Cari Blog Ini

Gambaran faktor-faktor wanita pasangan usia subur tidak menggunakan kontrasepsi tubektomi di kelurahan

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Program Keluarga Berencana (KB) merupakan salah satu usaha pemerintah Indonesia untuk menanggulangi masalah pertumbuhan penduduk. Gerakan nasional adalah gerakan masyarakat yang menghimpun dan mengajak segenap potensi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam melambangkan dan membudayakan NKKBS dalam rangka meningkatkan mutu sumber daya Indonesia. Hasil sensus penduduk 1990 menunjukkan bahwa gerakan KB Nasional telah berhasil merampungkan landasan pembentukkan keluarga kecil, dalam rangka pelembagaan dan pembudayaan Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS) langkah besar yang perlu dibangun selanjutnya adalah pembangunan keluarga kecil sejahtera (Wiknjosastro, 2002).
Tujuan gerakan KB Nasional adalah mewujudkan keluarga kecil bahagia sejahtera yang menjadi dasar bagi terwujudnya masyarakat yang sejahtera melalui pengendalian kelahiran dan pertumbuhan penduduk Indonesia. Sasaran KB Nasional ialah: 1) Pasangan usia subur dengan prioritas PUS Muda dengan prioritas rendah, 2) Generasi muda dan purna PUS, 3) Pelaksanaan dan pengelola KB dan 4) Sasaran wilayah (Wiknjosastro, 2002).
Gerakan keluarga berencana Indonesia telah menjadi contoh bagaimana negara dengan penduduk terbesar keempat di dunia dapat mengendalikan dan menerima gerakan keluarga berencana sebagai salah satu bentuk pembangunan keluarga yang lebih dapat dikendalikan untuk mencapai kesejahteraan. (Manuaba, 1999). Dalam mencapai sasaran NKKBS itu pernah dicanangkan konsep pancawarga artinya keluarga terdiri dari tiga anak sedangkan pengertian tersebut makin berkembang menjadi konsep catur warga yaitu hanya dua anak saja (Manuaba, 1999).
Pada umumnya pemerintah di negara-negara sedang berkembang paling banyak menggunakan metode kontrasepsi yang pemakainya perempuan. Distribusinya adalah pemakai pil 17,1 %, injeksi 15,2 %, IUD 10,3 %, Norplant 4,6 %, Tubaktomi 3,1 %, Vasektomi 0,7 % dan Kondom 0,9 % (Juliantoro, 1999). Berdasarkan data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sejak tahun 2003 – 2006 peserta program keluarga berencana (KB) Indonesia hanya meningkat 0,5 % pertahun. Saat ini peserta KB hanya 62,5 % dari 45 juta PUS atau sekitar 28 juta PUS yang menjadi peserta KB aktif (http://www.pd persi.co.id).
Permasalahan pembangunan kependudukan dan keluarga berkualitas adalah masih tingginya laju pertumbuhan penduduk dan jumlah penduduk, masih tingginya tingkat kelahiran penduduk, hal ini ditandai dengan tingginya angka kelahiran Total Fertility Rate (TFR) pada tahun 2006 sebesar 2,78 rata – rata kelahiran pasangan usia subur dan diharapkan pada tahun 2010 sebesar 2,38 rata – rata kelahiran pasangan usia subur (http://serdangbedagaikab.go.id) .
Program KB memiliki dampak positif dalam membantu penurunan angka kematian ibu, epidemi HIV/AIDS, meningkatkan mutu gender, dan mempromosikan pendayagunaan kaum muda. Akses yang lebih baik untuk metode kontrasepsi yang aman dan terjangkau akan Mempercepat Pencapaian Tujuan Pembangunan Millenium (MDGS). Oleh karena itu sejak 2005 masalah kesehatan reproduksi dimasukkan menjadi salah satu indikator pencapaian MDGS. Jika tiap keluarga punya anak dua atau tiga, berarti program KB sudah berhasil (http://www.medianasional.com). Adapun penggunaan kontrasepsi tubektomi atau vasektomi dipandang sebagai upaya meghentikan kehamilan secara permanen, jadi sama dengan pengebirian, ini yang tidak boleh di lakukan karena bisa memutus keturunan (http://www.gaulislam.com).
Rendahnya pemakaian metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP) seperti alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR), implant, Metode Operasional Wanita (MOW)/Tubektomi dan Metode Operasional Pria (MOP)/Vasektomi dikarenakan kurangnya pengetahuan serta kesadaran pasangan usia subur untuk menggunakan metode kontrasepsi ini, lemahnya ekonomi juga mempengaruhi partisipasi masyarakat terhadap pemakaian metode kontrasepsi tubektomi. (Bappenas.go.id)
Perasaan dan kepercayaan wanita mengenai tubuh dan seksualitasnya tidak dapat dikesampingkan dalam pengambilan keputusan dalam menggunakan kontrasepsi. Banyak wanita takut siklus menstruasi normalnya berubah, karena mereka takut perdarahan yang lama dapat mengubah pola hubungan seksual dan juga dapat membatasi aktifitas keagamaan maupun budaya. Dinamika seksual dan kekuasaan antara pria dan wanita dapat menyebabkan penggunaan kontrasepsi terasa canggung bagi wanita. Dukungan suami mengenai keluarga berencana cukup kuat pengaruhnya untuk menentukan penggunaan metode keluarga berencana oleh istri. Berbagai budaya mendukung kepercayaan bahwa pria mempunyai hak akan fertilitas istri mereka, seperti di Papua Nugini dan Nigeria wanita tidak dapat memiliki kontrasepsi tanpa persetujuan suami (Klobinsky, 1997).
Berdasarkan hasil pra survei tanggal 24 Maret 2008 di Kota Metro pasangan usia suburnya berjumlah 25.136 orang dengan jumlah peserta KB aktifnya 18.585 (73, 93%), dan untuk lebih jelasnya maka dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini:

Baca Selengkapnya - Gambaran faktor-faktor wanita pasangan usia subur tidak menggunakan kontrasepsi tubektomi di kelurahan

Gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi berat badan ib hamil di puskesmas

