Cari Blog Ini

askep hiv - aids

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN HIV-AIDS

Konsep Dasar
I.Pengertian
AIDS adalah sindroma yang menunjukkan defisiensi imun seluler pada seseorang tanpa adanya penyebab yang diketahui untuk dapat menerangkan tejadinya defisiensi, tersebut seperti keganasan, obat-obat supresi imun, penyakit infeksi yang sudah dikenal dan sebagainya.

II.Etiologi
Penyebab adalah golongan virus retro yang disebut human immunodeficiency virus (HIV). HIV pertama kali ditemukan pada tahun 1983 sebagai retrovirus dan disebut HIV-1. Pada tahun 1986 di Afrika ditemukan lagi retrovirus baru yang diberi nama HIV-2. HIV-2 dianggap sebagai virus kurang pathogen dibandingkaan dengan HIV-1. Maka untuk memudahkan keduanya disebut HIV.
Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu :
1.Periode jendela. Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Tidak ada gejala.
2.Fase infeksi HIV primer akut. Lamanya 1-2 minggu dengan gejala flu likes illness.
3.Infeksi asimtomatik. Lamanya 1-15 atau lebih tahun dengan gejala tidak ada.
4.Supresi imun simtomatik. Diatas 3 tahun dengan gejala demam, keringat malam hari, B menurun, diare, neuropati, lemah, rash, limfadenopati, lesi mulut.
5.AIDS. Lamanya bervariasi antara 1-5 tahun dari kondisi AIDS pertama kali ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada berbagai system tubuh, dan manifestasi neurologist.
AIDS dapat menyerang semua golongan umur, termasuk bayi, pria maupun wanita. Yang termasuk kelompok resiko tinggi adalah :
1.Lelaki homoseksual atau biseks. 5. Bayi dari ibu/bapak terinfeksi.
2.Orang yang ketagian obat intravena
3.Partner seks dari penderita AIDS
4.Penerima darah atau produk darah (transfusi).
III.Patofisiologi :
















IV.Pemeriksaan Diagnostik
1.Tes untuk diagnosa infeksi HIV :
ELISA
Western blot
P24 antigen test
Kultur HIV
2.Tes untuk deteksi gangguan system imun.
Hematokrit.
LED
CD4 limfosit
Rasio CD4/CD limfosit
Serum mikroglobulin B2
Hemoglobulin


Asuhan Keperawatan
I.Pengkajian.
3.Riwayat : tes HIV positif, riwayat perilaku beresiko tinggi, menggunakan obat-obat.
4.Penampilan umum : pucat, kelaparan.
5.Gejala subyektif : demam kronik, dengan atau tanpa menggigil, keringat malam hari berulang kali, lemah, lelah, anoreksia, BB menurun, nyeri, sulit tidur.
6.Psikososial : kehilangan pekerjaan dan penghasilan, perubahan pola hidup, ungkapkan perasaan takut, cemas, meringis.
7.Status mental : marah atau pasrah, depresi, ide bunuh diri, apati, withdrawl, hilang interest pada lingkungan sekitar, gangguan prooses piker, hilang memori, gangguan atensi dan konsentrasi, halusinasi dan delusi.
8.HEENT : nyeri periorbital, fotophobia, sakit kepala, edem muka, tinitus, ulser pada bibir atau mulut, mulut kering, suara berubah, disfagia, epsitaksis.
9.Neurologis :gangguan refleks pupil, nystagmus, vertigo, ketidakseimbangan , kaku kuduk, kejang, paraplegia.
10.Muskuloskletal : focal motor deifisit, lemah, tidak mampu melakukan ADL.
11.Kardiovaskuler ; takikardi, sianosis, hipotensi, edem perifer, dizziness.
12.Pernapasan : dyspnea, takipnea, sianosis, SOB, menggunakan otot Bantu pernapasan, batuk produktif atau non produktif.
13.GI : intake makan dan minum menurun, mual, muntah, BB menurun, diare, inkontinensia, perut kram, hepatosplenomegali, kuning.
14.Gu : lesi atau eksudat pada genital,
15.Integument : kering, gatal, rash atau lesi, turgor jelek, petekie positif.

II.Diagnosa keperawatan
1.Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupresi, malnutrisi dan pola hidup yang beresiko.
2.Resiko tinggi infeksi (kontak pasien) berhubungan dengan infeksi HIV, adanya infeksi nonopportunisitik yang dapat ditransmisikan.
3.Intolerans aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran oksigen, malnutrisi, kelelahan.
4.Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang kurang, meningkatnya kebutuhan metabolic, dan menurunnya absorbsi zat gizi.
5.Diare berhubungan dengan infeksi GI
6.Tidak efektif koping keluarga berhubungan dengan cemas tentang keadaan yang orang dicintai.

III.Perencanaan keperawatan.
Diagnosa Keperawatan
Perencanaan Keperawatan
Tujuan dan criteria hasil
Intervensi
Rasional
Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupresi, malnutrisi dan pola hidup yang beresiko.

Pasien akan bebas infeksi oportunistik dan komplikasinya dengan kriteria tak ada tanda-tanda infeksi baru, lab tidak ada infeksi oportunis, tanda vital dalam batas normal, tidak ada luka atau eksudat.
1.Monitor tanda-tanda infeksi baru.
2.gunakan teknik aseptik pada setiap tindakan invasif. Cuci tangan sebelum meberikan tindakan.
3.Anjurkan pasien metoda mencegah terpapar terhadap lingkungan yang patogen.
4.Kumpulkan spesimen untuk tes lab sesuai order.
5.Atur pemberian antiinfeksi sesuai order

Untuk pengobatan dini
Mencegah pasien terpapar oleh kuman patogen yang diperoleh di rumah sakit.

Mencegah bertambahnya infeksi


Meyakinkan diagnosis akurat dan pengobatan

Mempertahankan kadar darah yang terapeutik
Resiko tinggi infeksi (kontak pasien) berhubungan dengan infeksi HIV, adanya infeksi nonopportunisitik yang dapat ditransmisikan.

