Cari Blog Ini

Demam Tifoid

Demam Tifoid

Pendahuluan


Demam tifoid merupakan penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh kuman batang gram negatif Salmonella typhi maupun Salmonella paratyphi A,B,C. Penyakit ini ditularkan melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh kuman tersebut, dikenal sebagai penularan tinja-mulut (Fecaloral). Oleh karena itu penting kebiasaan untuk cara hidup bersih. Kuman masuk ke saluran cerna, usus dan kelenjar limfe usus, selanjutnya melalui aliran darah masuk ke hati dan limpa. Di Indonesia, demam tifoid masih merupakan penyakit endemis utama. Bila timbul penyulit maka penyakit ini dapat menimbulkan kematian. Diagnosis awal amat penting untuk dapat ditegakkan agar penyakit dapat diterapi dengan adekuat untuk mencegah timbulnya penyulit yang mungkin terjadi. Selain itu diperkirakan ada 3% orang yang terinfeksi yang akan menjadi pembawa (carrier) sehingga dapat menularkan penyakit kepada orang lain dan lingkungannya. Pada tulisan ini akan dibahas secara singkat gejala klinis dan diagnosis laboratorium Demam tifoid.



Gejala Klinik


Umumnya gejala klinis timbul 8-14 hari setelah infeksi yang ditandai dengan demam yang tidak turun selama lebih dari 1 minggu terutama sore hari, pola demam yang khas adalah kenaikan tidak turun selama lebih dari 1 minggu terutama sore hari, pola demam yang khas adalah kenaikan tidak langsung tinggi tetapi bertahap seperti anak tangga (stepladder), sakit kepala hebat, nyeri otot, kehilangan selera makan (anoreksia), mual, muntah, sering sukar buang air besar (konstipasi) dan sebaliknya dapat terjadi diare. Pada pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan suhu tubuh, debar jantung relative lambat (bradikardi), lidah kotor, pembesaran hati dan limpa (hepatomegali dan splenomegali), kembung (meteorismus), radang paru (pneumomia) dan kadang-kadang dapat timbul gangguan jiwa. Penyulit lain yang dapat terjadi adalah pendarahan usus, dinding usus bocor (perforasi), radang selaput perut (peritonitis) serta gagal ginjal.



Pemeriksaan Laboratorium


Pemeriksaan Laboratorium meliputi pemeriksaan hematologi, urinalis, kimia klinik, imunoreologi, mikrobiologi, dan biologi molekular. Pemeriksaan ini ditujukan untuk membantu menegakkan diagnosis (adakalanya bahkan menjadi penentu diagnosis), menetapkan prognosis, memantau perjalanan penyakit dan hasil pengobatan serta timbulnya penyulit.


1. Hematologi




  • Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun bila terjadi penyulit perdarahan usus atau perforasi.

  • Hitung leukosit sering rendah (leukopenia), tetapi dapat pula normal atau tinggi.

  • Hitung jenis leukosit: sering neutropenia dengan limfositosis relatif.

  • LED ( Laju Endap Darah ) : Meningkat

  • Jumlah trombosit normal atau menurun (trombositopenia).


2. Urinalis




  • Protein: bervariasi dari negatif sampai positif (akibat demam)

  • Leukosit dan eritrosit normal; bila meningkat kemungkinan terjadi penyulit.


3. Kimia Klinik


Enzim hati (SGOT, SGPT) sering meningkat dengan gambaran peradangan sampai hepatitis Akut.


4. Imunorologi




  • WidalPemeriksaan serologi ini ditujukan untuk mendeteksi adanya antibodi (didalam darah) terhadap antigen kuman Samonella typhi / paratyphi (reagen). Uji ini merupakan test kuno yang masih amat popular dan paling sering diminta terutama di negara dimana penyakit ini endemis seperti di Indonesia. Sebagai uji cepat (rapitd test) hasilnya dapat segera diketahui. Hasil positif dinyatakan dengan adanya aglutinasi. Karena itu antibodi jenis ini dikenal sebagai Febrile agglutinin.

    Hasil uji ini dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga dapat memberikan hasil positif palsu atau negatif palsu. Hasil positif palsu dapat disebabkan oleh faktor-faktor, antara lain pernah mendapatkan vaksinasi, reaksi silang dengan spesies lain (Enterobacteriaceae sp), reaksi anamnestik (pernah sakit), dan adanya faktor rheumatoid (RF). Hasil negatif palsu dapat disebabkan oleh karena antara lain penderita sudah mendapatkan terapi antibiotika, waktu pengambilan darah kurang dari 1 minggu sakit, keadaan umum pasien yang buruk, dan adanya penyakit imunologik lain.


    Diagnosis Demam Tifoid / Paratifoid dinyatakan bila a/titer O = 1/160 , bahkan mungkin sekali nilai batas tersebut harus lebih tinggi mengingat penyakit demam tifoid ini endemis di Indonesia. Titer O meningkat setelah akhir minggu. Melihat hal-hal di atas maka permintaan tes widal ini pada penderita yang baru menderita demam beberapa hari kurang tepat. Bila hasil reaktif (positif) maka kemungkinan besar bukan disebabkan oleh penyakit saat itu tetapi dari kontrak sebelumnya.



  • Elisa Salmonella typhi/ paratyphi lgG dan lgMPemeriksaan ini merupakan uji imunologik yang lebih baru, yang dianggap lebih sensitif dan spesifik dibandingkan uji Widal untuk mendeteksi Demam Tifoid/ Paratifoid. Sebagai tes cepat (Rapid Test) hasilnya juga dapat segera di ketahui. Diagnosis Demam Typhoid/ Paratyphoid dinyatakan 1/ bila lgM positif menandakan infeksi akut; 2/ jika lgG positif menandakan pernah kontak/ pernah terinfeksi/ reinfeksi/ daerah endemik.


5. Mikrobiologi




  • Kultur (Gall culture/ Biakan empedu)


Uji ini merupakan baku emas (gold standard) untuk pemeriksaan Demam Typhoid/ paratyphoid. Interpretasi hasil : jika hasil positif maka diagnosis pasti untuk Demam Tifoid/ Paratifoid. Sebalikanya jika hasil negati, belum tentu bukan Demam Tifoid/ Paratifoid, karena hasil biakan negatif palsu dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu antara lain jumlah darah terlalu sedikit kurang dari 2mL), darah tidak segera dimasukan ke dalam medial Gall (darah dibiarkan membeku dalam spuit sehingga kuman terperangkap di dalam bekuan), saat pengambilan darah masih dalam minggu- 1 sakit, sudah mendapatkan terapi antibiotika, dan sudah mendapat vaksinasi.


Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu waktu untuk pertumbuhan kuman (biasanya positif antara 2-7hari, bila belum ada pertumbuhan koloni ditunggu sampai 7 hari). Pilihan bahan spesimen yang digunakan pada awal sakit adalah darah, kemudian untuk stadium lanjut/ carrier digunakan urin dan tinja.


6. Biologi molekular.




  • PCR (Polymerase Chain Reaction) Metode ini mulai banyak dipergunakan. Pada cara ini di lakukan perbanyakan DNA kuman yang kemudian diindentifikasi dengan DNA probe yang spesifik. Kelebihan uji ini dapat mendeteksi kuman yang terdapat dalam jumlah sedikit (sensitifitas tinggi) serta kekhasan (spesifitas) yang tinggi pula. Spesimen yang digunakan dapat berupa darah, urin, cairan tubuh lainnya serta jaringan biopsi.



Ringkasan:


Telah dibahas gejala klinis dan diagnosis laboratorium penyakit demam tifoid yang disebabkan oleh infeksi Salmonella typhoid dan Salmonella paratyphoid. Penyakit ini endemis di Indonesia dan potensial berbahaya dengan penyulit yang dapat menyebabkan kematian. Kemampuan para tenaga medis untuk dapat mendiagnosis dini penting untuk penyembuhan dan pencegahan timbulnya penyulit. Diagnosis laboratorium meliputi pemeriksaan dari hematologi, urinalisis, kimia klinis, imunoserologis, mikrobiologi biakan sampai PCR. Penting untuk mengetahui kelebihan dan disesuaikan dengan waktu (sudah berapa hari sakit saat akan diperiksa) dan jenis bahan spesimen serta faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan.







PEMERIKSAAN PCR WAKTU NYATA OTOMATIS (AUTOMATED REAL TIME PCR ASSAY)Untuk pengobatan infeksi virus hepatitis C (HCV) dan virus HIV diperlukan data muatan virus (viraL Load) pada waktu akan memulai terapi dan dilanjutkan dengan pemantauan selama terapi. Pada bulan Juli 2005 yang lalu oleh komisi Europa telah disetujui pemeriksaan PCR otomatis ( Automated Real Time PCR Assay) untuk analisis kuantitatif muatan virus HCV (HCV - RNA).


Alat tersebut dibuat oleh Abbott dan Celera Diagnostics, suatu joint venture antara the Applied Biosystems dan Celera Genomics Groups, untuk digunakan dengan sistem M2000 Abbott. Menurut pembuatnya hasilnya lebih cepat (real-time, jadi sewaktu analisis berlangsung) dan lebih tepat serta teliti (accurate dan precise) dibandingkan dengan cara lama dimana hasilnya didapat pada akhir analisis. Kemampuan deteksi mempunyai rentang dari 12 sampai 100 juta IU molekul RNA per mL, sehingga dengan demikian tidak memerlukan pengenceran dan pemeriksaan tambahan.


Sebelumnya pada bulan Juni 2005, Komisi Europa juga telah menyetujui alat serupa untuk virus HIV-1 (RealTime HIV-1). Terdapat kecenderungan untuk mengembangkan dan menggunakan teknik RealTime PCR ASSAY untuk virus dan bakteri lain. Walaupun demikian alat-alat tersebut belum disetujui oleh Food and Drug Administration di Amerika Serikat.

Baca Selengkapnya - Demam Tifoid

Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis Paru


1. Pengertian

Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tubeculosis.



2. Etiologi

Tuberkulosis paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh basil mikrobakterium tuberkulosis tipe humanus, sejenis kuman yang berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/mm dan tebal 0,3-0,6/mm. Sebagian besar kuman terdiri atas asam lemak (lipid). Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam dan lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisik.