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Visi Indonesia Sehat 2010 adalah ditetapkannya misi pembangunan kesehatan yang salah satunya adalah mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat, dengan sasaran meningkatkan jumlah penduduk mengkonsumsi makanan dengan gizi yang seimbang sehingga untuk meningkatkan percepatan perbaikan derajat kesehatan masyarakat dengan salah satu program unggulannya yaitu program perbaikan gizi (Dep.Kes RI,1993).
Sebagian besar atau 50% penduduk Indonesia saat ini dapat dikatakan tidak sakit akan tetapi juga tidak sehat, umumnya disebut kekurangan gizi. Kejadian kekurangan gizi pada ibu hamil berdampak pada kemungkinan resiko tinggi untuk melahirkan bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), meningkatnya kemungkinan pre eklamsi, perdarahan antepartum, dan komplikasi obstetrik lainnya selain meningkatnya angka kematian ibu, angka kematian perinatal, angka kematian bayi, angka kematian balita, serta rendahnya umur harapan hidup (Dep.Kes. RI, 2004).
Angka kematian ibu maternal berguna untuk menggambarkan tingkat kesadaran perilaku hidup sehat, status gizi dan kesehatan ibu, kondisi kesehatan lingkungan, tingkat pelayanan kesehatan terutama untuk ibu hamil, waktu melahirkan dan masa nifas. Hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002-2003. Angka kematian ibu sebesar 307 (0,307%) per 100.000 kelahiran hidup. Provinsi Lampung terdapat sebanyak 145 (0,88%) kasus dari 165.347 kelahiran hidup. Jumlah AKI di Kota Metro pada tahun 2005 ini ada sebanyak 2 (0,072%) kasus per 2.801 kelahiran hidup. Kota Metro sebagai wilayah dengan kasus terkecil AKI tetap saja mengalami peningkatan kejadian dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Dinas Kesehatan Provinsi Lampung, 2005).
Berdasarkan hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) pada periode 2002-2003, tingkat kematian perinatal adalah 24 per 1000 kelahiran (Kodim, 2007). Salah satu faktor utama yang berpengaruh terhadap kematian perinatal dan neonatal adalah Berat Badan Lahir Rendah (kurang dari 2500 gram). BBLR dibedakan dalam 2 kategori yaitu : BBLR karena prematur (usia kandungan kurang dari 37 minggu) atau BBLR karena Intrauterine Growth Retardasion (IUGR), yaitu bayi lahir cukup bulan tapi berat badannya kurang. Terdapat BBLR dengan IUGR karena ibu berstatus gizi buruk, anemia, malaria, dan menderita penyakit menular seksual (PMS) sebelum konsepsi atau pada saat hamil di negara berkembang (Dep.Kes. RI, 2003).
Hasil survey Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) pada tahun 2003 menunjukkan sebesar 16,7% Wanita Usia Subur (WUS) di Indonesia memiliki risiko Kurang Engergi Kronik (KEK). Provinsi Lampung tercatat sebesar 14,43% WUS yang mempunyai resiko KEK (Dep.Kes. RI, 2003).
Menurut data para survei yang penulis peroleh pada tanggal 28 Maret 2007 di Puskesmas Banjar Sari Kecamatan Metro Utara Kota Metro didapatkan data ibu hamil dengan status gizi kurang yaitu periode Januari – Maret 2007 memiliki jumlah ibu hamil dengan resiko tinggi sebanyak 8 (2,73%), risiko KEK sebanyak 4 (1,37%) orang dari 293 ibu hamil (Laporan Puskesmas Banjarsari, 2007). Jumlah bayi yang lahir dengan BBLR di Kota Metro sebesar 68 (2,43%) bayi dari 2.801 kelahiran hidup. Khusus untuk Puskesmas Banjarsari sebanyak 15 (3,49%) bayi dari 499 kelahiran hidup (Dinas Kesehatan Kota Metro, 2005).
Melihat dari data KEK tersebut bahwa resiko kehamilan meningkat pada ibu hamil yang KEK sehingga dapat mempengaruhi hasil dari kehamilan tersebut (Moore, 1991).
Kehamilan merupakan masa penyesuaian tubuh terhadap perubahan fungsi tubuh yang menyebabkan peningkatan kebutuhan akan nutrisi. Terdapat berbagai laporan penelitian yang menunjukkan adanya kaitan erat antara status gizi ibu hamil dan anaknya yang dikandung yaitu bahwa status gizi ibu hamil mempengaruhi tumbuh kembang janin yang dikandung. Makanan ibu sangat penting diperhatikan agar kebutuhan nutrisi ibu dan anak dapat terpenuhi secara optimal. Faktor-faktor yang mempengaruhi berat badan ibu hamil dapat dilihat dari Indeks Quetelet (Indeks Q), asupan gizi, dan komplikasi atau penyakit yang menyertai ibu selama kehamilan (Samsudin, 1986).
Indikator pemenuhan gizi ibu hamil dapat diukur dengan Indeks Quetelet (Indeks Q). Indeks Q menekankan pada keseimbangan berat badan dalam kilogram dibagi dengan dua kali tinggi badan dalam meter. Kenaikan berat badan adalah salah satu indeks yang dapat dipakai sebagai ukuran untuk menentukan status gizi wanita hamil (Rose-Neil, 1991).
Asupan gizi sangat menentukan kesehatan ibu hamil dan janin yang dikandungnya. Makanan yang dikonsumsi terdiri dari susunan menu seimbang, yaitu yang lengkap dan sesuai kebutuhan. Asupan makanan ibu hamil meningkat seiring dengan bertambahnya usia kehamilan sehingga dapat mempengaruhi pola kenaikan berat bdan ibu selama kehamilan (Huliana, 2001).
Seorang wanita yang mengidap penyakit bawaan atau penyakit tertentu yang cukup serius harus waspada dan berhati-hati dalam menghadapi kehamilan. Umumnya kehamilan dapat berjalan lancar dengan perawatan dan pengobatan yang teratur (Huliana, 2001).
Melihat uraian diatas maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian sederhana mengenai “gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi berat badan ibu hamil di Puskesmas Banjarsari Kecamatan Metro Utara Kota Metro Tahun 2007”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apa faktor-faktor yang mempengaruhi berat badan ibu hamil di Puskesmas Banjarsari Kecamatan Metro Utara Kota Metro?”

Baca Selengkapnya - Gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi berat badan ib hamil di puskesmas

Gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam memilih alat kontrasepsi suntik depoprovera di desa

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pengembangan manusia seutuhnya sebagai hakikat pembangunan nasional dicapai dengan berhasilnya salah satu sektor yakni pembangunan kesehatan dan juga dipengaruhi oleh terkendalinya pertumbuhan penduduk. Sebagai generasi penerus yang akan melanjutkan pembangunan bangsa menuju masyarakat sejahtera, adil dan makmur, proses pertumbuhan penduduk harus dipantau dan dikendalikan salah satunya dengan pengadaan program Keluarga Berencana (KB). Program KB nasional bertujuan ganda yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak serta mewujudkan keluarga kecil bahagia sejahtera melalui pengendalian kelahiran dan pengendalian pertumbuhan penduduk. Dalam upaya menjunjung keberhasilan Program KB Nasional yaitu tercapainya kondisi pertumbuhan penduduk seimbang.
Gerakan KB tahap kedua sekarang ini sedang berusaha meningkatkan mutu para pelaksana, pengelola dan peserta KB disemua lini lapangan di pedesaan baik di kota maupun di desa. Begitu juga dengan para akseptor KB diharapkan memiliki pengetahuan yang cukup tentang alat kontrasepsi yang digunakannya (Hartanto, 2002). Tujuan Gerakan KB Nasional ialah mewujudkan keluarga kecil bahagia sejahtera yang menjadi dasar bagi terwujudnya masyarakat yang sejahtera melalaui pengendalian kelahiran dan pertumbuhan penduduk Indonesia. Sasaran gerakan KB Nasional ialah :
1. Pasangan Usia Subur dengan prioritas PUS muda dengan paritas rendah
2. Generasi muda
3. Pelaksana dan pengelola KB
4. Sasaran wilayah
(Manuaba, 1998)