Infeksi HIV tidak ditransmisikan, tim kesehatan memperhatikan universal precautions dengan kriteriaa kontak pasien dan tim kesehatan tidak terpapar HIV, tidak terinfeksi patogen lain seperti TBC.
1.Anjurkan pasien atau orang penting lainnya metode mencegah transmisi HIV dan kuman patogen lainnya.
2.Gunakan darah dan cairan tubuh precaution bial merawat pasien. Gunakan masker bila perlu.

Pasien dan keluarga mau dan memerlukan informasikan ini

Mencegah transimisi infeksi HIV ke orang lain
Intolerans aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran oksigen, malnutrisi, kelelahan.

Pasien berpartisipasi dalam kegiatan, dengan kriteria bebas dyspnea dan takikardi selama aktivitas.
1.Monitor respon fisiologis terhadap aktivitas
2.Berikan bantuan perawatan yang pasien sendiri tidak mampu
3.Jadwalkan perawatan pasien sehingga tidak mengganggu isitirahat.

Respon bervariasi dari hari ke hari

Mengurangi kebutuhan energi

Ekstra istirahat perlu jika karena meningkatkan kebutuhan metabolik
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang kurang, meningkatnya kebutuhan metabolic, dan menurunnya absorbsi zat gizi.

Pasien mempunyai intake kalori dan protein yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan metaboliknya dengan kriteria mual dan muntah dikontrol, pasien makan TKTP, serum albumin dan protein dalam batas n ormal, BB mendekati seperti sebelum sakit.
1.Monitor kemampuan mengunyah dan menelan.
2.Monitor BB, intake dan ouput
3.Atur antiemetik sesuai order
4.Rencanakan diet dengan pasien dan orang penting lainnya.

Intake menurun dihubungkan dengan nyeri tenggorokan dan mulut
Menentukan data dasar
Mengurangi muntah
Meyakinkan bahwa makanan sesuai dengan keinginan pasien

Diare berhubungan dengan infeksi GI

Pasien merasa nyaman dan mengnontrol diare, komplikasi minimal dengan kriteria perut lunak, tidak tegang, feses lunak dan warna normal, kram perut hilang,
1.Kaji konsistensi dan frekuensi feses dan adanya darah.
2.Auskultasi bunyi usus
3.Atur agen antimotilitas dan psilium (Metamucil) sesuai order
4.Berikan ointment A dan D, vaselin atau zinc oside
Mendeteksi adanya darah dalam feses

Hipermotiliti mumnya dengan diare
Mengurangi motilitas usus, yang pelan, emperburuk perforasi pada intestinal
Untuk menghilangkan distensi
Tidak efektif koping keluarga berhubungan dengan cemas tentang keadaan yang orang dicintai.

Keluarga atau orang penting lain mempertahankan suport sistem dan adaptasi terhadap perubahan akan kebutuhannya dengan kriteria pasien dan keluarga berinteraksi dengan cara yang konstruktif
1.Kaji koping keluarga terhadap sakit pasein dan perawatannya
2.Biarkan keluarga mengungkapkana perasaan secara verbal
3.Ajarkan kepada keluaraga tentang penyakit dan transmisinya.

Memulai suatu hubungan dalam bekerja secara konstruktif dengan keluarga.
Mereka tak menyadari bahwa mereka berbicara secara bebas
Menghilangkan kecemasan tentang transmisi melalui kontak sederhana.




Daftar Pustaka

Grimes, E.D, Grimes, R.M, and Hamelik, M, 1991, Infectious Diseases, Mosby Year Book, Toronto.

Christine L. Mudge-Grout, 1992, Immunologic Disorders, Mosby Year Book, St. Louis.

Rampengan dan Laurentz, 1995, Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak, cetakan kedua, EGC, Jakarta.

Lab/UPF Ilmu Penyakit Dalam, 1994, Pedoman Diagnosis dan Terapi, RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

Lyke, Merchant Evelyn, 1992, Assesing for Nursing Diagnosis ; A Human Needs Approach,J.B. Lippincott Company, London.

Phipps, Wilma. et al, 1991, Medical Surgical Nursing : Concepts and Clinical Practice, 4th edition, Mosby Year Book, Toronto

Doengoes, Marilynn, dkk, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan ; Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, edisi 3, alih bahasa : I Made Kariasa dan Ni Made S, EGC, Jakarta
Baca Selengkapnya - askep hiv - aids

ASKEP ANLL/ AML

ASUHAN KEPERAWATAN ANLL / AML

A.Definisi
Acute Nonlymphoid (myelogenous) Leukemia (ANLL atau AML) adalah salah satu jenis leukemia; dimana terjadi proliferasi neoplastik dari sel mieloid (ditemukannnya sel mieloid : granulosit, monosit imatur yang berlebihan). (1,2) AML meliputi leukemia mieloblastik akut, leukemia monoblastik akut, leukemia mielositik akut, leukemia monomieloblastik, dan leukemia granulositik akut (1)

B.Penyebab
Seperti halnya leukemia jenis ALL (Acute Lymphoid Leukemia), etiologi AML sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti, diduga karena virus (virus onkogenik). Faktor lain yang turut berperan adalah :
1.Faktor endogen
Faktor konstitusi seperti kelainan kromosom (resiko terkena AML meningkat pada anak yang terkena Down Sindrom), herediter (kadang-kadang dijumpai kasus leukemia pada kakak beradik atau kembar satu telur).
2.Faktor eksogen
Seperti sinar X, sinar radioaktif, hormon, bahan kimia (Benzol, Arsen, preparat Sulfat), infeksi (virus, bakteri).

C.Tanda dan Gejala
1.Hipertrofi ginggiva
2.Kloroma spinal (lesi massa)
3.Lesi nekrotik atau ulserosa perirekal
4.Hepatomegali dan splenomegali (pada kurang lebih 50% anak)
5.Manifestasi klinik seperti ALL , yaitu
a.Bukti anemia, perdarahan, dan infeksi : demam, letih, pucat, anoreksia, petekia dan perdarahan, nyeri sendi dan tulang, nyeri abdomen yang tidak jelas, berat badan menurun, pembesaran dan fibrosis organ-organ sistem retikuloendotelial (hati , limpa, dan limfonodus)
b.Peningkatan tekanan intrakranial karena infiltrasi meninges : nyeri dan kaku kuduk, sakit kepala, iritabilitas, letargi, muntah, edema papil, koma.
c.Gejala-gejala sistem saraf pusat yang berhubungan dengan bagian sistem yang terkena; kelemahan ekstremitas bawah, kesulitan berkemih, kesulitan belajar, khususnya matematika dan hafalan (efek samping lanjut dari terapi).