Kuman ini tahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin (dapat tahan bertahun-tahun dalam lemari es). Hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan tuberkulosis aktif kembali. Sifat lain kuman adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan bagian apikal paru-paru lebih tinggi dari pada bagian lainnya, sehingga bagian apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis.

Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi penting saluran pernapasan. Basil mikrobakterium tersebut masuk kedalam jaringan paru melalui saluran napas (droplet infection) sampai alveoli, maka terjadilah infeksi primer (ghon) selanjutnya menyebar kekelenjar getah bening setempat dan terbentuklah primer kompleks (ranke). keduanya dinamakan tuberkulosis primer, yang dalam perjalanannya sebagian besar akan mengalami penyembuhan. Tuberkulosis paru primer, peradangan terjadi sebelum tubuh mempunyai kekebalan spesifik terhadap basil mikobakterium. Tuberkulosis yang kebanyakan didapatkan pad usia 1-3 tahun. Sedangkan yang disebut tuberkulosis post primer (reinfection) adalah peradangan jaringan paru oleh karena terjadi penularan ulang yang mana di dalam tubuh terbentuk kekebalan spesifik terhadap basil tersebut.


3. Proses Penularan

Tuberkulosis tergolong airborne disease yakni penularan melalui droplet nuclei yang dikeluarkan ke udara oleh individu terinfeksi dalam fase aktif. Setiapkali penderita ini batuk dapat mengeluarkan 3000 droplet nuclei. Penularan umumnya terjadi di dalam ruangan dimana droplet nuclei dapat tinggal di udara dalam waktu lebih lama. Di bawah sinar matahari langsung basil tuberkel mati dengan cepat tetapi dalam ruang yang gelap lembab dapat bertahan sampai beberapa jam. Dua faktor penentu keberhasilan pemaparan Tuberkulosis pada individu baru yakni konsentrasi droplet nuclei dalam udara dan panjang waktu individu bernapas dalam udara yang terkontaminasi tersebut di samping daya tahan tubuh yang bersangkutan.

Di samping penularan melalui saluran pernapasan (paling sering), M. tuberculosis juga dapat masuk ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan dan luka terbuka pada kulit (lebih jarang).


4. Insiden

Penyakit tuberkulosis adalah penyakit yang sangat epidemik karena kuman mikrobakterium tuberkulosa telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia. Program penaggulangan secara terpadu baru dilakkan pada tahun 1995 melalui strategi DOTS (directly observed treatment shortcourse chemoterapy), meskipun sejak tahun 1993 telah dicanangkan kedaruratan global penyakit tuberkulosis. Kegelisahan global ini didasarkan pada fakta bahwa pada sebagian besar negara di dunia, penyakit tuberkulosis tidak terkendali, hal ini disebabkan banyak penderita yang tidak berhasil disembuhkan, terutama penderita menular (BTA positif).

Pada tahun 1995, diperkirakan setiap tahun terjadi sekitar sembilan juta penderita dengan kematian tiga juta orang (WHO, 1997). Di negara-negara berkembang kematian karena penyakit ini merupakan 25 % dari seluruh kematian, yang sebenarnya dapat dicegah. Diperkirakan 95 % penyakit tuberkulosis berada di negara berkembang, 75 % adalah kelompok usia produktif (15-50 tahun). Tuberkulosis juga telah menyebabkan kematian lebih banyak terhadap wanita dibandingkan dengan kasus kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas.

Di indonesia pada tahun yang sama, hasil survey kesehatan rumah tangga (SKRT) menunjukkan bahwa penyakit tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit infeksi saluran pernapasan pada semua kelompok usia, dan nomor satu dari golongan penyakit infeksi. WHO memperkirakan setiap tahun menjadi 583.000 kasus baru tuberkulosis dengan kematian sekitar 140.000. secara kasar diperkirakan setiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat 130 penderita baru tuberkulosis dengan BTA positif.


5. Anatomi dan Fisiologi

Saluran penghantar udara hingga mencapai paru-paru adalah hidung, farinx, larinx trachea, bronkus, dan bronkiolus. Hidung ; Nares anterior adalah saluran-saluran di dalam. rongga hidung. Saluran-saluran itu bermuara ke dalam bagian yang dikenal sebagai vestibulum. (rongga) hidung. Rongga hidung dilapisi sebagai selaput lendir yang sangat kaya akan pembuluh darah, dan bersambung dengan lapisan farinx dan dengan selaput lendir sinus yang mempunyai lubang masuk ke dalam. rongga hidung. Farinx (tekak) ; adalah pipa berotot yang berjalan dari dasar tengkorak sampai persambungannya dengan oesopagus pada ketinggian tulang rawan krikoid. Maka ‘letaknya di belakang larinx (larinx-faringeal).

Laringx (tenggorok) terletak di depan bagian terendah farinx yang mernisahkan dari columna vertebrata, berjalan dari farinx. sampai ketinggian vertebrata servikals dan masuk ke dalarn trachea di bawahnya. Larynx terdiri atas kepingan tulang rawan yang diikat bersama oleh ligarnen dan membran.

Trachea atau batang tenggorok kira-kira 9 cm panjangnya trachea berjalan dari larynx sarnpai kira-kira ketinggian vertebrata torakalis kelima dan di tempat ini bercabang mcnjadi dua bronckus (bronchi). Trachea tersusun atas 16 - 20 lingkaran tak- lengkap yang berupan cincin tulang rawan yang diikat bersama oleh jaringan fibrosa dan yang melengkapi lingkaran disebelah belakang trachea, selain itu juga membuat beberapa jaringan otot.

Bronchus yang terbentuk dari belahan dua trachea pada ketinggian kira-kira vertebrata torakalis kelima, mempunyai struktur serupa dengan trachea dan dilapisi oleh.jenis sel yang sama. Bronkus-bronkus itu berjalan ke bawah dan kesamping ke arah tampuk paru. Bronckus kanan lebih pendek dan lebih lebar daripada yang kiri, sedikit lebih tinggi darl arteri pulmonalis dan mengeluarkan sebuah cabang utama lewat di bawah arteri, disebut bronckus lobus bawah. Bronkus kiri lebih panjang dan lebih langsing dari yang kanan, dan berjalan di bawah arteri pulmonalis sebelurn di belah menjadi beberapa cabang yang berjalan kelobus atas dan bawah.

Cabang utama bronchus kanan dan kiri bercabang lagi menjadi bronchus lobaris dan kernudian menjadi lobus segmentalis. Percabangan ini berjalan terus menjadi bronchus yang ukurannya semakin kecil, sampai akhirnya menjadi bronkhiolus terminalis, yaitu saluran udara terkecil yang tidak mengandung alveoli (kantong udara). Bronkhiolus terminalis memiliki garis tengah kurang lebih I mm. Bronkhiolus tidak diperkuat oleh cincin tulang rawan. Tetapi dikelilingi oleh otot polos sehingga ukurannya dapat berubah. Seluruh saluran udara ke bawah sampai tingkat bronkbiolus terminalis disebut saluran penghantar udara karena fungsi utamanya adalah sebagai penghantar udara ke tempat pertukaran gas paru-paru.

Alveolus yaitu tempat pertukaran gas assinus terdiri dari bronkhiolus dan respiratorius yang terkadang memiliki kantong udara kecil atau alveoli pada dindingnya. Ductus alveolaris seluruhnya dibatasi oleh alveoilis dan sakus alveolaris terminalis merupakan akhir paru-paru, asinus atau.kadang disebut lobolus primer memiliki tangan kira-kira 0,5 s/d 1,0 cm. Terdapat sekitar 20 kali percabangan mulai dari trachea sampai Sakus Alveolaris. Alveolus dipisahkan oleh dinding yang dinamakan pori-pori kohn.

Paru-paru terdapat dalam rongga thoraks pada bagian kiri dan kanan. Dilapisi oleh pleura yaitu parietal pleura dan visceral pleura. Di dalam rongga pleura terdapat cairan surfaktan yang berfungsi untuk lubrikai. Paru kanan dibagi atas tiga lobus yaitu lobus superior, medius dan inferior sedangkan paru kiri dibagi dua lobus yaitu lobus superior dan inferior. Tiap lobus dibungkus oleh jaringan elastik yang mengandung pembuluh limfe, arteriola, venula, bronchial venula, ductus alveolar, sakkus alveolar dan alveoli. Diperkirakan bahwa stiap paru-paru mengandung 150 juta alveoli, sehingga mempunyai permukaan yang cukup luas untuk tempat permukaan/pertukaran gas.


Proses fisiologi pernafasan dimana 02 dipindahkan dari udara ke dalam jaringan-jaringan, dan C02 dikeluarkan keudara ekspirasi dapat dibagi menjadi tiga stadium. Stadium pertama adalah ventilasi yaitu masuknya campuran gas-gas ke dalam dan keluar paru-paru. karena ada selisih tekanan yang terdapat antara atmosfer dan alveolus akibat kerja mekanik dari otot-otot. Stadium kedua, transportasi yang terdiri dan beberapa aspek yaitu : (1) Difusi gas antara alveolus dan kapiler paru-paru (respirasi eksternal) dan antara darah sistemik dan sel.-sel jaringan (2) Distribusi darah dalam sirkulasi pulmonal dan penyesuaiannya dengan distribusi udara dalam alveolus. (3) Reaksi kimia dan fisik dari 02 dan C02 dengan darah respimi atau respirasi interna menipak-an stadium akhir dari respirasi, yaitu sel dimana metabolik dioksida untuk- mendapatkan energi, dan C02 terbentuk sebagai sampah proses metabolisme sel dan dikeluarkan oleh paru-paru (4) Transportasi, yaitu. tahap kcdua dari proses pemapasan mencakup proses difusi gas-gas melintasi membran alveolus kapiler yang tipis (tebalnya kurang dari 0,5 urn). Kekuatan mendorong untuk pemindahan ini adalah selisih tekanan parsial antara darah dan fase gas. (5) Perfusi, yaitu pemindahan gas secara efektif antara. alveolus dan kapiler paru-paru membutuhkan distribusi merata dari udara dalam paru-paru dan perfusi (aliran darah) dalam kapiler dengan perkataan lain ventilasi dan perfusi. dari unit pulmonary harus sesuai pada orang normal dengan posisi tegak dan keadaan istirahat maka ventilasi dan perfusi hampir seimbang kecuali pada apeks paru-paru.