Dalam hal pelayanan kontrasepsi dalam Pelita V ini diambil kebijaksanaan sebagai berikut :
1. Perluasan jangkauan pelayanan kontrasepsi
2. Pembinaan mutu pelayanan kontrasepsi dan pengayoman medis
3. Perkembangan pelayanan kontrasepsi mandiri oleh masyarakat agar sesuai dengan standar pelayanan baku
4. Menumbuhkan kemandirian masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kontrasepsi maupun dalam mengelola pelayanan kontrasepsi.
(Winkjosastro, 1999)
menurut Hanafi Hartanto (2002) metode kontrasepsi yang ada antara lain : metode sederhana, kondom, pil, suntik, implant,metode operatif wanita (MOW),metode operatif pria (MOP), dan intra uterin device (IUD). Kontrasepsi suntikan yang baru merupakan senyawa ester berasal dari NET atau Levanolgestrol, antara lain :
1. DMPA (Depot Medroxyprogesterone asetat) = depo provera
Dosisnya 150 mg diberikan sekali setiap 3 bulan
2. NET-EN (Norethindrone enanthate) = Noristerat
Diberikan dalam dosis 200 mg sekali setiap 8 minggu atau sekali setiap 8 minggu untuk 6 bulan pertama kemudian selanjutnya sekali setiap 12 minggu.
3. Kontrasepsi Suntikan Setiap 1 bulan / Cycloprovera/Cyclofem
Kontrasepsi ini memiliki beberapa kelebihan dibandingkan kontrasepsi suntikan yang biasa yaitu :
a. Menimbulkan perdarahan teratur setiap bulan
b. Kurang menimbulkan perdarahan –bercak atau perdarahan ireguler lainnya.
c. Kurang menimbulkan amenore
d. Efek samping lebih cepat menghilang setelah suntikan dihentikan.
Kontrasepsi ini juga memiliki kerugian, antara lain :
a. Penyuntikan lebih sering
b. Biaya keseluruhan lebih tinggi
c. Kemungkinan efek samping karena estrogennya
Data propinsi lampung sampai dengan bulan Desember 2003 Pasangan Usia Subur (PUS) yang berhasil dibina menjadi peserta KB aktif sebanyak 937.841 (70,79%) dari total PUS sebanyak 1.324.747. Alat kontrasepsi yang digunakan dipropinsi Lampung adalah : obat Vaginal 53 (0,01%), kondom 2673 (0,29%),pil 337.816 (36,02%), suntikan 320.359 (34,16%), implant 124.834 (13,31%), MOW 14.528 (1,55%), MOP 12.380 (1,32%), IUD 125.198 (13,35%).
Sedangkan untuk tingkat kabupaten Lampung Tengah PUS yang berhasil dibina menjadi peserta KB aktif sebanyak 149.727. Alat kontrasepsi yang digunakan di kabupaten Lampung Tengah adalah obat Vaginal 28 (0,02%), kondom 473 (0,32%), pil 49.222 (32,87%) suntikan 46.616 (31,13%), implant 17.551 (11,72%), MOW 2437 (1,63%), MOP 2856 (1,91%), IUD 30.544 (20,40%)
Kemudian untuk tingkat kecamatan Rumbia PUS yang berhasil dibina menjadi peserta KB aktif sebanyak 6765. Alat kontrasepsi yang digunakan adalah obat vaginal 0 (0%), kondom 0 (%), pil 2571 (38,0%), suntik 728 (10,76%), implant 851 (12,57 %), MOW 251 (3,71%), MOP 90 (1,33%), IUD 2274 (33, 61%).
Kemudian untuk tingkat desa Rukti Basuki PUS yang berhasil dibina menjadi peserta KB aktif sebanyak 827. Alat kontrasepsi yang digunakan adalah obat vaginal 0 (0%), kondom 0 (0%), pil 250 (30,23%), suntik 252 (30,47%), implant 75 (9,06%), MOW 25 (3,03%), MOP 10 (1,21%), IUD 215 (25,99%).
Dari data-data diatas terlihat bahwa kontrasepsi suntik untuk propinsi Lampung mandapat urutan kedua (34,16%), kabupaten Lampung Tengah mendapat urutan kedua (31,13%), Kecamatan Rumbia mendapat urutan keempat (10,76%) dan desa Rukti Basuki mendapat urutan pertama (30,47%).
Berdasarkan pra survey di BKBN dan di Puskesmas Rumbia, penulis mendapatkan data tentang KB Tahun 2003.
Tabel 1. Data KB di Kecamatan Rumbia Tahun 2003
Pasangan Usia Subur
Jumlah PUS Jumlah PUS Mnrt Umur Istri Jumlah Peserta KB Jumlah PUS Bukan Peserta KB
Menurut Jalur Pelayanan Hamil Tidak Hamil
<20> 30 th Pemerin-tah (Puskes-mas) Swasta Jumlah Ingin Anak Tidak Ingin Anak
9687 196 3814 5677 4043 2720 6763 204 821 1899
Sumber : BKKBN Kecamatan Rumbia,tahun 2003
Tabel 2. Data Pembinaan Kesertaan BerKB Berdasarkan Jenis KB di Kecamatan Rumbia Tahun 2004
No Jenis KB Jumlah %
1 IUD 2.274 33,61%
2 MOP 90 1,33%
3 MOW 251 3,71%
4 Implant 851 12,57%
5 Suntik 728 10,76%
6 Pil 2.571 38%
7 Kondom - -
8 Obat Vaginal - -
Jumlah 6765 100%
Sumber : BKKBN Kecamatan Rumbia bulan Maret 2004.
Tabel 3. Data Akseptor KB Suntik berdasarkan jenis obat
No Jenis Obat Jumlah %
1 Cyclofem - -
2 Noristerat - -
3 Depo Provera 48 100
Jumlah 48 100%
Sumber : BKKBN Desa Rukti Basuki Kecamatan Rumbia bulan Maret 2004.
Dari data-data diatas dapat dilihat bahwa alat kontrasepsi suntikan. Mendapat urutan keempat dengan jumlah 728 (10,76%). Dan berdasarkan jenis obat yang dipakai Depoprovera mendapat urutan pertama dengan jumlah 48 (100 %). Jika dilihat dari keuntungan dari ketiga jenis obat kontrasepsi suntikan ternyata Cyclofem yang paling efektif. Namun di Desa Rukti Basuki Kecamatan Rumbia akseptor lebih banyak menggunakan depoprovera.
Berdasarkan fenomena di atas penulis ingin mengetahui faktor – faktor yang mempengaruhi ibu dalam pemilihan alat kontrasepsi suntikan depoprovera yang digunakan akseptor KB di Desa Rukti Basuki Puskesmas Kecamatan Rumbia Lampung Tengah.

Baca Selengkapnya - Gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam memilih alat kontrasepsi suntik depoprovera di desa

Gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam pemberian kapsul vitamin A di kelurahan

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masalah gizi yang utama di Indonesia adalah kurang kalori protein (KKP), kekurangan vitamin A yang dapat mengakibatkan xeropthalmia (sakit mata karena kekurangan vitamin A) misalnya rabun senja dan kebutaan. Disamping itu masalah kekurangan vitamin A merupakan masalah terpenting kedua yang perlu diatasi, karena hal ini melanda penderita yang luas jangkauan, terutama anak-anak balita. (Winarno, 1995)
Hasil survei nasional xeropthalmia telah menurun dengan tajam 1,3% pada tahun 1978 menjadi 0,33 pada tahun 1992. Dari prevalensi tersebut masalah kurang vitamin A sudah tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat lagi. Namun demikian di beberapa propinsi masih menunjukkan prevalensi yang cukup tinggi seperti di Sulawesi Selatan 2,9% maluku 0,8% dan Sulawesi Tenggara 0,6%. (Depkes. RI., 2000)
Masalah kurang vitamin A subklinis dibeberapa propinsi masih cukup memprihatinkan, karena 50% Balita masih mempunyai status vitamin A rendah. Kurang vitamin A akan mengakibatkan penurunan daya tahan tubuh terhadap penyakit yang berpengaruh pada kelangsungan hidup anak. Penanggulangan masalah kurang vitamin A saat ini bukan hanya untuk mencegah kebutaan, tetapi juga dikaitkan dengan upaya memacu pertumbuhan dan kesehatan anak guna menunjang penurunan angka kematian bayi dan berpotensi terhadap peningkatan produktifitas kerja orang dewasa. (Depkes. RI., 2000)
Strategi penanggulangan kurang vitamin A masih bertumpu pada pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi, yang diberikan pada bayi (6–11 bulan), balita (1–5 tahun) dan ibu nifas. Berdasarkan laporan tahun 1998/1999, cakupan pemberian kapsul vitamin A pada balita masih di bawah 70% (Depkes. RI., 2000).
Situasi tidak tercapainya cakupan program pemberian kapsul vitamin A pada anak balita terjadi di sejumlah puskesmas di Kota Bandar Lampung pada tahun 2003 menunjukkan cakupan program pemberian kapsul vitamin A tidak mencapai terget 80 % (Propil Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung, 2003).
Berdasarkan data prasurvey yang dilakukan penulis di salah satu puskesmas di Kota Bandar Lampung yaitu wilayah kerja Puskesmas Kampung Sawah didapat data tentang jumlah anak balita yang mendapat kapsul vitamin A pada tahun 2003 adalah sebagai berikut :
Tabel 1 : Persentasi Cakupan Program Pemberian Kapsul Vitamin A di Wilayah Kerja Puskesmas Kampung Sawah Tahun 2003