D.Patofisiologi dan Pathways
Jaringan pembentuk darah ditandai oleh pergantian sel yang sangat cepat. Normalnya, produksi sel darah tertentu dari prekusor sel stem diatur sesuai kebutuhan tubuh. Apabila mekanisme yang mengatur produksi sel tersebut terganggu, sel akan membelah diri sampai ke tingkat sel yang membahayakan (proliferasi neoplastik). Proliferasi neoplastik dapat terjadi karena kerusakan sumsum tulang akibat radiasi, virus onkogenik, maupun herediter.
Sel polimorfonuklear dan monosit normalnya dibentuk hanya dalam sumsum tulang. Sedangkan limfosit dan sel plasma dihasilkan dalam berbagai organ limfogen (kelenjar limfe, limpa, timus, tonsil). Beberapa sel darah putih yang dibentuk dalam sumsum tulang, khususnya granulosit, disimpan dalam sumsum tulang sampai mereka dibutuhkan dalam sirkulasi. Bila terjadi kerusakan sumsum tulang, misalnya akibat radiasi atau bahan kimia, maka akan terjadi proliferasi sel-sel darah putih yang berlebihan dan imatur. Pada kasus AML, dimulai dengan pembentukan kanker pada sel mielogen muda (bentuk dini neutrofil, monosit, atau lainnya) dalam sumsum tulang dan kemudian menyebar ke seluruh tubuh sehingga sel-sel darah putih dibentuk pada banyak organ ekstra medula.
Sedangkan secara imunologik, patogenesis leukemia dapat diterangkan sebagai berikut. Bila virus dianggap sebagai penyebabnya (virus onkogenik yang mempunyai struktur antigen tertentu), maka virus tersebut dengan mudah akan masuk ke dalam tubuh manusia dan merusak mekanisme proliferasi. Seandainya struktur antigennya sesuai dengan struktur antigen manusia tersebut, maka virus mudah masuk. Bila struktur antigen individu tidak sama dengan struktur antigen virus, maka virus tersebut akan ditolaknya. Struktur antigen ini terbentuk dari struktur antigen dari berbagai alat tubuh, terutama kulit dan selaput lendir yang terletak di permukaan tubuh atau HL-A (Human Leucocyte Locus A). Sistem HL-A diturunkan menurut hukum genetik, sehingga etiologi leukemia sangat erat kaitannya dengan faktor herediter.
Akibat proliferasi mieloid yang neoplastik, maka produksi elemen darah yang lain tertekan karena terjadi kompetisi nutrisi untuk proses metabolisme (terjadi granulositopenia, trombositopenia). Sel-sel leukemia juga menginvasi tulang di sekelilingnya yang menyebabkan nyeri tulang dan cenderung mudah patah tulang. Proliferasi sel leukemia dalam organ mengakibatkan gejala tambahan : nyeri akibat pembesaran limpa atau hati, masalah kelenjar limfa; sakit kepala atau muntah akibat leukemia meningeal.

E.Komplikasi
1.Gagal sumsum tulang
2.Infeksi
3.Koagulasi Intravaskuler Diseminata (KID/DIC)
4.Splenomegali
5.Hepatomegali

F.Pemeriksaan Diagnostik
1.Hitung darah lengkap (CBC). Anak dengan CBC kurang dari 10.000/mm3 saat didiagnosis, memiliki prognosis paling baik. Jumlah leukosit lebih dari 50.000/mm3 adalah tanda prognosis kurang baik pada anak sembarang umur.
2.Pungsi lumbal, untuk mengkaji keterlibatan SSP.
3.Foto thoraks, untuk mendeteksi keterlibatan mediastinum
4.Aspirasi sumsum tulang, ditemuakannya 25% sel blast memperkuat diagnosis.
5.Pemindaian tulang atau survei kerangka, mengkaji keterlibatan tulang.
6.Pemindaian ginjal, hati, dan limpa, mengkaji infiltrat leukemik
7.Jumlah trombosit, menunjukkan kapasitas pembekuan.

G.Penatalaksanaan
Protokol pengobatan bervariasi sesuai jenis leukemia dan jenis obat yang diberikan pada anak. Proses remisi induksi pada anak terdiri dari tiga fase : induksi, konsolidasi, dan rumatan. Selama fase induksi (kira-kira 3 sampai 6 minggu) anak menerima berbagai agens kemoterapi untuk menimbulkan remisi. Periode intensif diperpanjang 2-3 minggu selama fase konsolidasi untuk memberantas keterlibatan sistem syaraf pusat dan oragan vital lain. Terapi rumatan diberikan selama beberapa tahun setelah diagnosis untuk memperpanjang remisi. Beberapa obat yang dipakai untuk leukemia anak-anak adalah prednison, vinkristin, asparaginase, metrotreksat, merkaptopurin, sitarabin, alopurinol, siklofosfamid, dan daunorubisin.

H.Pengkajian Keperawatan
1.Kaji adanya manifestasi klinik AML (kelelahan, nyeri, pucat, anoreksi, perdarahan, penurunan berat badan, letargi, hipertropi ginggiva, ulserosa perirektal, dll)
2.Kaji reaksi anak terhadap kemoterapi : diare, anoreksia, mual, muntah, retensi cairan, hiperuremia, demam, stomatitis, ulkus mulut, alopesia, nyeri, dll
3.Kaji adanya tanda dan gejala infeksi : peningkatan leukosit, demam, peningkatan LED
4.Kaji adanya tanda dan gejala hemoragi
5.Kaji adanya tanda dan gejala komplikasi : somnolens radiasi, gejala SSP, lisis sel.
6.Kaji koping anak dan keluarga.