Secara garis besar bahwa Paru-paru memiliki fungsi sebagai berikut:

(1) Terdapat permukaan gas-gas yaitu mengalirkan Oksigen dari udara atmosfer kedarah vena dan mengeluarkan gas carbondioksida dari alveoli keudara atmosfer. (2) menyaring bahan beracun dari sirkulasi (3) reservoir darah (4) fungsi utamanya adalah pertukaran gas-gas


5. Patofisiologi

Port de’ entri kuman microbaterium tuberculosis adalah saluran pernafasan, saluran pencernaan, dan luka terbuka pada kulit, kebanyakan infeksi tuberculosis terjadi melalui udara (air borne), yaitu melalui inhalasi droppet yang mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi.


Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi terdiri dari satu sampai tiga gumpalan basil yang lebih besar cenderung tertahan di saluran hidung dan cabang besar bronkus dan tidak menyebabkan penyakit. Setelah berada dalam ruang alveolus biasanya di bagian bawah lobus atau paru-paru, atau di bagian atas lobus bawah. Basil tuberkel ini membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak pada tempat tersebut dan memfagosit bacteria namun tidak membunuh organisme tersebut. Sesudah hari-hari pertama maka leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul gejala pneumonia akut. Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya sehingga tidak ada sisa yang tertinggal, atau proses dapat juga berjalan terus, dan bakteri terus difagosit atau berkembang biak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening menuju ke kelenjar bening regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi mcajadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloit, yang dikelilingi oleh fosit. Reaksi ini biasanya membutuhkan waktu 10 sampai 20 hari.


6. Manifestasi Klinik

Tuberkulosis sering dijuluki “the great imitator” yaitu suatu penyakit yang mempunyai banyak kemiripan dengan penyakit lain yang juga memberikan gejala umum seperti lemah dan demam. Pada sejumlah penderita gejala yang timbul tidak jelas sehingga diabaikan bahkan kadang-kadang asimtomatik.


Gambaran klinik TB paru dapat dibagi menjadi 2 golongan, gejala respiratorik dan gejala sistemik:

1. Gejala respiratorik, meliputi:

a. Batuk


Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling sering dikeluhkan. Mula-mula bersifat non produktif kemudian berdahak bahkan bercampur darah bila sudah ada kerusakan jaringan.


b. Batuk darah

Darah yang dikeluarkan dalam dahak bervariasi, mungkin tampak berupa garis atau bercak-bercak darak, gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah sangat banyak. Batuk darak terjadi karena pecahnya pembuluh darah. Berat ringannya batuk darah tergantung dari besar kecilnya pembuluh darah yang pecah.


c. Sesak napas

Gejala ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah luas atau karena ada hal-hal yang menyertai seperti efusi pleura, pneumothorax, anemia dan lain-lain.


d. Nyeri dada

Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan. Gejala ini timbul apabila sistem persarafan di pleura terkena.


2. Gejala sistemik, meliputi:

a. Demam

Merupakan gejala yang sering dijumpai biasanya timbul pada sore dan malam hari mirip demam influenza, hilang timbul dan makin lama makin panjang serangannya sedang masa bebas serangan makin pendek.


b. Gejala sistemik lain

Gejala sistemik lain ialah keringat malam, anoreksia, penurunan berat badan serta malaise.

Timbulnya gejala biasanya gradual dalam beberapa minggu-bulan, akan tetapi penampilan akut dengan batuk, panas, sesak napas walaupun jarang dapat juga timbul menyerupai gejala pneumonia.


Gejala klinis Haemoptoe:

Kita harus memastikan bahwa perdarahan dari nasofaring dengan cara membedakan ciri-ciri sebagai berikut :

1. Batuk darah

a. Darah dibatukkan dengan rasa panas di tenggorokan

b. Darah berbuih bercampur udara

c. Darah segar berwarna merah muda

d. Darah bersifat alkalis

e. Anemia kadang-kadang terjadi

f. Benzidin test negatif


2. Muntah darah

a. Darah dimuntahkan dengan rasa mual

b. Darah bercampur sisa makanan

c. Darah berwarna hitam karena bercampur asam lambung

d. Darah bersifat asam

e. Anemia seriang terjadi

f. Benzidin test positif


3. Epistaksis

a. Darah menetes dari hidung

b. Batuk pelan kadang keluar

c. Darah berwarna merah segar

d. Darah bersifat alkalis

e. Anemia jarang terjadi


6. Test Diagnostik

Foto thorax PA dengan atau tanpa literal merupakan pemeriksaan radiology standar. Jenis pemeriksaan radiology lain hanya atas indikasi Top foto, oblik, tomogram dan lain-lain.


Karakteristik radiology yang menunjang diagnostik antara lain :

a. Bayangan lesi radiology yang terletak di lapangan atas paru.

b. Bayangan yang berawan (patchy) atau berbercak (noduler)

c. Kelainan yang bilateral, terutama bila terdapat di lapangan atas paru

d. Bayang yang menetap atau relatif menetap setelah beberapa minggu

e. Bayangan bilier

Pemeriksaan Bakteriologik (Sputum) ; Ditemukannya kuman micobakterium TBC dari dahak penderita memastikan diagnosis tuberculosis paru.

Pemeriksaan biasanya lebih sensitive daripada sediaan apus (mikroskopis). Pengambilan dahak yang benar sangat penting untuk mendapatkan hasil yang sebaik-baiknya. Pada pemeriksaan pertama. sebaiknya 3 kali pemeriksaan dahak. Uji resistensi harus dilakukan apabila ada dugaan resistensi terhadap pengobatan.

Pemeriksaan sputum adalah diagnostik yang terpenting dalam prograrn pemberantasan TBC paru di Indonesia.


8. Klasifikasi

Klasifikasi TB Paru dibuat berdasarkan gejala klinik, bakteriologik, radiologik dan riwayat pengobatan sebelumnya. Klasifikasi ini penting karena merupakan salah satu faktor determinan untuk menetapkan strategi terapi.

Sesuai dengan program Gerdunas P2TB klasifikasi TB Paru dibagi sebagai berikut:


a. TB Paru BTA Positif dengan kriteria:

1. Dengan atau tanpa gejala klinik

2. BTA positif: mikroskopik positif 2 kali, mikroskopik positif 1 kali disokong biakan positif satu kali atau disokong radiologik positif 1 kali.

3. Gambaran radiologik sesuai dengan TB paru.


b. TB Paru BTA Negatif dengan kriteria:

1. Gejala klinik dan gambaran radilogik sesuai dengan TB Paru aktif

2. BTA negatif, biakan negatif tetapi radiologik positif.


c. Bekas TB Paru dengan kriteria:

a. Bakteriologik (mikroskopik dan biakan) negatif

b. Gejala klinik tidak ada atau ada gejala sisa akibat kelainan paru.

c. Radiologik menunjukkan gambaran lesi TB inaktif, menunjukkan serial foto yang tidak berubah.

d. Ada riwayat pengobatan OAT yang adekuat (lebih mendukung).


9. Penanganan Medik

Tujuan pengobatan pada penderita TB Paru selain untuk mengobati juga mencegah kematian, mencegsah kekambuhan atau resistensi terhadap OAT serta memutuskan mata rantai penularan.

Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan (4-7 bulan). Paduan obat yang digunakan terdiri dari obat utama dan obat tambahan. Jenis obat utama yang digunakan sesuai dengan rekomendasi WHO adalah Rifampisin, INH, Pirasinamid, Streptomisin dan Etambutol. Sedang jenis obat tambahan adalah Kanamisin, Kuinolon, Makrolide dan Amoksisilin + Asam Klavulanat, derivat Rifampisin/INH.


Untuk keperluan pengobatan perlu dibuat batasan kasus terlebih dahulu berdasarkan lokasi tuberkulosa, berat ringannya penyakit, hasil pemeriksaan bakteriologik, hapusan dahak dan riwayat pengobatan sebelumnya. Di samping itu perlu pemahaman tentang strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai Directly Observed Treatment Short Course (DOTS) yang direkomendasikan oleh WHO yang terdiri dari lima komponen yaitu:



  1. Adanya komitmen politis berupa dukungan pengambil keputusan dalam penanggulangan TB.

  2. Diagnosis TB melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopik langsung sedang pemeriksaan penunjang lainnya seperti pemeriksaan radiologis dan kultur dapat dilaksanakan di unit pelayanan yang memiliki sarana tersebut.

  3. Pengobatan TB dengan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO) khususnya dalam 2 bulan pertama dimana penderita harus minum obat setiap hari.

  4. Kesinambungan ketersediaan paduan OAT jangka pendek yang cukup.

  5. Pencatatan dan pelaporan yang baku.


B. PROSES KEPERAWATAN

1. Pengkajian


Data-data yang perlu dikaji pada asuhan keperawatan dengan Tuberkulosis paru (Doengoes, 2000) ialah sebagai berikut :


1. Riwayat PerjalananPenyakit

a. Pola aktivitas dan istirahat

Subjektif : Rasa lemah cepat lelah, aktivitas berat timbul. sesak (nafas pendek), sulit tidur, demam, menggigil, berkeringat pada malam hari.

Objektif : Takikardia, takipnea/dispnea saat kerja, irritable, sesak (tahap, lanjut; infiltrasi radang sampai setengah paru), demam subfebris (40 -410C) hilang timbul.


b. Pola nutrisi

Subjektif : Anoreksia, mual, tidak enak diperut, penurunan berat badan.

Objektif : Turgor kulit jelek, kulit kering/bersisik, kehilangan lemak sub kutan.


c. Respirasi

Subjektif : Batuk produktif/non produktif sesak napas, sakit dada.