No Kelurahan Jumlah
Anak Balita Jumlah yang mendapat Vit A Target (%) Realisasi (%)
1
2
3
4
5
6
7 Sawah Brebes
Tanjung Agung
Sawah lama
Kebon Jeruk
Kedamaian
Campang Raya
Jaga Baya I 942
733
620
712
1141
601
133 627
488
431
483
844
418
97 80
80
80
80
80
80
80 66,5
66,6
69,4
67,6
73,9
69,5
72,3
Jumlah 4882 3388 80 69,4
Sumber Data : Laporan Bulanan Puskesmas Kampung Sawah.
Berdasarkan data yang diperoleh di atas dapat disimpulkan bahwa anak balita yang mendapatkan kapsul vitamin A belum optimal di wilayah kerja Puskesmas kampung sawah tahun 2003 sebanyak 3.388 (69,4%) anak balita dari 4.882 jumlah anak balita yang ada, sedangkan di Kelurahan Sawah Brebes yang mendapatkan kapsul vitamin A 627 (66,5%) dari 942 anak balita yang ada, sehingga penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam pemberian kapsul Vitamin A di Kelurahan Sawah Brebes wilayah kerja Puskesmas Kampung Sawah Bandar Lampung.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut : “Faktor-faktor apa yang mempengaruhi ibu dalam pemberian kapsul vitamin A di Kelurahan Sawah Brebes wilayah kerja Puskesmas Kampung Sawah Bandar Lampung ?

Baca Selengkapnya - Gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam pemberian kapsul vitamin A di kelurahan

Gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi ibu tidak menimbang balitanya di posyandu

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembangunan bidang kesehatan merupakan bagian interaksi dari pembangunan nasional yang secara keseluruhan perlu digalakkan pula. Tujuan pembangunan kesehatan adalah tercapainya kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk atau individu agar dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal dan sejahtera (Depkes RI, 2003).
Pembangunan kesehatan sebagai bagian dari upaya membangun manusia seutuhnya, melakukan pembinaan kesehatan anak sejak dini melalui kegiatan kesehatan ibu dan anak. Pembinaan kesehatan anak usia dini, sejak masih dalam kandungan hingga usia balita ditujukan untuk melindungi anak dari ancaman kematian dan kesakitan yang dapat membawa cacat serta untuk membina, membekali dan memperbesar potensinya untuk menjadi manusia tangguh (Depkes RI, 1999).
Pemantauan pertumbuhan (growth monitoring) merupakan suatu kegiatan yang dilakukan secara terus-menerus (berkesinambungan) dan teratur. Dengan pemantauan pertumbuhan, setiap ada gangguan keseimbangan gizi pada seorang anak akan dapat diketahui secara dini melalui perubahan pertumbuhannya. Dengan diketahuinya gangguan gizi secara dini maka tindakan penanggulangannya dapat dilakukan dengan segera, sehingga keadaan gizi yang memburuk dapat dicegah (Dinkes Propinsi Lampung, 2004).
Upaya penggerakan masyarakat dalam keterpaduan ini digunakan pendekatan melalui Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD), yang pelaksanaannya secara operasional dibentuk Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu). Pos Pelayanan Terpadu merupakan wadah titik temu antara pelayanan profesional dari petugas kesehatan dan peran serta masyarakat dalam menanggulangi masalah kesehatan masyarakat, terutama dalam upaya penurunan angka kematian bayi dan angka kelahiran (Depkes RI, 2003).
Kegiatan bulanan di Posyandu merupakan kegiatan rutin yang bertujuan untuk memantau pertumbuhan berat badan balita dengan menggunakan Kartu Menuju Sehat (KMS), memberikan konseling gizi dan memberikan pelayanan gizi dan kesehatan dasar. Untuk tujuan pemantauan pertumbuhan balita dilakukan penimbangan balita setiap bulan (Dinkes Lampung, 2004).
Semua informasi yang diperlukan untuk pemantauan pertumbuhan balita bersumber dari data berat badan hasil penimbangan balita. Bulan yang diisikan kedalam KMS untuk dinilai naik (N) atau tidak naik (T) pertumbuhan balita.
Ibu yang tidak menimbang balitanya ke Posyandu dapat menyebabkan tidak terpantaunya pertumbuhan dan perkembangan balita. Balita yang tidak ditimbang berturut-turut beresiko keadaan gizinya memburuk sehingga mengalami gangguan pertumbuhan (Depkes RI, 2006).
Angka kematian bayi dan balita pada tahun 1997 mencapai 35 per 1000 kelahiran hidup dan 58 per 1000 kelahiran hidup. Pada tahun 2006 angka kematian bayi dan balita mencapai 26 per 1000 kelahiran hidup dan 46 per 1000 kelahiran hidup, hal ini menunjukkan bahwa angka kematian bayi dan balita di Indonesia berhasil di turunkan, namun pencapaian penurunan masih jauh dari yang di harapkan (Depkes, 2003). Depkes menargetkan pada tahun 2009 AKB menjadi 26 per 1000 kelahiran hidup (Depkes, 2006).
Berdasarkan hasil perhitungan data Sensus Nasional 2006, jumlah balita di Lampung sebanyak 165.347. Balita yang mempunyai gizi baik sebanyak 165.160 balita sedangkan yang menderita gizi buruk sebanyak 187 target pencapaian balita gizi buruk yang mendapat perawatan 100% jadi target yang belum dicapai 0,11% (Dinkes Propinsi Lampung, 2006). Menurut profil kesehatan Propinsi Lampung 2006 gizi kurang dapat berdampak meningkatnya angka kematian balita (0 – 5 tahun per 1000 kelahiran hidup). AKABA menggambarkan tingkat permasalahan kesehatan balita.
Indikator yang digunakan untuk memantau pertumbuhan balita adalah D/S dan N/D. Pada tahun 2002 cakupan penimbangan balita (D/S) pada bayi 44,75% dan balita 30,10%, tahun 2003 terjadi peningkatan D/S : 47,98% dan N/D 79,26%, tahun 2004 D/S : 46,57% dan N/D : 78,37%, tahun 2005 D/S : 57,96% dan N/D : 82.76% dan cakupan tahun 2006 sebesar 59,67%, cakupan ini belum mencapai target. Untuk meningkatkan cakupan perlu terus dilakukan gerakan penimbangan balita melalui penyuluhan, penggerakan masyarakat, revitalisasi posyandu dan lain-lain (Profil Propinsi Lampung, 2006).
Data Kecamatan Metro Barat Puskesmas Mulyojati pada tahun 2007 cakupan penimbangan balita yaitu yang ditimbang dibagi jumlah sasaran (D/S) mencapai 58,46 %, untuk cakupan balita yang mengalami kenaikan berat badan bagi jumlah sasaran (N/D) yaitu pada balita mencapai 27,91 % (Dinkes Metro, 2007).
Data cakupan penimbangan balita Puskesmas Mulyojati tahun 2007, cakupan penimbangan balita dengan rata-rata penimbangan pada triwulan I mencapai 60,75 %, pada triwulan II mencapai 58,45 %, pada triwulan III mencapai 67,46 %, sedangkan pada triwulan IV mencapai 60 % (Dinkes Metro, 2007).
Puskesmas Mulyojati terdapat tujuh posyandu yaitu posyandu : Banowati, Sembodro, Dewi Kunti, Arimbi, Dewi Sri, Larasati dan Dewi Sinta. Berdasarkan survey di lokasi diperoleh data cakupan penimbangan balita yang ditimbang bagi jumlah sasaran (D/S) dan dari ketujuh posyandu, ternyata cakupan penimbangan balita yang paling rendah terdapat pada Posyandu Dewi Sinta sebesar 40%.
Kota Metro menargetkan cakupan penimbangan balita di posyandu mencapai 80% (Indikator SPM, 2008-2010).
Penyebab yang mempengaruhi ibu tidak menimbang balitanya ke posyandu adalah umur balita, tenaga penolong persalinan, kemampuan membaca, paritas, status pekerjaan ibu, ketersediaan waktu ibu untuk merawat anak (Depkes RI, 2001).
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang apakah gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi ibu tidak menimbang balitanya di Posyandu Dewi Sinta wilayah Puskesmas Mulyojati Metro Barat.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat diambil suatu rumusan masalah sebagai berikut apakah gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi ibu tidak menimbang balitanya di Posyandu Dewi Sinta wilayah Puskesmas Mulyojati Metro.