I.Diagnosa Keperawatan
1.Intoleransi aktivitas
2.Resiko tinggi infeksi
3.Kelebihan volume cairan
4.Kerusakan integritas jaringan
5.Resiko tinggi perubahan nutrisi
6.Resiko tinggi cedera
7.Gangguan citra diri
8.Ansietas
9.Resiko tinggi penurunan curah jantung
10.Resiko tinggi keletihan
11.Resiko tinggi perubahan pertumbuhan dan perkembangan
12.Resiko tinggi perubahan proses keluarga
13.Resiko tinggi penatalaksanaan aturan pengobatan yang tidak efektif



J.Intervensi Keperawatan
1.Pantau anak untuk mengetahui reaksi terhadap pengobatan
2.Pantau adanya tanda dan gejala infeksi :
a.Waspadai bahwa demam adalah tanda yang terpenting dari infeksi
b.Obati semua anak seakan-akan mereka semua menderita neutropeni sampai diperoleh hasil test. Isolasi mereka dari pasien klinik lainnya, terutama anak-anak dengan penyakit infeksi, khususnya varisela.
c.Minta anak tersebut memakai masker bila bersama dengan orang lain dan bila menderita neutropeni berat ( leukosit kurang dari 1000/mm3).
d.Waspadai bahwa jika seorang anak menderita neutropeni, ia tidak boleh menjalani kemoterapi. Anak tsb dapat menerima antibiotik Ivjika demam juga terjadi (lebih banyak pasien yang meninggal karena infeksi daripada karena penyakitnya).
3.Pantau adanya tanda dan gejala hemoragi
a.Periksa adanya memar dan petekia pada kulit
b.Periksa danya mimisan dan gusi berdarah
c.Jika diberi suntikan, tekan bekas tusukan lebih lama dari biasanya (kira-kira 3-5 menit) untuk memastikan perdarahan telah berhenti. Perikas lagi untuk memastikan bahwa tidak ada perdarahan lagi.
4.Pantau adanya tanda gejala komplikasi
a.Somnolens radiasi : dimulai 6 minggu setelah menerima radiasi kraniospinal, anak menunjukkan keletihan berat dan anoreksia selama kira-kira 1-3 minggu. Orang tua sering kali mersa khawatir tentang terjadinya kambuhan pada saat ini dan perlu untuk diyakinkan.
b.Gejala SSP : sakit kepala, penglihatan kabur atau ganda, muntah. Gejala-gejala tersebut dapat mengindikasikan keterlibatan SSP.
c.Gejala pernafasan : batuk, kongesti paru, dispnea. Gejala-gejala tersebut mengindikasikan adanya pneumositis atau infeksi pernafasan lainnya.
d.Lisis sel : lisis sel yang cepat setelah kemoterapi dapat mempengaruhi kimia darah, mengakibatkan peningkatan Kalsium dan Kalium.

5.pantau adanya kekhawatiran dan ansietas tentang diagnosis kanker dan hubungannya dengan pengobatan; pantau respon emosional seperti marah, menyangkal, kesedihan
6.Pantau adanya gangguan dalam fungsi keluarga
a.Dasar semua intervensi pada latar belakang budaya, agama pendidikan, dan sosial ekonomi keluarga
b.Libatkan saudara kandung sebanyak mungkin dalam perawatan karena mereka sangat prihatin terhadap perubahan yang terjadi pada anak yang sakit dan fungsi keluarga
c.Pertimbangkan kemungkinan bahwa saudara kandung merasa bersalah dan disalahkan
d.Tingkatkan keutuhan keluarga dengan memberi kebebasan jam kunjung selama 24 jam bagi semua anggota keluarga.

K.Hasil yang Diharapkan
1.Anak mencapai remisi
2.Anak bebas dari komplikasi penyakit
3.Anak dan keluarga mempelajari tentang koping yang efektif untuk menghadapi hidup dan penatalaksanaan penyakit tersebut.


























REFERENSI

1.Whaley’s and Wong. Essential of Pediatric Nursing. Sixth Edition. USA : Mosby. 2000.
2.Betz, CL & Sowden, LA. Buku Saku Keperawatan Pediatri. Edisi 3. Jakarta : EGC. 2002.
3.Whaley’s and Wong. Clinical Manual of Pediatric Nursing. Edisi 4. USA : Mosby. 2001.
4.Joyce Engel. Pengkajian Pediatrik. Edisi 2. Jakarta : EGC. 1999
5.Brunner& Suddarth. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Vol 2. Jakarta : EGC. 2002.
6.Guyton. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Edisi III. Jakarta : EGC. 1995
Baca Selengkapnya - ASKEP ANLL/ AML

Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya keikutsertaan suami menjadi akseptor keluarga berencana (KB) di desa