Objektif : Mulai batuk kering sampai batuk dengan sputum hijau/purulent, mukoid kuning atau bercak darah, pembengkakan kelenjar limfe, terdengar bunyi ronkhi basah, kasar di daerah apeks paru, takipneu (penyakit luas atau fibrosis parenkim paru dan pleural), sesak napas, pengembangan pernapasan tidak simetris (effusi pleura.), perkusi pekak dan penurunan fremitus (cairan pleural), deviasi trakeal (penyebaran bronkogenik).


d. Rasa nyaman/nyeri

Subjektif : Nyeri dada meningkat karena batuk berulang.

Obiektif : Berhati-hati pada area yang sakit, prilaku distraksi, gelisah, nyeri bisa timbul bila infiltrasi radang sampai ke pleura sehingga timbul pleuritis.


e. Integritas ego

Subjektif : Faktor stress lama, masalah keuangan, perasaan tak berdaya/tak ada harapan.

Objektif : Menyangkal (selama tahap dini), ansietas, ketakutan, mudah tersinggung.


2. Riwayat Penyakit Sebelumnya:

a. Pernah sakit batuk yang lama dan tidak sembuh-sembuh.

b. Pernah berobat tetapi tidak sembuh.

c. Pernah berobat tetapi tidak teratur.

d. Riwayat kontak dengan penderita Tuberkulosis Paru.

e. Daya tahan tubuh yang menurun.

f. Riwayat vaksinasi yang tidak teratur.


3. Riwayat Pengobatan Sebelumnya:

a. Kapan pasien mendapatkan pengobatan sehubungan dengan sakitnya.

b. Jenis, warna, dosis obat yang diminum.

c. Berapa lama. pasien menjalani pengobatan sehubungan dengan penyakitnya.

d. Kapan pasien mendapatkan pengobatan terakhir.


4. Riwayat Sosial Ekonomi:

a. Riwayat pekerjaan. Jenis pekerjaan, waktu dan tempat bekerja, jumlah penghasilan.

b. Aspek psikososial. Merasa dikucilkan, tidak dapat berkomunikisi dengan bebas, menarik diri, biasanya pada keluarga yang kurang marnpu, masalah berhubungan dengan kondisi ekonomi, untuk sembuh perlu waktu yang lama dan biaya yang banyak, masalah tentang masa depan/pekerjaan pasien, tidak bersemangat dan putus harapan.


5. Faktor Pendukung:

a. Riwayat lingkungan.

b. Pola hidup.

Nutrisi, kebiasaan merokok, minum alkohol, pola istirahat dan tidur, kebersihan diri.

c. Tingkat pengetahuan/pendidikan pasien dan keluarga tentang penyakit, pencegahan, pengobatan dan perawatannya.


6. Pemeriksaan Diagnostik:

a. Kultur sputum: Mikobakterium Tuberkulosis positif pada tahap akhir penyakit.

b. Tes Tuberkulin: Mantoux test reaksi positif (area indurasi 10-15 mm terjadi 48-72 jam).

c. Poto torak: Infiltnasi lesi awal pada area paru atas ; Pada tahap dini tampak gambaran bercak-bercak seperti awan dengan batas tidak jelas ; Pada kavitas bayangan, berupa cincin ; Pada kalsifikasi tampak bayangan bercak-bercak padat dengan densitas tinggi.

d. Bronchografi: untuk melihat kerusakan bronkus atau kerusakan paru karena TB paru.

e. Darah: peningkatan leukosit dan Laju Endap Darah (LED).

f. Spirometri: penurunan fuagsi paru dengan kapasitas vital menurun.


3. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang lazim terjadi pada klien dengan Tuberkulosis paru adalah sebagai berikut:


1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan: Sekret kental atau sekret darah, Kelemahan, upaya batuk buruk. Edema trakeal/faringeal.


2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan: Berkurangnya keefektifan permukaan paru, atelektasis, Kerusakan membran alveolar kapiler, Sekret yang kental, Edema bronchial.


3. Resiko tinggi infeksi dan penyebaran infeksi berhubungan dengan: Daya tahan tubuh menurun, fungsi silia menurun, sekret yang inenetap, Kerusakan jaringan akibat infeksi yang menyebar, Malnutrisi, Terkontaminasi oleh lingkungan, Kurang pengetahuan tentang infeksi kuman.


4. Perubahan kebutuhan nutrisi, kurang dari kebutuhan berhubungan dengan: Kelelahan, Batuk yang sering, adanya produksi sputum, Dispnea, Anoreksia, Penurunan kemampuan finansial.


5. Kurang pengetahuan tentang kondisi, pengobatan, pencegahan berhubungan dengan: Tidak ada yang menerangkan, Interpretasi yang salah, Informasi yang didapat tidak lengkap/tidak akurat, Terbatasnya pengetahuan/kognitif


4. Rencana Keperawatan

Adapun rencana keperawatan yang ditetapkan berdasarkan diagnosis keperawatan yang telah dirumuskan sebagai berikut:


1. Bersihan jalan napas tidak efektif

Tujuan: Mempertahankan jalan napas pasien. Mengeluarkan sekret tanpa bantuan. Menunjukkan prilaku untuk memperbaiki bersihan jalan napas. Berpartisipasi dalam program pengobatan sesuai kondisi. Mengidentifikasi potensial komplikasi dan melakukan tindakan tepat.


Intervensi:

a. Kaji fungsi pernapasan: bunyi napas, kecepatan, imma, kedalaman dan penggunaan otot aksesori.

Rasional: Penurunan bunyi napas indikasi atelektasis, ronki indikasi akumulasi secret/ketidakmampuan membersihkan jalan napas sehingga otot aksesori digunakan dan kerja pernapasan meningkat.


b. Catat kemampuan untuk mengeluarkan secret atau batuk efektif, catat karakter, jumlah sputum, adanya hemoptisis.

Rasional: Pengeluaran sulit bila sekret tebal, sputum berdarah akibat kerusakan paru atau luka bronchial yang memerlukan evaluasi/intervensi lanjut.


c. Berikan pasien posisi semi atau Fowler, Bantu/ajarkan batuk efektif dan latihan napas dalam.

Rasional: Meningkatkan ekspansi paru, ventilasi maksimal membuka area atelektasis dan peningkatan gerakan sekret agar mudah dikeluarkan


d. Bersihkan sekret dari mulut dan trakea, suction bila perlu.

Rasional: Mencegah obstruksi/aspirasi. Suction dilakukan bila pasien tidak mampu mengeluarkan sekret.


e. Pertahankan intake cairan minimal 2500 ml/hari kecuali kontraindikasi.

Rasional: Membantu mengencerkan secret sehingga mudah dikeluarkan


f. Lembabkan udara/oksigen inspirasi.

Rasional: Mencegah pengeringan membran mukosa.


g. Berikan obat: agen mukolitik, bronkodilator, kortikosteroid sesuai indikasi.

Rasional: Menurunkan kekentalan sekret, lingkaran ukuran lumen trakeabronkial, berguna jika terjadi hipoksemia pada kavitas yang luas.


h. Bantu inkubasi darurat bila perlu.

Rasional: Diperlukan pada kasus jarang bronkogenik. dengan edema laring atau perdarahan paru akut.


2. Gangguan pertukaran gas

Tujuan: Melaporkan tidak terjadi dispnea. Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan GDA dalam rentang normal. Bebas dari gejala distress pernapasan.


Intervensi

a. Kaji dispnea, takipnea, bunyi pernapasan abnormal. Peningkatan upaya respirasi, keterbatasan ekspansi dada dan kelemahan.

Rasional: Tuberkulosis paru dapat rnenyebabkan meluasnya jangkauan dalam paru-pani yang berasal dari bronkopneumonia yang meluas menjadi inflamasi, nekrosis, pleural effusion dan meluasnya fibrosis dengan gejala-gejala respirasi distress.


b. Evaluasi perubahan-tingkat kesadaran, catat tanda-tanda sianosis dan perubahan warna kulit, membran mukosa, dan warna kuku.

Rasional: Akumulasi secret dapat menggangp oksigenasi di organ vital dan jaringan.


c. Demonstrasikan/anjurkan untuk mengeluarkan napas dengan bibir disiutkan, terutama pada pasien dengan fibrosis atau kerusakan parenkim.

Rasional: Meningkatnya resistensi aliran udara untuk mencegah kolapsnya jalan napas.


d. Anjurkan untuk bedrest, batasi dan bantu aktivitas sesuai kebutuhan.

Rasional: Mengurangi konsumsi oksigen pada periode respirasi.


e. Monitor GDA.

Rasional: Menurunnya saturasi oksigen (PaO2) atau meningkatnya PaC02 menunjukkan perlunya penanganan yang lebih. adekuat atau perubahan terapi.


f. Berikan oksigen sesuai indikasi.

Rasional: Membantu mengoreksi hipoksemia yang terjadi sekunder hipoventilasi dan penurunan permukaan alveolar paru.


3. Resiko tinggi infeksi dan penyebaran infeksi

Tujuan:
Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah/menurunkan resiko penyebaran infeksi. Menunjukkan/melakukan perubahan pola hidup untuk meningkatkan lingkungan yang. aman.


Intervensi

a. Review patologi penyakit fase aktif/tidak aktif, penyebaran infeksi melalui bronkus pada jaringan sekitarnya atau aliran darah atau sistem limfe dan resiko infeksi melalui batuk, bersin, meludah, tertawa., ciuman atau menyanyi.

Rasional: Membantu pasien agar mau mengerti dan menerima terapi yang diberikan untuk mencegah komplikasi.


b. Identifikasi orang-orang yang beresiko terkena infeksi seperti anggota keluarga, teman, orang dalam satu perkumpulan.

Rasional: Orang-orang yang beresiko perlu program terapi obat untuk mencegah penyebaran infeksi.


c. Anjurkan pasien menutup mulut dan membuang dahak di tempat penampungan yang tertutup jika batuk.

Rasional: Kebiasaan ini untuk mencegah terjadinya penularan infeksi.


d. Gunakan masker setiap melakukan tindakan.

Rasional: Mengurangi risilio penyebaran infeksi.


e. Monitor temperatur.

Rasional: Febris merupakan indikasi terjadinya infeksi.


f. Identifikasi individu yang berisiko tinggi untuk terinfeksi ulang Tuberkulosis paru, seperti: alkoholisme, malnutrisi, operasi bypass intestinal, menggunakan obat penekan imun/ kortikosteroid, adanya diabetes melitus, kanker.