Baca Selengkapnya - Gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi ibu tidak menimbang balitanya di posyandu

Gambaran faktor penyebab akseptor tidak melanjutkan penggunaan kontrasepsi IUD di RB

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Keluarga sebagai unit terkecil dalam kehidupan berbangsa diharapkan menerima Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS) yang berorientasi pada “Catur Warga” atau Zero Population Grow (pertumbuhan seimbang) yang menghasilkan keluarga berkualitas. (Manuaba, 1998). Sasaran utama program Keluarga Berencana (KB) adalah Pasangan Usia Subur (PUS). Dalam hal ini gerakan Keluarga Berencana tidak hanya meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak, namun yang lebih penting lagi adalah kontribusi KB dalam meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan keluarga yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas bangsa. (Mochtar , 1998).
Berbagai usaha di bidang gerakan KB sebagai salah satu kegiatan pokok pembangunan keluarga sejahtera telah dilakukan baik oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat sendiri. (Mochtar, 1998). Usaha ini antara lain dengan senantiasa memberikan kesempatan seluas – luasnya kepada PUS untuk ikut berpatisipasi dalam menciptakan NKKBS melalui pemakaian alat kontrasepsi.
Intra Uterine Devices (IUD) merupakan alat kontrasepsi metode efektif mekanis, dipandang dari segi efektivitasnya IUD mempunyai efektivitas yang cukup tinggi dalam mencegah kehamilan yaitu berkisar antara 1,53 per 100 wanita per tahun pertama dan menjadi rendah pada tahun – tahun berikutnya. Dari angka keefektivan tersebut maka dengan pemakaian IUD diharapkan menekan terjadinya kenaikan angka kelahiran di Indonesia sehingga akan terbentuk keluarga yang berkualitas. (Manuaba, 1998).
Hal ini karena perkembangan di lapangan menunjukkan bahwa dalam menggalakkan pemakaian IUD sangat ditekankan oleh Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB) untuk mendapatkan peserta KB IUD sebanyak – banyaknya, tanpa dipertanyakan ataupun dievaluasi apakah dengan cara itu kecenderungan menurunnya pemakaian IUD bisa dihentikan. (BKKBN, 2004).
Data tahun 1971 menunjukkan 55,3% peserta KB aktif adalah pemakai IUD, pada tahun 1997 menurun menjadi 21,5%. Penurunan ini juga terlihat dari Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) yaitu tahun 1991 adalah 13,3% dari 49,7% PUS yang ber-KB. Tahun 1994 mengalami penurunan yaitu menjadi 10,3% dari 54,7% PUS ber-KB dan menurun lagi pada tahun 1997 menjadi 8,1% dari 57,4% PUS ber-KB.
Di Provinsi Lampung terjadi penurunan penggunaan kontrasepsi IUD setiap tahunnya. Pada tahun 2001 akseptor IUD 3,38%, pada tahun 2002 turun menjadi 2,88 %, kemudian tahun 2003 lebih rendah lagi pencapaiaanya hanya 2,67 %.
Selanjutnya di RB Al-Anies juga terjadi penurunan pada tahun 2001 yaitu 7,5 % kemudian tahun 2002 turun sedikit menjadi 7,2 %, namun pada tahun 2003 terjadi penurunan yang cukup besar yaitu menjadi 5,3 %. Kondisi ini merupakan tantangan bagi gerakan Keluarga Berencana untuk mensukseskan gerakan program Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKPJ) khususnya IUD. (BKKBN, 2004).
Penggunaan kontrasepsi Intra Uterine Devices (IUD) lebih sering digunakan karena efektifitasnya tinggi namun ada beberapa hal yang menyebabkan penggunaan IUD tidak berlanjut, hal ini diantaranya disebabkan oleh efek samping yang merupakan alasan medis utama dari penghentian pemakaian IUD yaitu kira –kira 4 – 15 % dalam satu tahun disamping kehamilan dan ganti cara kontrasepsi lain. (Hartanto, 2002).
Berdasarkan data di atas penulis akan melaksanakan penelitian tentang faktor – faktor yang menjadi penyebab akseptor tidak melanjutkan penggunaan kontrasepsi IUD di RB Al Anies Branti Raya Natar.
Baca Selengkapnya - Gambaran faktor penyebab akseptor tidak melanjutkan penggunaan kontrasepsi IUD di RB