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Program keluarga berencana adalah suatu program yang dimaksudkan untuk membantu para pasangan dan perorangan dalam mencapai tujuan reproduksi mereka, mencegah kehamilan yang tidak diinginkan dan mengurangi insidens kehamilan beresiko tinggi, kesakitan dan kematian membuat pelayanan yang bermutu, terjangkau, diterima dan mudah diperoleh bagi semua orang yang membutuhkan, meningkatkan mutu nasehat, komunikasi, informasi, edukasi, konseling, dan pelayanan meningkatkan partisipasi dan tanggung jawab pria dalam praktek KB (BKKBN 2001).
Salah satu usaha dari program KB adalah penjarangan kehamilan dengan menggunakan alat kontrsepsi yaitu suatu alat yang digunakan sebagai upaya untuk mencegah terjadinya kehamilan, pada umumnya metode kontrasepsi terdiri dari metode sedarhana, metode efektif dan metode kontrasepsi mantap. Metode sederhana antara lain terdiri dari senggama terputus, pantang berkala, kondom, diafragma, cream atau jelly, dan cairan berbusa, metode efektif cotohnya yaitu pil KB, Intra Uterine Device (IUD), Suntik dan alat kontrasepsi bawah kulit (AKBK) sedangkan metode kontrasepsi mantap yaitu dengan cara operasi yang terdiri dari metode operasi pria dan metode operasi pada wanita yaitu tubektomi untuk wanita, vasektomi untuk pria (DepKes, 1996).
Pengembangan program KB yang secara resmi dimulai sejak tahun 1970 telah memberikan dampak terhadap penurunan tingkat fertilitas total (TFR) yang cukup menggembirakan, namun partisipasi pria dalam ber KB masih sangat rendah yaitu sekitar 1,3 persen (SDKI 2002-2003). Angka tersebut bila dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya seperti pakistan 5,2% pada tahun 1999, Banglades 13,9% pada tahun 1997, Malaysia 16,8% pada tahun1998 adalah yang terendah (BKKBN, 2001). Hal ini selain disebabkan oleh keterbatasan macam dan jenis alat kontrasepsi pria, juga oleh keterbatasan pengetahuan suami akan hak-hak dan kesehatan reproduksi serta kesehatan dan keadilan gender.
Rendahnya partisipasi pria dalam KB dapat memberikan dampak negatif bagi kaum wanita karena dalam kesehatan reproduksi tidak hanya kaum wanita saja yang selalu berperan aktif, sehingga emansipasi wanita yang telah dipelopori oleh ibu Kartini yang menuntut kesamaan hak antara wanita dan pria menjadi suatu kenyataan dan wanita tidak hanya dijadikan sebagai alat “Pembuat anak dan budak untuk mengurus anak serta seluruh keluarga”. Karena itu perlu sekali kesetaraan dalam kesehatan Reproduksi, kaum pria tidak hanya menjadi “penonton” dan harus ikut andil, belum lagi wanita yang hamil dan melahirkan akan dihadapkan pada bahaya kehamilan dan persalinan (Entjang, 1982).
Berdasarkan data dari BKKBN propinsi Lampung tahun 2005, di Wilayah Kabupaten Lampung Selatan terdapat 232,113 pasangan usia subur (PUS) dengan jumlah peserta KB aktif yang menggunakan alat kontrasepsi kondom 367 (0,23%) dan vasektami (MOP) 2.369 (1,47%) untuk kecamatan natar dengan jumlah PUS 26.972 yang menggunakan alat kontrasepsi kondom sejumlah 54 (0,29%). Dari hasil prasurvey langsung di dapatkan jumlah PUS yang menggunakan vasektomi hanya 7 (0,03%) PUS sedangkan di Desa Haduyang dengan jumlah akseptor KB 857 PUS di dapatkan yang menggunakan alat kontrasepsi kondom hanya 12 PUS dan tidak ada yang menggunakan alat kontraspesi berupa vasektomi.
Pengembangan metode kontrasepsi pria masih jauh tertinggal karena adanya hambatan-hambatan yang ditemukan antara lain kesulitan dalam memperoleh informasi tentang alat kontrasepsi, hambatan medis yang berupa ketersediaan alat maupun ketersediaan tenaga kesehatan, selain itu juga adanya rumor yang beredar di masyarakat mengenai alat kontrasepsi sehingga hal ini menjadi faktor penghambat dalam pengembangan metode kontrasepsi (BKKBN, 2001).
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis ingin mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya keikutsertaan suami menjadi akseptor keluarga berencana (KB) di Desa Haduyang Kecamatan Natar Lampung Selatan pada tahun 2007.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang terdapat pada latar belakang, maka rumusan dalam penelitian ini adalah 'faktor-faktor apakah yang mempengaruhi rendahnya keikutsertaan suami menjadi akseptor keluarga berencana di Desa Haduyang Kecamatan Natar Lampung Selatan?'.

DOWNLOAD KLIK DISINI:
Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya keikutsertaan suami menjadi akseptor keluarga berencana (KB) di desa
Baca Selengkapnya - Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya keikutsertaan suami menjadi akseptor keluarga berencana (KB) di desa

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya mastitis pada ibu postpartum di BPS

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu kegunan kita tentang cinta Tuhan kepada umat-Nya dapat kita rasakan ketika ibu mulai menyusui bayinya dengan ASI (Air Susu Ibu). Proses ini merupakan mukjizat yang harus disyukuri dan dimanfaatkan seoptimal mungkin. Hal ini dapat kita pahami dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa tidak ada makanan di dunia ini yang sesempurna ASI. ASI adalah salah satu jenis makanan yang mencukupi seluruh unsur kebutuhan bayi baik fisik, psikologis, sosial maupun spiritual (Hubertin, 2003).
Menyusui merupakan suatu proses alamiah. Berjuta-juta ibu diseluruh dunia berhasil menyusui bayinya tanpa pernah membaca buku tentang ASI. Seiring dengan perkembangan zaman, terjadi pula peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat sehingga pengetahuan lama yang mendasar seperti menyusui justru kadang terlupakan, menyusui adalah suatu pengetahuan yang selama berjuta-juta tahun mempunyai peran yang penting dalam mempertahankan kehidupan manusia (Roesli, 2000).
Semakin disadari bahwa pengeluaran ASI yang tidak efisien akibat dari teknik menyusui yang buruk, merupakan penyebab penting terjadinya mastitis, tetapi dalam benak banyak petugas kesehatan, mastitis masih dianggap sama dengan infeksi payudara. Mereka sering tidak mampu membantu wanita penderita mastitis untuk terus menyusui, dan mereka bahkan mungkin menyarankan wanita tersebut untuk berhenti menyusui, yang sebenarnya tidak perlu. Mastitis dan abses payudara terjadi pada semua populasi, dengan atau tanpa kebiasaan menyusui. Insiden yang dilaporkan bervariasi dan sedikit sampai 33% wanita menyusui, tetapi biasanya dibawah 10% (WHO, 2003).
Masalah-masalah menyusui yang sering terjadi adalah puting susu lecet/nyeri sekitar 57% dari ibu-ibu yang menyusui dilaporkan pernah menderita kelecetan pada putingnya, payudara bengkak. Payudara bengkak sering terjadi pada hari ketiga dan keempat sesudah ibu melahirkan, karena terdapat sumbatan pada satu atau lebih duktus laktiferus dan mastitis serta abses payudara yang merupakan kelanjutan/komplikasi dari mastitis yang disebabkan karena meluasnya peradangan payudara.Sehingga dapat menyebabkan tidak terlaksananya ASI ekslusif (Soetjiningsih, 1997).
Berdasarkan pra survey yang diperoleh di BPS Dwi Yuliani Seputih Banyak pada Januari -Mei 2007, diperoleh kunjungan ibu yang mengalami mastitis yang menunjukkan adanya gangguan atau masalah dalam menyusui 11 orang (16,17%) dari total ibu postpartum sebanyak 68 orang.
Dari uraian di atas, maka penulis ingin mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya mastitis pada ibu postpartum pada bulan Januari-Mei 2007 di BPS Dwi Yuliani Seputih Banyak.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, maka penulis merumuskan masalah dalam penelitian yaitu “Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya mastitis pada ibu postpartum di BPS Dwi Yuliani Seputih Banyak pada bulan Januari-Mei 2007 ?”.