Rasional: Pengetahuan tentang faktor-faktor ini membantu pasien untuk mengubah gaya hidup dan menghindari/mengurangi keadaan yang lebih buruk.


g. Tekankan untuk tidak menghentikan terapi yang dijalani.

Rasional: Periode menular dapat terjadi hanya 2-3 hari setelah permulaan kemoterapi jika sudah terjadi kavitas, resiko, penyebaran infeksi dapat berlanjut sampai 3 bulan.


h. Pemberian terapi INH, etambutol, Rifampisin.

Rasional: INH adalah obat pilihan bagi penyakit Tuberkulosis primer dikombinasikan dengan obat-obat lainnya. Pengobatan jangka pendek INH dan Rifampisin selama 9 bulan dan Etambutol untuk 2 bulan pertama.


i. Pemberian terapi Pyrazinamid (PZA)/Aldinamide, para-amino salisik (PAS), sikloserin, streptomisin.

Rasional: Obat-obat sekunder diberikan jika obat-obat primer sudah resisten.


j. Monitor sputum BTA

Rasional: Untuk mengawasi keefektifan obat dan efeknya serta respon pasien terhadap terapi.


4. Perubahan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan

Tujuan:
Menunjukkan berat badan meningkat mencapai tujuan dengan nilai laboratoriurn normal dan bebas tanda malnutrisi. Melakukan perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan mempertahankan berat badan yang tepat.


Intervensi:

a. Catat status nutrisi paasien: turgor kulit, timbang berat badan, integritas mukosa mulut, kemampuan menelan, adanya bising usus, riwayat mual/rnuntah atau diare.

Rasional: berguna dalam mendefinisikan derajat masalah dan intervensi yang tepat.


b. Kaji pola diet pasien yang disukai/tidak disukai.

Rasional: Membantu intervensi kebutuhan yang spesifik, meningkatkan intake diet pasien.


c. Monitor intake dan output secara periodik.

Rasional: Mengukur keefektifan nutrisi dan cairan.


d. Catat adanya anoreksia, mual, muntah, dan tetapkan jika ada hubungannya dengan medikasi. Awasi frekuensi, volume, konsistensi Buang Air Besar (BAB).

Rasional: Dapat menentukan jenis diet dan mengidentifikasi pemecahan masalah untuk meningkatkan intake nutrisi.


e. Anjurkan bedrest.

Rasional: Membantu menghemat energi khusus saat demam terjadi peningkatan metabolik.


f. Lakukan perawatan mulut sebelum dan sesudah tindakan pernapasan.

Rasional: Mengurangi rasa tidak enak dari sputum atau obat-obat yang digunakan yang dapat merangsang muntah.


g. Anjurkan makan sedikit dan sering dengan makanan tinggi protein dan karbohidrat.

Rasional: Memaksimalkan intake nutrisi dan menurunkan iritasi gaster.


h. Rujuk ke ahli gizi untuk menentukan komposisi diet.

Rasional: Memberikan bantuan dalarn perencaaan diet dengan nutrisi adekuat unruk kebutuhan metabolik dan diet.


i. Konsul dengan tim medis untuk jadwal pengobatan 1-2 jam sebelum/setelah makan.

Rasional: Membantu menurunkan insiden mual dan muntah karena efek samping obat.


j. Awasi pemeriksaan laboratorium. (BUN, protein serum, dan albumin).

Rasional: Nilai rendah menunjukkan malnutrisi dan perubahan program terapi.


k. Berikan antipiretik tepat.

Rasional: Demam meningkatkan kebutuhan metabolik dan konsurnsi kalori.


5. Kurang pengetahuan tentang kondisi, pengobatan, pencegahan.

Tujuan: Menyatakan pemahaman proses penyakit/prognosis dan kebutuhan pengobatan. Melakukan perubahan prilaku dan pola hidup unruk memperbaiki kesehatan umurn dan menurunkan resiko pengaktifan ulang luberkulosis paru. Mengidentifikasi gejala yang mernerlukan evaluasi/intervensi. Menerima perawatan kesehatan adekuat.


Intervensi

a. Kaji kemampuan belajar pasien misalnya: tingkat kecemasan, perhatian, kelelahan, tingkat partisipasi, lingkungan belajar, tingkat pengetahuan, media, orang dipercaya.

Rasional: Kemampuan belajar berkaitan dengan keadaan emosi dan kesiapan fisik. Keberhasilan tergantung pada kemarnpuan pasien.


b. Identifikasi tanda-tanda yang dapat dilaporkan pada dokter misalnya: hemoptisis, nyeri dada, demam, kesulitan bernafas, kehilangan pendengaran, vertigo.

Rasional: Indikasi perkembangan penyakit atau efek samping obat yang membutuhkan evaluasi secepatnya.


c. Tekankan pentingnya asupan diet Tinggi Kalori Tinggi Protein (TKTP) dan intake cairan yang adekuat.

Rasional: Mencukupi kebutuhan metabolik, mengurangi kelelahan, intake cairan membantu mengencerkan dahak.


d. Berikan Informasi yang spesifik dalam bentuk tulisan misalnya: jadwal minum obat.

Rasional: Informasi tertulis dapat membantu mengingatkan pasien.


e. jelaskan penatalaksanaan obat: dosis, frekuensi, tindakan dan perlunya terapi dalam jangka waktu lama. Ulangi penyuluhan tentang interaksi obat Tuberkulosis dengan obat lain.

Rasional: Meningkatkan partisipasi pasien mematuhi aturan terapi dan mencegah putus obat.


f. jelaskan tentang efek samping obat: mulut kering, konstipasi, gangguan penglihatan, sakit kepala, peningkatan tekanan darah

Rasional: Mencegah keraguan terhadap pengobatan sehingga mampu menjalani terapi.


g. Anjurkan pasien untuk tidak minurn alkohol jika sedang terapi INH.

Rasional: Kebiasaan minurn alkohol berkaitan dengan terjadinya hepatitis


h. Rujuk perneriksaan mata saat mulai dan menjalani terapi etambutol.

Rasional: Efek samping etambutol: menurunkan visus, kurang mampu melihat warna hijau.


i. Dorong pasien dan keluarga untuk mengungkapkan kecemasan. Jangan menyangkal.

Rasional: Menurunkan kecemasan. Penyangkalan dapat memperburuk mekanisme koping.


j. Berikan gambaran tentang pekerjaan yang berisiko terhadap penyakitnya misalnya: bekerja di pengecoran logam, pertambangan, pengecatan.

Rasional: Debu silikon beresiko keracunan silikon yang mengganggu fungsi paru/bronkus.


k. Anjurkan untuk berhenti merokok.

Rasional: Merokok tidak menstimulasi kambuhnya Tuberkulosis; tapi gangguan pernapasan/ bronchitis.


l. Review tentang cara penularan Tuberkulosis dan resiko kambuh lagi.

Rasional: Pengetahuan yang cukup dapat mengurangi resiko penularan/ kambuh kembali. Komplikasi Tuberkulosis: formasi abses, empisema, pneumotorak, fibrosis, efusi pleura, empierna, bronkiektasis, hernoptisis, u1serasi Gastro, Instestinal (GD, fistula bronkopleural, Tuberkulosis laring, dan penularan kuman.


5. Evaluasi

a. Keefektifan bersihan jalan napas.

b. Fungsi pernapasan adekuat untuk mernenuhi kebutuhan individu.

c. Perilaku/pola hidup berubah untuk mencegah penyebaran infeksi.

d. Kebutuhan nutrisi adekuat, berat badan meningkat dan tidak terjadi malnutrisi.

e. Pemahaman tentang proses penyakit/prognosis dan program pengobatan dan perubahan perilaku untuk memperbaiki kesehatan.

Baca Selengkapnya - Tuberkulosis Paru

Limfoma

Limfoma

LIMFOMA


Penyakit Hodgkin

Definisi

• Keganasan pada sel limfoid ditandai dengan munculnya sel Reed-Sternberg di kelenjar getah bening


Epidemiologi

• — 7500 kasus/tahun dengan distribusi umur bimodus (usia 15-35 tahun atau usia > 50 tahun) dan predominan pada laki-laki


Patologi

• Sel Reed-Sternberg - sel besar dengan nukleus berlobus dua atau multipel dengan nuklelous yang menyerupai penonjolan inklusi biasanya terdapat < 10% sel pada kelenjar getah bening yang terkena

• Penyakit terlokalisir, dengan penyebaran yang berurutan dan sesuai anatomis, pada kelenjar getah bening yang berdekatan


Manifestas! klinis

• Limfadenopati superfisialis tanpa nyeri (biasanya servikal) ± limfadenoRati mediastinal

• Gejala konstitusional (”B”): demam (apabila periodik, disebut “Pel-Ebstein”), berkeringat, penurunan berat badan

• Pruritus

Langkah Penentuan stadium

• Dipastikan dengan biopsi eksisi kelenjar getah bening (perlu juga dilihat di sekitamya sehingga FNA tidak cukup).

• Anamnesis (tcrutam.i untuk iiiciii;<’t.ihui timbulnya gc)jl,i “B”) clan pemeriksajn fisik

• Evaluasi laboratorium: pompriksaan darah pcriler lengkap, uji fungsi hati, BUN, Cr, urinalisis, LEC

• Rontgen foto toraks, CTscan toraks, abdomen, dan pelvis (namun tidak dapat dipercaya untuk menclctcksi terkenanya limpa alau hcpar)

• Biopsi sumsumtulang

• Laparotomi dengan splenektomi untuk menentukan stadium


Penatalaksanaan

• Stadium I dan IIA: radiasi

• Stadium MB: radiasi atau radiasi + kemoterapi atau kemoterapi

• Stadium III dan IV: kemoterapi (seperti: “ABVD” - doksorubisin [Adriamisin], bleomisin, vinblastin.dan dakarbazin)


Prognosis

• Penyakit yang terbatas memiliki angka kesembuhan -80%; penyakit lanjut memiliki angka kesembuhan 50-70%


LlMFOMA NON-HODGKIN

Definisi

• Penyakil koganasan sel limfoid tanpa kemunculan sel Rced-Stemberg


Epidemiologi

• - 50.000 kasus/tahun dengan terjadinya T akhir-akhir ini akibat epidemi HIV; usia biasanya > 50 tahun dan predominan pada laki-laki

• Infeksi: EBV yang dihubungkan dengan limfoma Burkitt dan SSP; H. pylori dihubungkan dengan limfoma gaster

• T frekuensi pada sindrom Sjogren clan gangguan autoimun lainnya, serta pada transplantasi organ


Patologi

• 90% sel B, 10% sel T

• Terlibatnya kelenjar getah bening dan struktur lain di luar kelenjar getah bening dengan cara penyebaran I bagian yang tidak berdekatan.