Gambaran faktor penyebab rendahnya peran serta ibu balita di posyandu

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagai penjabaran dari visi Departemen Kesehatan, maka tujuan yang akan dicapai adalah terselenggaranya pembangunan kesehatan secara berhasil guna dan berdaya guna dalam rangka mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi tingginya. Dalam pelaksanaannya masyarakat harus dapat berperan aktif sejak dimulainya perencanaan kebijakan pembangunan kesehatan. Pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan mendorong masyarakat agar mampu secara mandiri menjamin terpenuhinya kebutuhan kesehatan dan kesinambungan pelayanan kesehatan (Depkes RI, 2005).
Fungsi pemerintah lebih di tekankan pada penyediaan fasilitas, sarana pra sarana, pembinaan dan penyuluhan, serta penyediaan tenaga kesehatan. Bentuk peran serta masyarakat yang paling dominan dibidang kesehatan saat ini adalah posyandu, yang sudah mampu menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB), serta bisa meningkatkan rata-rata umur harapan hidup. Perkembangan terakhir, menunjukkan, bahwa walaupun secara kualitas jumlah posyandu yang ada saat ini sudah memadai, namun secara kualitas masih perlu di tingkatkan, misalnya kelengkapan sarana, dan ketrampilan kader yang masih rendah yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap menurunnya status gizi masyarakat, khususnya kelompok rentan yaitu bayi, anak balita, ibu hamil dan menyusui (Depkes RI, 2006).
Di Kabupaten Lampung Timur diperoleh data angka kematian bayi pada tahun 2005 adalah 124 kasus atau 6,31 per 1000 kelahiran hidup. Data tersebut menunjukkan bahwa target penurunan angka kematian bayi sebesar 3,7 per 1000 kelahiran hidup belum tercapai. Jumlah bayi lahir dan kematian bayi terbanyak terjadi di Kecamatan Raman Utara. Bila dilihat dari faktor penyebab kematian tersebut disebabkan oleh Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) (29,7%) Asfiksia (17%), Pneomonia (1,7%), Diare (12,7%) dan penyebab lain (39%) (Dinkes Lampung Timur, 2006).
Angka kematian ibu pada tahun 2005 di Kabupaten Lampung Timur sebanyak 18 kasus. Setiap tahun terjadi fluktuasi angka kematian ibu, dimana pada tahun 2001 terjadi 13 kasus, tahun 2002 sebanyak 9 kasus, tahun 2003 terjadi 20 kasus dan tahun 2004 sebanyak 19 kasus. Penyebab kematian ibu terjadi karena eklamsi (31,8%), perdarahan (27,3%), aborsi (27,3%), partus lama (4,6%) dan penyebab lain (9,1%). Namun demikian angka tersebut belum menggambarkan jumlah kematian yang sebenarnya karena tidak setiap Puskesmas membuat laporannya (Dinkes Lampung Timur, 2006).
Dilihat dari status gizi masyarakat, pada tahun 2005 terjadi 233 kasus gizi buruk di Kabupaten Lampung Timur. Kondisi ini ditemukan di semua Kecamatan. Hasil pemantauan status gizi, Kekurangan Energi Protein (KEP) mengalami peningkatan pada 3 tahun terakhir. Berdasarkan hasil penimbangan di Posyandu terdapat 967 (1,76%) menderita Bawah Garis Merah (BGM) dan terjadi kasus BBLR sebanyak 118 kasus (0,71%) dari jumlah kelahiran (Dinkes Lampung Timur, 2006).
Analisis faktor yang berpengaruh terhadap tingginya angka kematian ibu, bayi dan kasus gizi buruk di Indonesia ternyata di pengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari tingkat pendidikan dan pengetahuan, sosial budaya, sosial ekonomi, posisi geografis dan aksesbilitas ibu pada fasilitas kesehatan modern. Faktor ini sangat kompleks dan saling berkaitan sehingga tidak mudah untuk menanggulanginya (Dinkes Propinsi Lampung, 2006).
Berbagai upaya telah dan akan selalu dilakukan oleh pemerintah, sektor swasta dan masyarakat untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Peran serta masyarakat menjadi begitu penting sejak dikembangkannya posyandu sebagai sarana pendidikan dan pelayanan gizi kepada para ibu agar lebih sadar gizi. Posyandu merupakan salah satu bentuk partisipasi masyarakat yang punya pengaruh sangat besar terhadap peningkatan status gizi bayi dan balita dan mempunyai daya ungkit besar terhadap penurunan angka kematian bayi (Depkes Kab. Lampung Timur, 2006).
Dalam pelaksanaannya posyandu melayani 5 program prioritas yaitu KB, KIA, gizi, imunisasi dan penanggulangan diare. Dari 5 kegiatan tersebut tidak semua kegiatan bisa dilakukan sendiri oleh masyarakat, khususnya dalam pelayanan antenatal, pelayanan kontrasepsi (kecuali pil dan kondom) dan imunisasi. Oleh sebab itu dalam kegiatan posyandu yang dilakukan 1 bulan sekali tersebut haru ada setidaknya 2 petugas Pusksemas untuk memberikan pelayanan teknis dan bimbingan atau pembinaan (Depkes RI, 2001).

Memperhatikan realita yang terjadi di masyarakat saat ini, bahwa Posyandu telah menjadi bagian yang penting dalam pembangunan kesehatan masyarakat pedesaan di Indonesia. Agar manfaat Posyandu semakin besar di perlukan adanya interaksi yang baik antara PKK, Puskesmas, Kader dan masyarakat sendiri sebagai pelaksanaan dan sekaligus target kinerja Posyandu (Depkes RI, 1990).
Petugas kesehatan tidak bisa berbuat banyak jika kader tidak menyelenggarakan kegiatan Posyandu yang telah dijadwalkan. Usaha kader juga akan sia-sia jika warga tidak ada yang datang, selanjutnya peran serta ibu yang tidak aktif juga akan berdampak langsung terhadap kesehatan ibu dan anak karena kurangnya pemantauan petugas (Depkes RI, 1990).
Hasil pengamatan penulis yang telah dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Raman Utara Kabupaten Lampung Timur, ternyata tingkat partisipasi ibu untuk datang ke Posyandu bervariasi. Data yang ada menunjukkan terdapat 890 ibu hamil dan yang datang ke posyandu hanya 27%, ibu bayi dan balita 3561 orang dengan tingkat keaktifan 35%. Data tersebut menunjukkan bahwa sebagian ibu hamil, ibu bayi dan balita belum memanfaatkan posyandu untuk mendapatkan pelayanan. Di Kecamatan Raman Utara, pada tahun 2006 lalu terdapat 11 kasus AKB, 9 kasus AKI, 1 orang kasus Gizi Buruk, 20 bayi menderita BGM (Puskesmas Raman Utara, 2006).
Selanjutnya untuk bisa mengetahui tingkat partisipasi ibu hamil, ibu bayi dan balita dalam memanfaatkan posyandu, maka dipilih Posyandu Anggrek di Desa Raman Aji Kecamatan Raman Utara Kabupaten Lampung Timur. Data yang ada pada Posyandu Anggrek selama bulan Maret-April 2007 menunjukkan jumlah ibu bayi dan balita 76 orang. Dari jumlah tersebut terdapat 41 ibu bayi dan balita yang tidak datang ke Posyandu, dengan tingkat keaktifan 31%, ibu hamil 5 orang, dengan tingkat keaktifan 0%. Dengan demikian bila dibanding dengan target cakupan Posyandu Purnama yaitu tingkat kehadiran diatas 50%, maka kondisi ini berada di bawah rata-rata target ideal.
Dari data diatas, dapat disimpulkan bahwa tingkat partisipasi ibu hamil, ibu bayi dan balita dalam memanfaatkan Posyandu masih rendah. Berdasarkan permasalah yang ada tersebut Penulis mengambil judul penelitian “Gambaran Faktor Penyebab Rendahnya Peran Serta Ibu Bayi dan Balita di Posyandu Anggrek Desa Raman Aji Kecamatan Raman Utara Lampung Timur.”

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari data pada latar belakang dirumuskan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut : “Bagimanakah Gambaran Faktor Penyebab Rendahnya Peran Serta Ibu Bayi dan Balita di Posyandu Anggrek Desa Raman Aji Kecamatan Raman Utara.”

Baca Selengkapnya - Gambaran faktor penyebab rendahnya peran serta ibu balita di posyandu

Gambaran faktor-faktor penyebab wanita PUS tidak melakukan pemeriksaan PAP Smear di wilayah kerja puskesmas