DOWNLOAD KLIK DISINI:
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya mastitis pada ibu postpartum di BPS
Baca Selengkapnya - Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya mastitis pada ibu postpartum di BPS

Faktor-faktor yang menyebabkan kurangnya akseptor KB kondom di puskesmas

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di dunia Internasional menghadapi masalah pertumbuhan penduduk pada akhir dekade 60-an, selain mempengaruhi strategi dan praktek pembangunan ekonomi kiranya ikut mempengaruhi kebijaksanaan terhadap masalah kependudukan. Problem pertumbuhan penduduk dengan demikian telah menjadi focus persoalan, bahkan mengurangi angka pertumbuhan penduduk dilihat sebagai salah satu kunci dalam menyelesaikan persoalan yang lebih luas,yaitu kemiskinan dan keterbelakangan ialah karena meledaknya penduduk di seluruh dunia telah bertambah lebih dua kali lipat dalam masa satu abad (Juliantoro, 1984 :9)
Sebagai salah satu Negara berkembang, Indonesia tidak luput dari masalah kependudukan , Indonesia menghadapi masalah dengan jumlah kualitas sumberdaya manusia dengan kelahiran 5.000.000 pertahun.Untuk dapat mengangkat derajat kehidupan bangsa telah di laksanankan secara bersamaan pembangunan ekonomi yang merupakan sisi masing-masing mata uang.Bila Gerakan Keluarga Berencana (KB) tidak di lakukan bersamaan dengan pembangunan ekonomi,di khawatirkan hasil pembangunan tidak akan berati (Manuaba,1996 : 437 ). Sejak Pelita V program KB Nasional berubah menjadi Gerakan KB Nasional.Gerakan KB Nasional adalah gerakan masyarakat yang menghimpun dan mengajak segenap potensi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam melembagakan dan membudayakan NKKBS dalam rangka meningkatkan mutu sumber daya Indonesi (Wiknjosastro, 1999 : 902)

Adapun tujuan gerakan KB Nasional menurut Wiknjosastro (1999:902) adalah mewujudkan keluaga kecil bahagia sejahtera yang menjadi dasar bagi terwujudnya masyarakat yang sejahtera melalui pengendalian kelahiran dan pertumbuhan penduduk Indonesia. Sasaran Gerakan KB Nasional ialah (1) Pasangan Usia Subur, dengan proritas PUS muda dengan prioritas rendah (2) Generasi muda dan purna PUS (3) Pelaksana dan pengelola KB dan (4) Sasaran wilayah adalah wilayah dengan laju prtumbuhan penduduk tinggi dan wilayah khusus seperti sentra industri, pemukiman padat, daerah kumuh dan daerah pantai serta terpencil.
Pada umumnya pemerintah di Negara-negara sedang berkembang paling banyak menggunakan metode kontrasepsi yang pemakainya perempuan.Distribusinya adalah pemakai pil 17,1 %,injeksi 15,2 %,IUD 10,3 %,nonplant 4,6 %, tubektomi 3,1 %,vasektomi 0,7 %,dan kondom 0,9 % ( Juliantoro ,1999 : 29 ). Dari begitu beragamnya alat-alat kontrasepsi bagi perempuan menyebabkan banyak anggota masyarakat menganggap bahwa pembatasan kelahiran memang menjadi urusan kaum perempuan,padahal semua kita tahu meskipun kehamilan hanya di alami oleh perempuan akan tetapi kehmilan tidak akn terjadi tanpa adanya sperma laki-laki
(www.yakita.or.id/alat kontrasepsi2.htm). Untuk itulah, pada masa kini,kondom yang merupakan metode kontrasepsi pria yang telah lam di kenal, kembali mendapatkan perhatian baru, baik dalam bidang keluarga berencana maupun dalam bidang lain (Hartanto, 2002 :60).Perkembangan partisipasi pria dalam KB, khususnya kondom, selama kurun waktu 12 tahun terakhir belum memperlihatkan kenaikan bahkan tidak mengalami kenaikan sama sekali.Hal ini dapat dilihat dalam angka-angka pencapaian kondom tahun 1991 sebesar 0,8 % (SDKI 1991).tahun 1994 sebesar 0,9 % tahun 1997 sebesar 0,7 % (SDKI 1997) dan tahun 2003 sebesar 0,9 % (SDKI 2002-2003).