Manifestasi Klinis

• Limfadenopati difus tanpa rasa nyeri

Apabila usia < 40 tahun dan muncul dengan pembesaran kelenjar getah bening >2 cm—» 80% kemungkinan jinak

apabila usia >40 tahundan muncul dengan pembesaran kelenjar getah bening >2 cm—> 80% kemungkinan ganas

• Gejala “B” (kurang sering dibandingkan HD); rasa nyeri abdomen karena terasa penuh (abdominal pain of fullness); nyeri tulang.

Sistem dan Langkah Penentuan Stadium

• Sistem Ann Arbor yangdipergunakan pada penyakit Hodgkin (lihat di atas) dapat dipergunakan untuk NHL, namun penentuan stadium kurang penting dibandingkan dcrajatnya pada kebanyakan pasien (- 90%) yang mengalami stadium lanjut

• Langkah penentuan stadium meliputi biopsi kelenjar getah bening dengan eksisi (juga jaringan sekitar, sehingga FNA/arangmencukupi) dengan imunofenotipe dan sitogenetikfototoraks, CT scan toraks, abdomen, dan pelvis, dan biopsi sumsum tulang; ± gallium scan, CTscan kepala, dan punksi lumbal


Penatalaksanaan (N Engll Med 328: 1023,1993)

• Secara umum, kemoterapi + radiasi

derajat rendah: agen pengalkilasi, fludarabin, atau kladribin

derajat sedang: kombinasi kemoterapi (seperti: “CHOP” - siklofosfamid, doksorubisin

[hidroksidaunorubisin], vinkristin [Onkovorin], dan prednison; N Engll Med 328:1002,1993)

derajat tinggi: kemoterapi dosis tinggi + profilaksis SSP (seperti: metotreksat intratekal)

• Transplantasi sumsum tulang autolog pada pasien yang mengalami relaps


Prognosis

• Derajat rendah: pertumbuhan tumor lamban sehingga respons 4- terhadap kemoterapi, namun rata-rata daya tahan hidup memanjang

• Derajat tinggi: pertumbuhan tumor lebih cepat, sehingga kemungkinan penyembuhan T, namun secara keseluruhan prognosisnya lebih buruk.

Baca Selengkapnya - Limfoma

HIPEREMESIS GRAVIDARUM

HIPEREMESIS GRAVIDARUM

A.


Pengertian

Hiperemsis
Gravidarum adalah mual dan muntah yang berlebihan sehingga pekerjaan sehari-hari terganggu dan keadaan umum ibu menjadi buruk. (Sarwono Prawirohardjo, Ilmu Kebidanan, 1999).

Hiperemesis gravidarum adalah muntah yang terjadi sampai umur kehamilan 20 minggu, begitu hebat dimana segala apa yang dimakan dan diminum dimuntahkan sehingga mempengaruhi keadaan umum dan pekerjaan sehari-hari, berat badan menurun, dehidrasi, terdapat aseton dalam urine, bukan karena penyakit seperti Appendisitis, Pielitis dan sebagainya (
http://zerich150105.wordpress.com).

Dalam buku obstetri patologi (1982) Hiperemesis Gravidarum adalah suatu keadaan dimana seorang ibu hamil memuntahkan segala apa yang di makan dan di minum sehingga berat badannya sangat turun, turgor kulit kurang, diuresis kurang dan timbul aseton dalam air kencing (
http://healthblogheg.blogspot.com).

Hiperemesis Gravidarum adalah suatu keadaan pada ibu hamil yang ditandai dengan muntah-muntah yang berlebihan (muntah berat) dan terus-menerus pada minggu kelima sampai dengan minggu kedua belas Penyuluhan Gizi Rumah Sakit A. Wahab Sjahranie Samarinda (
http://healthblogheg.blogspot.com).

B. Etiologi

Penyebab Hiperemesis gravidarum belum diketahui secara pasti. Perubahan-perubahan anatomik pada otak, jantung, hati dan susunan saraf disebabkan oleh kekurangan vitamin serta zat-zat lain akibat inanisi.

Beberapa faktor predisposisi dan faktor lain yang ditemukan :

a) Faktor predisposisi yang sering dikemukakan adalah primigravida, mola hidatidosa dan kehamilan ganda. Frekuensi yang tinggi pada mola hidatidosa dan kehamilan ganda memimbulkan dugaan bahwa faktor hormon memegang peranan, karena pada kedua keadaan tersebut hormon Khorionik gonadotropin dibentuk berlebihan.

b) Masuknya vili khorialis dalam sirkulasi maternal dan perubahan metabolik akibat hamil serta resistensi yang menurun dari pihak ibu tehadap perubahan ini merupakan faktor organik.

c) Alergi. Sebagai salah satu respon dari jaringan.ibu terhadap anak, juga disebut sebagai salah satu faktor organik.

d) Faktor psikologik memegang peranan yang penting pada penyakit ini walaupun hubungannya dengan terjadinya hiperemesis gravidarum belum diketahui dengan pasti. Rumah tangga yang retak, kehilangan pekerjaan, takut terhadap kehamilan dan persalinan, takut terhadap tanggung jawab sebagai ibu, dapat menyebabkan konflik mental yang dapat memperberat mual dan muntah sebagai ekspresi tidak sadar terhadap keengganan menjadi hamil atau sebagai pelarian karena kesukaran hidup. Tidak jarang dengan memberikan suasana yang baru sudah dapat membantu mengurangi frekwensi muntah klien (
http://zerich150105.wordpress.com


).

C. Patofisiologi

Ada yang menyatakan bahwa, perasaan mual adalah akibat dari meningkatnya kadar estrogen, oleh karena keluhan ini terjadi pada trimester pertama.

Pengaruh psikologik hormon estrogen ini tidak jelas, mungkin berasal dari sistem saraf pusat atau akibat berkurangnya pengosongan lambung. Penyesuaian terjadi pada kebanyakan wanita hamil, meskipun demikian mual dan muntah dapat berlangsung berbulan-bulan.

Hiperemesis garavidarum yang merupakan komplikasi mual dan muntah pada hamil muda, bila terjadi terus-menerus dapat menyebabkan dehidrasi dan tidak seimbangnya elektrolit dengan alkalosis hipokloremik. Belum jelas mengapa gejala ini hanya terjadi pada sebagian kecil wanita, tetapi faktor psikologik merupakan faktor utama, disamping faktor hormonal. Yang jelas wanita yang sebelum kehamilan sudah menderita lambung spastik dengan gejala tak suka makan dan mual, akan mengalami emesis gravidarum yang berat.Hiperemesis gravidarum ini dapat mengakibatkan cadangan karbohidrat dan lemak habis terpakai untuk keperluan energi. Karena oksidasi lemak yang tak sempurna, terjadilah ketosis dengan tertimbunnya asam aseton-asetik, asam hidroksi butirik dan aseton dalam darah. Kekurangan cairan yang diminum dan kehilangan cairan karena muntah menyebabkan dehidrasi, sehmgga cairan ekstraselurer dan plasma berkurang. Natrium dan Khlorida darah turun, demikian pula Khlorida air kemih. Selain itu dehidrasi menyebabkan hemokonsentrasi, sehingga aliran darah ke jaringan berkurang. Hal ini menyebabkan jumlah zat makanan dan oksigen ke jaringan berkurang pula dan tertimbunlah zat metabolik yang toksik. Kekurangan Kalium sebagai akibat dari muntah dan bertambahnya ekskresi lewat ginjal, bertambahnya frekuensi muntah-muntah yang lebih banyak, dapat merusak hati dan terjadilah lingkaran setan yang sulit dipatahkan.

(http://zerich150105.wordpress.com


).

D. Tanda Dan Gejala

Hiperemesis gravidarum, menurut berat ringannya gejala dapat dibagi dalam 3 (tiga) tingkatan yaitu :

a) Tingkatan I :


Muntah terus menerus yang mempengaruhi keadaan umum penderita, ibu merasa lemah, nafsu makan tidak ada, berat badan menurun dan nyeri pada epigastrium. Nadi meningkat sekitar 100 kali per menit, tekanan darah sistol menurun turgor kulit berkurang, lidah mengering dan mata cekung.

b) Tingkatan II :


Penderita tampak lebih lemah dan apatis, turgor kulit lebih berkurang, lidah mengering dan nampak kotor, nadi kecil dan cepat, suhu kadang-kadang naik dan mata sedikit ikterus. Berat badan menurun dan mata menjadi cekung, tensi rendah, hemokonsentrasi, oliguri dan konstipasi.

Aseton dapat tercium dalam hawa pernapasan, karena mempunyai aroma yang khas dan dapat pula ditemukan dalam kencing.

c) Tingkatan III:


Keadaan umum lebih parah, muntah berhenti, kesadaran menurun dan somnolen sampai koma, nadi kecil dan cepat, suhu badan meningkat dan tensi menurun. Komplikasi fatal dapat terjadi pada susunan saraf yang dikenal sebagai ensefalopati Wemicke, dengan gejala : nistagtnus dan diplopia. Keadaan ini adalah akibat sangat kekurangan zat makanan, termasuk vitamin B kompleks. Timbulnya ikterus adalah tanda adanya payah hati.(http://healthblogheg.blogspot.com


)

E. Komplikasi

Dehidrasi berat, ikterik, takikardia, suhu meningkat, alkalosis, kelaparan gangguan emosional yang berhubungan dengan kehamilan dan hubungan keluarga, menarik diri dan depresi (http://healthblogheg.blogspot.com


)

F. Pemeriksaan Diagnostik

ü USG (dengan menggunakan waktu yang tepat) : mengkaji usia gestasi janin dan adanya gestasi multipel, mendeteksi abnormalitas janin, melokalisasi plasenta.

