutama dikota-kota besar dan sekarang sudah sampai kepedesaan (Soetjiningsih, 1997). Sedangkan target keberhasilan program ASI eksklusif yang diharapkan untuk tahun 2010 sebesar 80% (DepKes RI, 2005).
Tahun 2006 jumlah bayi di Kota Metro berjumlah 5.432 bayi sedangkan jumlah bayi yang mendapat ASI eksklusif hanya berjumlah 1.308 bayi, atau hanya (24,07%) (Dinkes Metro,2006).
Berdasarkan hasil pra survey bulan Januari-Maret 2007 di Puskesmas Banjarsari, jumlah bayi yang usianya kurang dari 6 bulan yaitu 112 bayi, sedangkan bayi yang di beri ASI eksklusif hanya berjumlah 6 bayi atau hanya (5,35%) bayi usianya kurang dari 6 bulan yang diberikan PASI (pengganti ASI hanya berjumlah 4 bayi dan bayi yang telah diberikan makanan pendamping ASI berjumlah 102 bayi atau (96,20%) (Puskesmas Banjarsari, 2007). Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pemberian makanan pendamping ASI pada bayi kurang dari 6 bulan.


Baca Selengkapnya - Faktor-faktor yang mempengaruhi pemberian makanan pendamping ASI pada bayi kurang dari 6 bulan di wilayah kerja puskesmas

Arsip

0-Asuhan Kebidanan (Dokumen Word-doc) 0-KTI Full Keperawatan (Dokumen Word-doc) Anak Anatomi dan Fisiologi aneh lucu unik menarik Antenatal Care (ANC) Artikel Bahasa Inggris Asuhan Kebidanan Asuhan Keperawatan Komunitas Asuransi Kesehatan Berita Hiburan Berita Terkini Kesehatan Berita Tips Twitter Celeb contoh Daftar Pustaka Contoh KTI Contoh KTI Kebidanan Farmakologi (Farmasi) Gadar-kegawatdaruratan Gizi Handphone Hirschsprung Hukum Kesehatan Humor Segar (Selingan) Imunisasi Info Lowongan Kerja Kesehatan Intranatal Care (INC) Jiwa-Psikiatri kamus medis kesehatan online Kebidanan Fisiologis Kebidanan Patologis Keluarga Berencana (KB) Keperawatan Gerontology Kesehatan Anak (UMUM) Kesehatan Bayi (untuk UMUM) Kesehatan Haji Kesehatan Ibu Hamil (untuk UMUM) Kesehatan Ibu Menyusui (untuk UMUM) Kesehatan Pria (untuk UMUM) Kesehatan Remaja Kesehatan Reproduksi (Kespro) Kesehatan Wanita (untuk UMUM) Koleksi Skripsi Umum Konsep Dasar KTI D-3 Kebidanan KTI Skripsi Keperawatan kumpulan askep Laboratorium Lain-lain Makalah Keperawatan Kebidanan Managemen Kesehatan Mikrobiologi Motivasi Diri Napza dan zat Adiktif Neonatus dan Bayi News Penyakit Menular potensi KLB Penyakit Menular Seksual (PMS) Postnatal Care (PNC) Protap-SOP Psikologi-Psikiater (UMUM) Reformasi Kesehatan Sanitasi (Penyehatan Lingkungan) Satuan Acara Penyuluhan (SAP) Sistem Endokrin Sistem Immunologi Sistem Indera Sistem Integumen Sistem Kardiovaskuler Sistem Muskuloskeletal Sistem Neurologis Sistem Pencernaan Sistem Perkemihan Sistem Pernafasan Surveilans Penyakit Teknologi Tips dan Tricks Seks Tips Facebook Tips Karya Tulis Ilmiah (KTI) Tips Kecantikan Tips Kesehatan Umum Tokoh Kesehatan Tutorial Blogging Youtuber