Metode kontrasepsi kondom merupakan metode sederhana yang salah satunya menjadi pilihan untuk menjarangkan kehamilan dengan periode usia akseptor 20-30/35 tahun, dengan jumlah anak 2 orang dan jarak antara kelahiran adalah 2-4 tahun (Wiknjosastro, 1999: 903), dengan memilki kelebihan mudah di pakai, dapat mencegah penularan penyakit kelamin,efek samping hampir tidak ada, relative, murah, kontrasepsi yang tidak mengandung hormon,sederhana,ringan,mudah di dapat, disposable, tidak memerlukan pemeriksaan medis,dan saat ini kondom telah di buat modern, sehingga tidak mengurangi kenikmatan seks (Hartanto, 2002:60). Keuntungan-keuntungan kondom tersebut akan di peroleh kalau kondom di pakai secara benar dan konsisten pada setiap senggama, karena umumnya angka kegagalan yang timbul akibat di sebabkan pemakaian yang tidak benar, tidak konsisten, tidak teratur atau tidak hati-hati ( Hartanto , 2002 : 60 ). Sedangkan pembuatan kondom sendiri padea masa sekarang sudah sangat baik karena harus memenuhi standar tertentu sehingga kualitasnya tidak perlu di ragukan lagi (Llewellyn, 2005 : 110).
Dalam hal memanfaatkan kontrasepsi modern pada masyarakat luas, Jepang merupakan kasus yang menarik, sudah sejak lama cara kontrasepsi yang paling banyak di gunakan di Jepang adalah kondom sebanyak 75,8 % PUS, salah satu alasan dari pemerintah Jepang karena akibat samping terhadap kesehatan akseptor memakai alat kontrasepsi lainnya (Juliantoro, 2000 : 26), sedangkan di Indonesia pemakai alat kontrasepsi adalah perempuan, sedangkan laki-laki jarang.Kini presentase konsumen yang menggunakan kondon tidak sampai 5 %. Penggeseran ini menjadi semakin mendesak terutama bila mengingat pandemic AIDS (Juliantoro, 2000 : 150)
Pada tahun 2003, di Indonesia akseptor KB kondom mencapai 0,46 % (BPS,Statistik Kesejahteraan Rakyat,2003), sedangkan pada tahun 2005 di propinsi Lampung, akseptor KB kondom mencapai 3.260 PUS (0,34 %) dari jumlah PUS 1.380.636.Pada Kota Metro sendiri tahun 2006 jumlah akseptor KB kondom mencapai 106 PUS dari jumlah PUS 24.331. Di Kecamatan Metro Utara terdapat 4 akseptor KB kondom dari jumlah PUS 4.756.( BKKBN Propinsi Lampung : 2005/2006). Berdasarkan prasurvey yang di lakukan oleh penulis pada tanggal 20-22 Maret 2007 di Puskesmas Banjar Sari Kelurahan Banjar Sari di peroleh data dari januari sampai desember 2006 berjumlah 1.877 PUS, peserta KB aktif 1.467 orang dan akseptor KB kondom 2 orang.

DOWNLOAD KLIK DISINI:
Faktor-faktor yang menyebabkan kurangnya akseptor KB kondom di puskesmas
Baca Selengkapnya - Faktor-faktor yang menyebabkan kurangnya akseptor KB kondom di puskesmas

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya pre menstrual syndrom (PMS) pada wanita usia 25-35 tahun di kampung

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pre Menstrual Syndrom (PMS) adalah sekumpulan gejala berupa gangguan fisik dan mental, dialami 7 – 10 hari menjelang menstruasi dan menghilang beberapa hari setelah menstruasi. (Agustin,2004). Penderita Pre Menstrual Syndrom kadang merasa pusing kepala yang terkadang sampai pingsan. (Karyadi,1999).
Pre Menstrual Syndrom merupakan suatu gejala yang sering dialami oleh wanita menjelang menstruasi dangan dampak yang dialami bisa menjadi lebih ringan seperti bingung, pelupa, timbul jerawat ataupun lebih berat seperti diare, konstipasi, insomnia, depresi, bahkan kadang muncul rasa ingin bunuh diri. Sedangkan gangguan mental dapat berupa mudah tersinggung dan sensitif,sedangkan gangguan fisik berupa acne, nyeri perut, pusing, sakit punggung, nyeri payudara. Pre menstrual syndrom bisa membuat penderitanya merasa sangat sengsara.(Agustini,2004)
Survei di Amerika Serikat tahun 1982 menunjukkan bahwa 50% wanita mengalami Pre Menstrual Syndrom (Karyadi, 2007), sedangkan di Indonesia kurang lebih 85% gejala Pre Menstrual Syndrom dialami oleh wanita usia produktif antara usia 25-35 tahun. (Agustini,2007).
Di Kabupaten Lampung Tengah,tepatnya kampung Tanggul Angin diperoleh data jumlah penduduk wanita usia 25 – 35 tahun ada 178 orang. Berdasarkan hasil pra survei yang dilakukan oleh peneliti terhadap 27 orang wanita usia 25-35 tahun, ditemukan 24 orang yang mengalami gejala Pre Menstrual Syndrom dan 3 orang yang tidak mengalami keluhan apapun saat menjelang menstruasi. Menghadapi gejala tersebut mereka merasa resah, cemas, was-was,dan terganggu,mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Pre Menstrual Syndrom belum jelas penyebabnya. Beberapa teori menyebutkan karena faktor hormonal yaitu ketidakseimbangan antara hormon estrogen dan progesteron, stres dan kekurangan gizi serta jumlah kegiatan fisik yang tidak memadai. (Tan, 1996). Faktor-faktor yang turut memperberat Pre Menstrual Syndrom menurut Agustini,(2004) ialah faktor paritas, dan faktor usia. Sedangkan menurut Karyadi (1999) faktor-faktor yang turut memperberat Pre Menstrual Syndrom ialah faktor paritas, usia, diet, kekurangan zat gizi, dan kegiatan fisik.
Uraian di atas melatar belakangi penulis untuk meneliti lebih lanjut tentang faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya Pre Menstrual Syndrom pada wanita usia 25-35 tahun di Kampung Tanggul Angin wilayah Puskesmas Punggur tahun 2007.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah, maka diperoleh rumusan masalah dalam penelitian yaitu “Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi terjadinya Pre Menstrual Syndrom pada wanita usia 25-35 tahun di Kampung Tanggul Angin wilayah Puskesmas Punggur?”

C. Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menetapkan ruang lingkup penelitian sebagai berikut:

DOWNLOAD KLIK DISINI:
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya pre menstrual syndrom (PMS) pada wanita usia 25-35 tahun di kampung
Baca Selengkapnya - Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya pre menstrual syndrom (PMS) pada wanita usia 25-35 tahun di kampung

Gambaran aktivitas seksual wanita menopause di desa

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Menurut (WHO) kesehatan reproduksi merupakan keadaan sehat secara menyeluruh meliputi asfek fisik, mental, sosial dan bukan hanya bebas dari penyakit yang berkaitan dengan sistem reproduksi dan fungsinya, kesehatan reproduksi bukan hanya menambah maslaah kehamilan atau kemandulan, tetapi mencakup seluruh siklus kehidupan seorang wanita dimana dalam menghadapi siklusnya dapat mengalami berbagai problema.
Menurut Mackenzie (1992 : 13) Menopause berasal dari bahasa yunani berarti ”berhentinya haid” dan klimakterium adalah masa peralihan atua anak tangga antara tahun-tahun reproduktif dan menopause sebenarnya.
Menurut At-tharsyah (2001 : 56) Menopause merupakan masa yang kritis dalam kehidupan wanita yang umumnya dimulai pada usia antara 45-55 tahun pada tahun-tahun itu banyak terjadi perubahan fisik maupun psikis pada diri seorang perempuan. Tubuh dan jiwa harus menyesuaikandiri dengan keadaan baru, pada banyak wanita, penyesuaian ini tidak berjalan lancar dan dapat mengakibatkan banyak keluhan, misalnya banyak keringat, jantung berdebar, sakit kepala, mudah tersinggung, cepat merasa lelah dan kurang bersemangat, pada periode inilah biasanya seorang wanita telah merasa dirinya menjadi tua dan takut tidak dapat memenuhi kebutuhan seksual suami.
Hubungan seksual merupakan aktivitas fisik yang juga melibatkan faktor positif, karena itu hubungan seksual memerlukan energi dan secara fisik, tidak berbeda dengan aktivitas fisik yang lain. Hubungan seksual adalah salah satu bentuk ungkapan cinta kasih antara suami istri, juga sebagai sarana komunikasi yang sangat baik untuk mewujudkan keharmonisan sebuah rumah tangga selain untuk mendapatkan keturunan. Dan hubungan seksual juga bertujuan memberikan kepuasan fisik dan mental pada pasangan suami istri. Menurut At-Tharsyah (2001:145)
Pembangunan kesehatan telah meningkatkan status kesehatan dan gizi masyarakat antara lain meningkatkan Umur Harapan Hidup (UHH) di Indonesia dari tahun ketahun, pada tahun 1971 UHH penduduk Indonesia adalah 46,5 tahun dan pada tahun 2005 diperkirakan mencapai 68,2 tahun, disamping itu terjadi pula pergeseran umur menopause dari 46 tahun pada tahun 1980 menjadi 49 tahun pada tahun 2000. (Depkes, 2005)
Jumlah dan proporsi penduduk perempuan yang berusia di atas 50 tahun dan diperkirakan memasuki usia menopause dari tahun ketahun juga mengalami peningkatan yang sangat signifikan, berdasarkan sensus penduduk tahun 2000 jumlah perempuan berusia di atas 50 tahun baru mencapai 15,5 juta orang atau 7,6% dari total penduduk, sedangkan tahun 2020 jumlahnya diperkirakan meningkat menjadi 30,0 juta atau 11,5% dari total penduduk. (Depkes, 2005)
Lebih lanjut ditegaskan, berdasarkan perhitungan statistik, diperkirakan pada tahun 2020 jumlah penduduk Indonesia dan mencapai 262,6 juta jiwa dengan jumlah perempuan yang hidup dalam usia menopause adalah sekitar 30,3 juta jiwa dari jumlah laki-laki, di usia andropause akan mencapai 24,7 jiwa. (Depkes, 2005)
Baca Selengkapnya - Gambaran aktivitas seksual wanita menopause di desa

Arsip

0-Asuhan Kebidanan (Dokumen Word-doc) 0-KTI Full Keperawatan (Dokumen Word-doc) Anak Anatomi dan Fisiologi aneh lucu unik menarik Antenatal Care (ANC) Artikel Bahasa Inggris Asuhan Kebidanan Asuhan Keperawatan Komunitas Asuransi Kesehatan Berita Hiburan Berita Terkini Kesehatan Berita Tips Twitter Celeb contoh Daftar Pustaka Contoh KTI Contoh KTI Kebidanan Farmakologi (Farmasi) Gadar-kegawatdaruratan Gizi Handphone Hirschsprung Hukum Kesehatan Humor Segar (Selingan) Imunisasi Info Lowongan Kerja Kesehatan Intranatal Care (INC) Jiwa-Psikiatri kamus medis kesehatan online Kebidanan Fisiologis Kebidanan Patologis Keluarga Berencana (KB) Keperawatan Gerontology Kesehatan Anak (UMUM) Kesehatan Bayi (untuk UMUM) Kesehatan Haji Kesehatan Ibu Hamil (untuk UMUM) Kesehatan Ibu Menyusui (untuk UMUM) Kesehatan Pria (untuk UMUM) Kesehatan Remaja Kesehatan Reproduksi (Kespro) Kesehatan Wanita (untuk UMUM) Koleksi Skripsi Umum Konsep Dasar KTI D-3 Kebidanan KTI Skripsi Keperawatan kumpulan askep Laboratorium Lain-lain Makalah Keperawatan Kebidanan Managemen Kesehatan Mikrobiologi Motivasi Diri Napza dan zat Adiktif Neonatus dan Bayi News Penyakit Menular potensi KLB Penyakit Menular Seksual (PMS) Postnatal Care (PNC) Protap-SOP Psikologi-Psikiater (UMUM) Reformasi Kesehatan Sanitasi (Penyehatan Lingkungan) Satuan Acara Penyuluhan (SAP) Sistem Endokrin Sistem Immunologi Sistem Indera Sistem Integumen Sistem Kardiovaskuler Sistem Muskuloskeletal Sistem Neurologis Sistem Pencernaan Sistem Perkemihan Sistem Pernafasan Surveilans Penyakit Teknologi Tips dan Tricks Seks Tips Facebook Tips Karya Tulis Ilmiah (KTI) Tips Kecantikan Tips Kesehatan Umum Tokoh Kesehatan Tutorial Blogging Youtuber