ü Urinalisis : kultur, mendeteksi bakteri, BUN.

ü Pemeriksaan fungsi hepar: AST, ALT dan kadar LDH.

(
http://zerich150105.wordpress.com


)

G. Penatalaksanaan


Pencegahan terhadap Hiperemesis gravidarum perlu dilaksanakan dengan jalan memberikan pcnerapan tentang kehamilan dan persalinan sebagai suatu proses yang fisiologik, memberikan keyakinan bahwa mual dan kadang-kadang muntah merupakan gejala yang flsiologik pada kehamilan muda dan akan hilang setelah kehamilan 4 bulan, mengajurkan mengubah makan sehari-hari dengan makanan dalam jumlah kecil tetapi lebih sering. Waktu bangun pagi jangan segera turun dari tempat tidur, tetapi dianjurkan untuk makan roti kering atau biskuit dengan teh hangat.Makanan yang berminyak dan berbau lemak sebaiknya dihindarkan. Makanan dan minuman sebaiknya disajikan dalam keadaan panas atau sangat dingin.

Obat-obatan

Sedativa yang sering digunakan adalah Phenobarbital. Vitamin yang dianjurkan Vitamin B1 dan B6 Keadaan yang lebih berat diberikan antiemetik sepeiti Disiklomin hidrokhloride atau Khlorpromasin. Anti histamin ini juga dianjurkan seperti Dramamin, Avomin

Isolasi

Penderita disendirikan dalam kamar yang tenang tetapi cerah dan peredaran udara yang baik. Tidak diberikan makan/minuman selama 24 -28 jam. Kadang-kadang dengan isolasi saja gejaia-gejala akan berkurang atau hilang tanpa pengobatan.

Terapi psikologik

Perlu diyakinkan pada penderita bahwa penyakit dapat disembuhkan, hilangkan rasa takut oleh karena kehamilan, kurangi pekerjaan yang serta menghilangkan masalah dan konflik, yang kiranya dapat menjadi latar belakang penyakit ini.

Cairan parenteral

Berikan cairan- parenteral yang cukup elektrolit, karbohidrat dan protein dengan Glukosa 5% dalam cairan garam fisiologik sebanyak 2-3 liter per hari. Bila perlu dapat ditambah Kalium dan vitamin, khususnya vitamin B kompleks dan vitamin C. Bila ada kekurangan protein, dapat diberikan pula asam amino secara intra vena.

Penghentian kehamilan

Pada sebagian kecil kasus keadaan tidak menjadi baik, bahkan mundur. Usahakan mengadakan pemeriksaan medik dan psikiatri bila keadaan memburuk. Delirium, kebutaan, tachikardi, ikterus anuria dan perdarahan merupakan manifestasi komplikasi organik. Dalam keadaan demikian perlu dipertimbangkan untuk mengakhiri kehamilan. Keputusan untuk melakukan abortus terapeutik sering sulit diambil, oleh karena di satu pihak tidak boleh dilakukan terlalu cepat, tetapi dilain pihak tak boleh menunggu sampai terjadi gejala ireversibel pada organ vital.


Diet

a) Diet hiperemesis I diberikan pada hiperemesis tingkat III.

Makanan hanya berupa rod kering dan buah-buahan. Cairan tidak diberikan bersama makanan tetapi 1 — 2 jam sesudahnya. Makanan ini kurang dalam semua zat - zat gizi, kecuali vitamin C, karena itu hanya diberikan selama beberapa hari.

b) Diet hiperemesis II diberikan bila rasa mual dan muntah berkurang.

Secara berangsur mulai diberikan makanan yang bernilai gizi linggi. Minuman tidak diberikan bersama makanan . Makanan ini rendah dalam semua zat-zal gizi kecuali vitamin A dan D.

c) Diet hiperemesis III diberikan kepada penderita dengan hiperemesis ringan.

Menurut kesanggupan penderita minuman boleh diberikan bersama makanan. Makanan ini cukup dalam semua zat gizi kecuali Kalsium.


Prognosis

Dengan penanganan yang baik prognosis Hiperemesis gravidarum sangat memuaskan. Penyakit ini biasanya dapat membatasi diri, namun demikian pada tingkatan yang berat, penyakit ini dapat mengancam jiwa ibu dan janin.

Baca Selengkapnya - HIPEREMESIS GRAVIDARUM

ASITES

ASITES


PENDAHULUAN


Asites adalah peningkatan jumlah cairan intra peritoneal. Penyebab asites terbanyak adalah gangguan hati kronis tetapi dapat pula disebabkan penyakit lain.


PATOGENESIS


Asites dapat terjadi melalui beberapa mekanisme, diantaranya :


·                Peningkatan tekanan hidrostatik : Sirosis, oklusi vena hepatika (sindrom Budd-Chiari),obstruksi vena cava inferior, perikarditis konstriktif, penyakit jantung kongestif.

·                Penurunan tekanan osmotik koloid : Penyakit hati stadium lanjut dengan gangguan sintesis protein, sindrom nefrotik, malnutrisi, protein lossing enteropathy

·                Peningkatan permeabilitas kapiler peritoneal : Peritonitis TB, peritonitis bakteri, penyakit keganasan pada peritonium.

·                Kebocoran cairan di cavum peritoneal:Bile ascites, pancreatic ascites (secondary to a leaking pseudocyst), chylous ascites, urine ascites.

·                Micellanous : Myxedema, ovarian disease (Meigs’ syndrome), chronic hemodialysis

GEJALA KLINIS


Derajat Asites dapat ditentukan secara semikuantitatif sebagai berikut :



  • Tingkatan 1 : bila terdeteksi dengan pemeriksaan fisik yang sangat teliti.


· Tingkatan 2 : mudah diketahui dengan pemeriksaan fisik biasa tetapi dalam jumlah cairan yang minimal.


· Tingkatan 3 : dapat dilihat tanpa pemeriksaan fisik khusus akan tetapi permukaan abdomen tidak tegang.


· Tingkatan 4 : asites permagna.


DIAGNOSIS


Pemeriksaan fisik :



  • Distensi abdomen

  • Bulging flanks


· Timpani pada puncak asites


· Fluid wave


· Shifting dulness


· Puddle sign


Foto thorax dan foto polos abdomen (BOF)



  • Elevasi diaphragma, pada 80% pasien dengan asites, tepi lateral hepar terdorong ke sisi medial dinding abdomen (Hellmer sign). Terdapat akumulasi cairan dalam rongga rectovesical dan menyebar pada fossa paravesikal, menghasilkan densitas yang sama pada kedua sisi kandung kemih. Gambaran ini disebut ”dog’s ear” atau “Mickey Mouse” appearance. Caecum dan colon ascenden tampak terletak lebih ke medial dan properitoneal fat line terdorong lebih ke lateral merupakan gambaran yang tampak pada lebih dari 90% pasien dengan asites.


Ultrasonografi


· Volume cairan asites kurang dari 5-10 mL dapat terdeteksi.



  • Dapat membedakan penyebab asites oleh karena infeksi, inflamasi atau keganasan.


CT scan



  • Asites minimal dapat diketahui dengan jelas pada pemeriksaan CT scan. Cairan asites dalam jumlah sedikit akan terkumpul di ruang perihepatik sebelah kanan. Ruang subhepatic bagian posterior (kantung Morison), dan kantung Douglas.


Parasentesis abdomen


Analisis cairan asites dilakukan pada onset awal asites, tindakan tersebut memerlukan rawat inap untuk observasi.


Analisis cairan asites :


1. Perbedaan kadar albumin serum-asites (SAAG)


2. Kadar amilase, meningkat pada asites gangguan pankreas.


3. Kadar trigliserida meningkat pada chylous asites.


4. Lekosit lebih dari 350/mikroliter merupakan tanda infeksi. Dominasi polimorfonuklear, kemungkinan infeksi bakteri. Dominasi mononuklear, kemungkinan infeksi tuberkulosis atau jamur.


5. Eritrosit lebih dari 50.000/mikroliter menimbulkan dugaan malignancy, tuberkulosis atau trauma.


6. Pengecatan gram dan pembiakan untuk konfirmasi infeksi bakterial.


7. Apabila pH < 7: tanda suatu infeksi bakterial.


8. Pemeriksaan sitologis pada keganasan.


SAAG(perbedaan kadar albumin serum-kadar albumin asites) berhubungan langsung dengan tekanan portal: bila lebih besar atau sebesar 1.1 g/dl, hipertensi portal (transudative ascites); SAAG kurang dari 1.1 g/dl bukan hipertensi portal (exudative ascites).


DIAGNOSA BANDING


















Tipe asites sesuai dengan SAAG



Tinggi ( > or = 1.1 g/dl)



Rendah ( < 1.1 g/dl)



Sirosis Hepatitis alkohol Gagal jantung


Gagal hati fulminan


Trombosis vena porta


Tumor peritonium Asites pankreas Asites bilier


TBC peritonium


Sindrom nefrotik


Obstruksi usus



TERAPI

Penanganan asites tergantung dari penyebabnya, diuretik dan diet rendah garam sangat efektif pada asites karena hipertensi portal. Pada asites karena inflamasi atau keganasan tidak memberi hasil. Restriksi cairan diperlukan bila kadar natrium turun hingga < 120 mmol perliter.


Obat


Kombinasi spironolakton dan furosemid sangat efektif untuk mengatasi asites dalam waktu singkat. Dosis awal untuk spironolakton adalah 1-3 mg/kg/24 jam dibagi 2-4 dosis dan furosemid sebesar 1-2 mg/kgBB/dosis 4 kali/hari, dapat ditingkatkan sampai 6 mg/kgBB/dosis. Pada asites yang tidak memberi respon dengan pengobatan diatas dapat dilakukan cara berikut :


1. Parasentesis


2. Peritoneovenous shunt LeVeen atau Denver


3. Ultrafiltrasi ekstrakorporal dari cairan asites dengan reinfus


Paracentesis


Pengambilan cairan untuk mengurangi asites masif yang aman untuk anak adalah sebesar 50 cc/kg berat badan. Disarankan pemberian 10 g albumin intravena untuk tiap 1 liter cairan yang diaspirasi untuk mencegah penurunan volume plasma dan gangguan keseimbangan elektrolit.