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pasangan Usia Subur (PUS) perlu untuk mendapatkan perawatan kesehatan baik dari keluarganya maupun dari bidan atau dokter. Adanya penyulit reproduksi yang sering dialami oleh PUS sebenarnya bisa di cegah dengan melakukan pencegahan melalui tindakan deteksi dini. Upaya pencegahan ini diharapkan dapat menekan angka kesakitan akibat penyakit kelainan reproduksi dan mencegah kegawat daruratan/komplikasi untuk menyelamatkan jiwa ibu dalam rangka menurunkan angka kematian ibu (Dinkes Metro, 2007).
Kanker serviks disinyalir menjadi pembunuh nomor 1 bagi wanita, dan urutan terbesar dari jumlah penderita penyakit kanker. Saat ini di seluruh dunia terdapat 270.000 penderita kanker serviks baru dan 140.000 diantaranya meninggal dunia tiap tahunnya (Wijaya, 2008).
Dalam 40 tahun terakhir, kejadian dan kematian ibu akibat kanker serviks menurun hingga 70 %, karena kematian terjadi pada sebagian besar penderita yang datang berobat sudah dalam stadium lanjut. Salah satu cara untuk menemukan kanker serviks dalam stadium dini adalah dengan pap smear (Soepardiman, 2000).
Pap smear adalah cara pemeriksaan secara mikroskopik pada jaringan serviks untuk mendeteksi secara dini ada atau tidaknya jaringan sel-sel kanker sebelum akhirnya berkembang menjadi kanker serviks yang serius, yaitu dengan memasukan alat kecil yang disebut speculum kedalam vagina dan mengambil contoh sel-sel dari saluran leher rahim. Pemeriksaan ini sangat sederhana, tidak menimbulkan rasa sakit serta hanya memakan waktu lebih kurang 10 menit. (Tharsyah, 2001).
Dampak dari tidak melakukan pemeriksaan pap smear adalah tidak terdeteksinya gejala awal dari kanker serviks (Evennet, 2004). Sebagaimana kanker umumnya maka kanker serviks akan menimbulkan masalah berupa kesakitan (morbiditas) penderitaan, kematian, finansial / ekonomi maupun lingkungan bahkan pemerintah (Farid, 2001). Diagnosa kanker serviks masih sering terlambat dibuat dan penanganannya ternyata tidak memberi hasil yang baik (Harahap, 1984). Keterlambatan diagnosa berakibat lebih dari separuh penderita kanker serviks berada dalam stadium lanjut yang memerlukan fasilitas khusus untuk pengobatan seperti peralatan radioterapi yang hanya tersedia di beberapa kota besar saja. Disamping mahal, pengobatan terhadap kanker stadium lanjut memberikan hasil yang tidak memuaskan dengan harapan hidup 5 tahun yang rendah (Sjamsuddin, 2001).
Kanker serviks uteri merupakan penyakit keganasan yang menimbulkan masalah kesehatan kaum wanita terutama di negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia (Tambunan, 1995). Departemen Kesehatan RI memperkirakan insiden kanker serviks 100 per 100.000 penduduk per tahun. Data yang dikumpulkan (1988 – 1994) dari 13 laboratorium patologi anatomi di Indonesia menunjukkan bahwa frekuensi kanker servik tertinggi diantara kanker yang ada di Indonesia, maupun di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Ciptomangunkusumo (Aziz, 2001). Masalah kanker servik di Indonesia semakin di perburuk lagi dengan banyaknya yaitu lebih dari 70% kasus kanker yang sudah berada pada stadium lanjut ketika datang ke rumah sakit (Nuranna, 2001).
Di ruang kebidanan dan penyakit kandungan RSUD Jend. A. Yani Metro insiden kanker serviks pada bulan Januari – Desember 2007 adalah kanker terbanyak diantara kanker ginekologi lainnya yaitu sebanyak 7 kasus dengan 2 orang meninggal dunia. (RSUD A. Yani Metro, 2007). Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Metro terhadap 8 puskesmas di Kota Metro yang telah melakukan pemeriksaan pap smear masal pada tahun 2007, didapatkan data, jumlah peserta yang melakukan pemeriksaan pap smear di Puskesmas Iringmulyo adalah terendah diantara puskesmas lainnya yaitu sebanyak 10 wanita PUS atau 0,007% dari jumlah sasaran 1438 wanita PUS.
Pada dasarnya kanker serviks ini menimpa wanita karena wanita itu sendiri tidak pernah melakukan pemeriksaan sejak dini. Apa lagi bagi mereka yang memiliki resiko tinggi untuk terkena penyakit ini (Tharisyah, 2001). Hal ini disebabkan karena kurangnya pengertian akan bahaya kanker, karena pendidikan yang kurang atau kurangnya penerangan mengenai kanker umumnya, kanker leher rahim khususnya. Tidak jarang pula penderita tidak dapat pergi ke dokter karena persoalan biaya, sehingga keterlambatan diagnosa kanker serviks sering terjadi (Harahap, 1998).
Penyebab masalah lain dalam deteksi dini adalah rasa takut kalau pap smear akan menyatakan bahwa mereka menderita kanker sehingga mereka lebih memilih untuk menghindarinya. Perasaan malu, khawatir atau cemas untuk menjalani pap smear karena adanya pikiran tentang ada orang lain selain pasangan yang memasukkan sesuatu ke dalam dirinya, selain itu serangan dari pasangan yang beranggapan bahwa telah melakukan persetubuhan dengan siapa saja, sehingga mempengaruhi wanita tidak melakukan pap smear (Evennett, 2004).
Berdasarkan urian diatas, penulis tertaik untuk melakukan penelitian tentang faktor-faktor penyebab wanita PUS tidak melakukan pemeriksaan pap smear.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah penulis membuat rumusan masalah penelitian sebagai berikut “Bagaimanakah Gambaran Faktor-faktor Penyebab Wanita PUS Tidak Melakukan Pemeriksaan Papsmear di Puskesmas Iringmulyo tahun 2008?”

Baca Selengkapnya - Gambaran faktor-faktor penyebab wanita PUS tidak melakukan pemeriksaan PAP Smear di wilayah kerja puskesmas

Gambaran faktor-faktor penyebab terjadinya ketuban pecah dini di ruang kebidanan RSUD

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tolak ukur keberhasilan dan kemampuan pelayanan kesehatan suatu negara diukur dengan angka kematian ibu dan angka kematian perinatal. Diseluruh dunia terdapat kematian ibu sebesar 500.000 jiwa pertahun dan kematian bayi khususnya 10.000.000 jiwa pertahun. Sebesar 99% terjadi di negara sedang berkembang (Manuaba, 1998:8).
Menurut hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2002-2003, angka kematian ibu di Indonesia sebesar 307 per 1000 kelahiran hidup (Profil Kesehatan Indonesia, 2005:16). Salah satu penyebab langsung kematian ibu adalah karena infeksi sebesar 20-25% dalam 100.000 kelahiran hidup (Manuaba, 1998:19). Di Provinsi Lampung tahun 2005 angka kematian ibu akibat infeksi sebesar 1,39% dari 100.000 kelahiran hidup (Profil Kesehatan Provinsi Lampung, 2005:60).
Ketuban pecah dini atau spontaneous/early/premature rupture of membran atau KPD merupakan penyebab yang paling sering terjadi pada saat mendekati persalinan. Kejadian Ketuban pecah Dini mendekati 10% dari semua persalinan. Pada umur kehamilan kurang dari 34 minggu kejadiannya sekitar 4% (Manuaba, 1998:229). Kemungkinan infeksi ini dapat berasal dari dalam rahim (intrauterine), biasanya infeksi sudah terjadi tetapi ibu belum merasakan adanya infeksi misalnya kejadian ketuban pecah dini. Hal ini dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas pada ibu dan janinnya (Mochtar, 1998:257).
Ketuban pecah dini bila dihubungkan dengan kehamilan preterm, ada resiko peningkatan morbiditas dan mortalitas perinatal akibat imaturatas janin, disamping itu bila kelahiran tidak terjadi dalam 24 jam juga terjadi resiko peningkatan infeksi intrauterine (Taber, 1994:368). Adapun komplikasi yang ditimbulkan dari ketuban pecah dini bagi ibu diantaranya pendarahan post partum, sedangkan pada janinnya diantaranya dapat terjadi intra uteri fetal death atau IUFD (Mochtar, 1998:258). Oleh karena itu, tatalaksana ketuban pecah dini memerlukan tindakan yang dapat menurunkan kejadian infeksi pada ibu dan janin (Manuaba, 1998:230).
Berdasarkan data yang didapat pada saat pra survey pada bulan Maret 2007 di Ruang Kebidanan RSUD A.Yani Metro, didapatkan bahwa kejadian ketuban pecah dini masih banyak dan datanya adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Jumlah klien ketuban pecah dini di Ruang kebidanan RSUD A. Yani Metro
pada bulan Januari sampai dengan bulan Desember 2006
Bulan Rawat inap di RB RSUD A. Yani Pasien Ketuban Pecah Dini Persentase (%)
Januari 62 7 0.63
Februari 75 9 0,81
Maret 77 8 0,72
April 100 11 1,00
Mei 91 4 0,36
Juni 84 6 0,54
Juli 98 7 0,63
Agustus 90 4 0,36
September 112 7 0,63
Oktober 117 8 0,72
November 100 6 0,54
Desember 94 3 0,27
Jumlah 1100 80 7,27
Sumber: Buku Register Pasien di Rekam Medik RSUD A. Yani Metro 2006
Mengamati dari tabel diatas dapat kesimpulan bahwa di Ruang kebidanan RSUD A.Yani Metro dari bulan Januari sampai dengan Desember 2006 terdapat 80 pasien atau sebesar 7,27% yang dirawat dengan kasus ketuban pecah dini. Dimana kejadian ketuban pecah dini di Ruang Kebidanan RSUD A.Yani Metro selalu ada disetiap bulannya. Adapun angka kejadian intra uteri fetal death (IUFD) di Ruang Kebidanan RSUD A. Yani Metro tahun 2006 sebanyak 40 bayi dari 558 bayi lahir hidup, dan angka kejadian ibu yang mengalami pendarahan post partum sebanyak 66 ibu dari 592 ibu bersalin di Ruang Kebidanan RSUD A. Yani Metro (Buku Register Pasien di Rekam Medik 2006).
Kejadian ketuban pecah dini terjadi sebelum proses persalinan, oleh karena itu penyebab ketuban pecah dini dapat berasal dari ibu atau janinnya. Menurut Manuaba (1998:229) penyebab ketuban pecah dini diantaranya kehamilan kembar, anemia dalam kehamilan selain itu kemungkinan yang menjadi penyebab yaitu kelainan letak yaitu letak sungsang dan letak lintang. Selanjutnya Taylor, dkk berpendapat pula bahwa faktor penyebab ketuban pecah dini juga diakibatkan oleh multipara karena tingginya jumlah paritas (Mochtar, 1998:256). Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tentang gambaran faktor-faktor terjadinya ketuban pecah dini di Ruang Kebidanan RSUD A.Yani Metro tahun 2006.
Baca Selengkapnya - Gambaran faktor-faktor penyebab terjadinya ketuban pecah dini di ruang kebidanan RSUD