Monitoring


Rawat inap diperlukan untuk memantau peningkatan berat badan serta pemasukan dan pengeluaran cairan. Pemantauan keseimbangan natrium dapat diperkirakan dengan monitoring pemasukan (diet, kadar natrium dalam obat dan cairan infus) dan produksi urin. Keseimbangan Na negatif adalah prediktor dari penurunan berat badan. Keberhasilan manajemen pasien dengan asites tanpa edema perifer adalah keseimbangan Na negatif dengan penurunan berat badan sebesar 0,5 kg per hari.


Diet


Restriksi asupan natrium (garam) 500 mg/hari (22 mmol/hari) mudah diterapkan pada

pasien-pasien yang dirawat akan tetapi sulit dilakukan pada pasien rawat jalan. Untuk itu pembatasan dapat ditolerir sampai batas 2000 mg/hari (88 mmol/hari). Retriksi cairan tidak diperlukan kecuali pada kasus asites dengan serum sodium level turun di bawah 120 mmol/

Baca Selengkapnya - ASITES

Meningitis Bakterialis

Meningitis Bakterialis








DEFINISI











Meningitis Bakterialis adalah peradangan pada meningen (selaput otak) yang disebabkan oleh bakteri.Meningitis paling sering menyerang anak-anak usia 1 bulan- 2 tahun.

Lebih jarang terjadi pada dewasa, kecuali mereka yang memiliki faktor resiko khusus.

Wabah meningitis meningokokus bisa terjadi dalam suatu lingkungan, misalnya perkemahan militer, asrama mahasiswa atau sekumpulan orang yang berhubungan dekat.













PENYEBAB











Bakteri yang menjadi penyebab dari lebih 80% kasus meningitis adalah:


· Neisseria meningitidis


· Hemophilus influenzae


· Streptococcus pneumoniae.

Ketiga jenis bakteri tersebut, dalam keadaan normal terdapat di lingkungan sekitar dan bahkan bisa hidup di dalam hidung dan sistem pernafasan manusia tanpa menyebabkan keluhan.Kadang ketiga organisme tersebut menginfeksi otak tanpa alasan tertentu.

Pada kasus lainnya, infeksi terjadi setelah suatu cedera kepala atau akibat kelainan sistem kekebalan.Resiko terjadinya meningitis bakterialis meningkat pada:

- penyalahguna alkohol

- telah menjalani splenektomi (pengangkatan limpa)

- penderita infeksi telinga dan hidung menahun, pneumonia pneumokokus atau penyakit sel sabit.


Bakteri lainnya yang juga bisa menyebabkan meningitis adalah Escherichia coli (dalam keadaan normal ditemukan di dalam usus dan tinja) dan Klebsiella.

Infeksi karena bakteri ini biasanya terjadi setelah suatu cedera kepala, pembedahan otak atau medula spinalis, infeksi darah atau infeksi yang didapat di rumah sakit; infeksi ini lebih sering terjadi pada orang yang memiliki kelainan sistem kekebalan.


Penderita gagal ginjal atau pemakai kortikosteroid jangka panjang memiliki resiko yang lebih tinggi untuk menderit meningitis yang disebabkan oleh bakteri Listeria.












GEJALA











Demam, sakit kepala, kaku kuduk, sakit tenggorokan dan muntah (yang seringkali terjadi setelah kelainan sistem pernafasan), merupakan gejala awal yang utama dari meningitis.

Kaku kuduk bukan hanya terasa sakit, tetapi penderita tidak dapat atau merasakan nyeri ketika dagunya ditekuk/disentuhkan ke dadanya.Penderita dewasa menjadi sangat sakit dalam waktu 24 jam, sedangkan anak-anak lebih cepat.

Anak yang lebh tua dan dewasa dapat menjadi mudah tersinggung, linglung dan sangat mengantuk. Bisa berkembang menjadi stupro, koma dan akhirnya meninggal.


Infeksi menyebabkan pembengkakan jaringan otak dan menghalangi aliran darah, sehingga timbul gejala-gejala stroke (termasuk kelumpuhan).

Beberapa penderita mengalami kejang.


Sindroma Waterhouse-Friderichsen merupakan infeksi oleh Neisseria meningitidis yang berkembang dengan cepat, dengan gejala berupa diare hebat, muntah, kejang, perdarahan internal, tekanan darah rendah, syok, yang seringkali berakhir dengan kematian.


Pada anak- anak yang berusia sampai 2 tahun, meningitis biasanya menyebabkan demam, gangguan makan, muntah, rewel, kejang dan menangis dengan nada tinggi (high pitch cry).

Kulit diatas ubun-ubun menjadi tegang dan ubun-ubun bisa menonjol.

Aliran cairan di sekeliling otak bisa mengalami penyumbatan, menyebabkan pelebaran tengkorak (keadaan yang disebut hidrosefalus).

Bayi yang berusia dibawah 1 tahun tidak mengalami kaku kuduk.













DIAGNOSA











Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik.Untuk menentukan penyebabnya, dilakukan pemeriksaan pungsi lumbal.

Sebuah jarum kecil dimasukkan diantara 2 tulang pada kolumna spinalis bagian bawah dan diambil contoh cairan serebrospinal.

Cairan diperiksa dibawah mikroskop dan dibiakkan. Untuk membantu menentukan jenis infeksi, juga dilakukan pemeriksaan kadar gula, protein serta jumlah dan jenis sel darah putih di dalam cairan serebrospinal.


Untuk memperkuat diagnosis, juga dilakukan pembiakan dari contoh darah, air kemih, lendir hidung dan tenggorokan serta nanah dari infeksi kulit.


KOMPLIKASI


Meningitis bakterialis (terutama yang disebabkan oleh Neisseria meningitidis) bisa menyebabkan tekanan darah yang sangat rendah, sehingga penderita memerlukan cairan tambahan dan obat-obatan untuk mengatasi keadaan tersebut.













PENGOBATAN











Segera diberikan antibiotik intravena dan kortikosteroid intravena untuk menekan peradangan.Cairan diberikan untuk menggantikan kehilangan cairan karena demam, berkeringat, muntah dan nafsu makan yang buruk.


PROGNOSIS


Jika segera diberikan pengobatan, maka jumlah penderita yang meninggal mencapai kurang dari 10%.

Tetapi jika diagnosis maupun pengobatannya tertunda, maka bisa terjadi kerusakan otak yang menetap atau kematian, terutama pada anak yang sangat kecil dan pada usia lanjut.


Sebagian besar penderita bisa sembuh sempurna, tetapi beberapa penderita sering mengalami kejang.

Gejala sisa lainnya adalah kelainan mental yang menetap serta kelumpuhan.













PENCEGAHAN








Suatu vaksin dapat membantu mencegah meningitis yang disebabkan Neisseria meningitidis.

Vaksin ini terutama digunakan jika terjadi wabah, pada populasi yang terancam wabah dan pada orang-orang yang mengalami pemaparan bakteri yang berulang.Kepada anggota keluarga, petugas kesehatan dan orang lainnya yang berhubungan dengan penderita meningitis karena Neisseria meningitidis, juga diberikan antibiotik (misalnya rifampin atau minosiklin).


Anak-anak harus mendapatkan imunisasi rutin dengan vaksin Hemophilus influenzae tipe B, yang membantu mencegah terjadinya meningitis yang paling sering terjadi pada anak-anak.

Baca Selengkapnya - Meningitis Bakterialis

Arsip

0-Asuhan Kebidanan (Dokumen Word-doc) 0-KTI Full Keperawatan (Dokumen Word-doc) Anak Anatomi dan Fisiologi aneh lucu unik menarik Antenatal Care (ANC) Artikel Bahasa Inggris Asuhan Kebidanan Asuhan Keperawatan Komunitas Asuransi Kesehatan Berita Hiburan Berita Terkini Kesehatan Berita Tips Twitter Celeb contoh Daftar Pustaka Contoh KTI Contoh KTI Kebidanan Farmakologi (Farmasi) Gadar-kegawatdaruratan Gizi Handphone Hirschsprung Hukum Kesehatan Humor Segar (Selingan) Imunisasi Info Lowongan Kerja Kesehatan Intranatal Care (INC) Jiwa-Psikiatri kamus medis kesehatan online Kebidanan Fisiologis Kebidanan Patologis Keluarga Berencana (KB) Keperawatan Gerontology Kesehatan Anak (UMUM) Kesehatan Bayi (untuk UMUM) Kesehatan Haji Kesehatan Ibu Hamil (untuk UMUM) Kesehatan Ibu Menyusui (untuk UMUM) Kesehatan Pria (untuk UMUM) Kesehatan Remaja Kesehatan Reproduksi (Kespro) Kesehatan Wanita (untuk UMUM) Koleksi Skripsi Umum Konsep Dasar KTI D-3 Kebidanan KTI Skripsi Keperawatan kumpulan askep Laboratorium Lain-lain Makalah Keperawatan Kebidanan Managemen Kesehatan Mikrobiologi Motivasi Diri Napza dan zat Adiktif Neonatus dan Bayi News Penyakit Menular potensi KLB Penyakit Menular Seksual (PMS) Postnatal Care (PNC) Protap-SOP Psikologi-Psikiater (UMUM) Reformasi Kesehatan Sanitasi (Penyehatan Lingkungan) Satuan Acara Penyuluhan (SAP) Sistem Endokrin Sistem Immunologi Sistem Indera Sistem Integumen Sistem Kardiovaskuler Sistem Muskuloskeletal Sistem Neurologis Sistem Pencernaan Sistem Perkemihan Sistem Pernafasan Surveilans Penyakit Teknologi Tips dan Tricks Seks Tips Facebook Tips Karya Tulis Ilmiah (KTI) Tips Kecantikan Tips Kesehatan Umum Tokoh Kesehatan Tutorial Blogging Youtuber