Gambaran aktivitas seksual wanita menopause di desa

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Menurut (WHO) kesehatan reproduksi merupakan keadaan sehat secara menyeluruh meliputi asfek fisik, mental, sosial dan bukan hanya bebas dari penyakit yang berkaitan dengan sistem reproduksi dan fungsinya, kesehatan reproduksi bukan hanya menambah maslaah kehamilan atau kemandulan, tetapi mencakup seluruh siklus kehidupan seorang wanita dimana dalam menghadapi siklusnya dapat mengalami berbagai problema.
Menurut Mackenzie (1992 : 13) Menopause berasal dari bahasa yunani berarti ”berhentinya haid” dan klimakterium adalah masa peralihan atua anak tangga antara tahun-tahun reproduktif dan menopause sebenarnya.
Menurut At-tharsyah (2001 : 56) Menopause merupakan masa yang kritis dalam kehidupan wanita yang umumnya dimulai pada usia antara 45-55 tahun pada tahun-tahun itu banyak terjadi perubahan fisik maupun psikis pada diri seorang perempuan. Tubuh dan jiwa harus menyesuaikandiri dengan keadaan baru, pada banyak wanita, penyesuaian ini tidak berjalan lancar dan dapat mengakibatkan banyak keluhan, misalnya banyak keringat, jantung berdebar, sakit kepala, mudah tersinggung, cepat merasa lelah dan kurang bersemangat, pada periode inilah biasanya seorang wanita telah merasa dirinya menjadi tua dan takut tidak dapat memenuhi kebutuhan seksual suami.
Hubungan seksual merupakan aktivitas fisik yang juga melibatkan faktor positif, karena itu hubungan seksual memerlukan energi dan secara fisik, tidak berbeda dengan aktivitas fisik yang lain. Hubungan seksual adalah salah satu bentuk ungkapan cinta kasih antara suami istri, juga sebagai sarana komunikasi yang sangat baik untuk mewujudkan keharmonisan sebuah rumah tangga selain untuk mendapatkan keturunan. Dan hubungan seksual juga bertujuan memberikan kepuasan fisik dan mental pada pasangan suami istri. Menurut At-Tharsyah (2001:145)
Pembangunan kesehatan telah meningkatkan status kesehatan dan gizi masyarakat antara lain meningkatkan Umur Harapan Hidup (UHH) di Indonesia dari tahun ketahun, pada tahun 1971 UHH penduduk Indonesia adalah 46,5 tahun dan pada tahun 2005 diperkirakan mencapai 68,2 tahun, disamping itu terjadi pula pergeseran umur menopause dari 46 tahun pada tahun 1980 menjadi 49 tahun pada tahun 2000. (Depkes, 2005)
Jumlah dan proporsi penduduk perempuan yang berusia di atas 50 tahun dan diperkirakan memasuki usia menopause dari tahun ketahun juga mengalami peningkatan yang sangat signifikan, berdasarkan sensus penduduk tahun 2000 jumlah perempuan berusia di atas 50 tahun baru mencapai 15,5 juta orang atau 7,6% dari total penduduk, sedangkan tahun 2020 jumlahnya diperkirakan meningkat menjadi 30,0 juta atau 11,5% dari total penduduk. (Depkes, 2005)
Lebih lanjut ditegaskan, berdasarkan perhitungan statistik, diperkirakan pada tahun 2020 jumlah penduduk Indonesia dan mencapai 262,6 juta jiwa dengan jumlah perempuan yang hidup dalam usia menopause adalah sekitar 30,3 juta jiwa dari jumlah laki-laki, di usia andropause akan mencapai 24,7 jiwa. (Depkes, 2005)

Baca Selengkapnya - Gambaran aktivitas seksual wanita menopause di desa

Arsip

0-Asuhan Kebidanan (Dokumen Word-doc) 0-KTI Full Keperawatan (Dokumen Word-doc) Anak Anatomi dan Fisiologi aneh lucu unik menarik Antenatal Care (ANC) Artikel Bahasa Inggris Asuhan Kebidanan Asuhan Keperawatan Komunitas Asuransi Kesehatan Berita Hiburan Berita Terkini Kesehatan Berita Tips Twitter Celeb contoh Daftar Pustaka Contoh KTI Contoh KTI Kebidanan Farmakologi (Farmasi) Gadar-kegawatdaruratan Gizi Handphone Hirschsprung Hukum Kesehatan Humor Segar (Selingan) Imunisasi Info Lowongan Kerja Kesehatan Intranatal Care (INC) Jiwa-Psikiatri kamus medis kesehatan online Kebidanan Fisiologis Kebidanan Patologis Keluarga Berencana (KB) Keperawatan Gerontology Kesehatan Anak (UMUM) Kesehatan Bayi (untuk UMUM) Kesehatan Haji Kesehatan Ibu Hamil (untuk UMUM) Kesehatan Ibu Menyusui (untuk UMUM) Kesehatan Pria (untuk UMUM) Kesehatan Remaja Kesehatan Reproduksi (Kespro) Kesehatan Wanita (untuk UMUM) Koleksi Skripsi Umum Konsep Dasar KTI D-3 Kebidanan KTI Skripsi Keperawatan kumpulan askep Laboratorium Lain-lain Makalah Keperawatan Kebidanan Managemen Kesehatan Mikrobiologi Motivasi Diri Napza dan zat Adiktif Neonatus dan Bayi News Penyakit Menular potensi KLB Penyakit Menular Seksual (PMS) Postnatal Care (PNC) Protap-SOP Psikologi-Psikiater (UMUM) Reformasi Kesehatan Sanitasi (Penyehatan Lingkungan) Satuan Acara Penyuluhan (SAP) Sistem Endokrin Sistem Immunologi Sistem Indera Sistem Integumen Sistem Kardiovaskuler Sistem Muskuloskeletal Sistem Neurologis Sistem Pencernaan Sistem Perkemihan Sistem Pernafasan Surveilans Penyakit Teknologi Tips dan Tricks Seks Tips Facebook Tips Karya Tulis Ilmiah (KTI) Tips Kecantikan Tips Kesehatan Umum Tokoh Kesehatan Tutorial Blogging Youtuber