- Oleh Sri Supadmi
KEBIJAKAN pemerintah mencegah masyarakat merokok sudah lama dilakukan, antara lain dengan terbitnya UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, ditindaklanjuti dengan PP Nomor 81 Tahun 1999 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan. Bahkan untuk lebih mengefektifkan pelaksanaan pengamanan bagi kesehatan, terbit revisi yaitu PP Nomor 19 Tahun 2003 .
Beberapa daerah pun mengeluarkan perda yang mengatur kawasan be-bas rokok. Aturan itu memang tidak sama antara daerah satu dan lainnya, namun semuanya dalam upaya mencegah merokok. Sampai pertengahan tahun ini, ada 18 provinsi menerapkan aturan mengenai kawasan merokok, termasuk Provinsi Jawa Tengah. Dukungan pencegahan merokok juga datang dari MUI yang dalam fatwanya menyatakan merokok hukumnya haram bagi anak-anak usia di bawah 17 tahun, meski masih banyak ulama belum sepakat dengan fatwa itu.
Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2003 menyebutkan bahwa penyelenggaraan pengamanan rokok bagi kesehatan dilaksanakan dengan pengaturan kandungan kadar nikotin dan tar, persyaratan produksi dan penjualan rokok, persyaratan iklan dan promosi rokok, serta penetapan kawasan tanpa rokok.
Meski PP sudah terbit sejak 1999, ternyata belum efektif. Data Depkes menyebutkan, 70 persen penduduk Indonesia, atau 141,44 juta jiwa, merupakan perokok aktif, dan 60 persen atau 84,84 juta jiwa di antaranya berasal dari masyarakat ekonomi lemah (miskin) (Gatra.com, 02/06/04). Kemudian survei Depkes 2006 menyebutkan sekitar 5% perempuan Indonesia perokok. Usia perokok juga makin muda dengan bukti jumlah pelajar merokok 37,3%. Bahkan dari survei itu, 10 pelajar mengaku kali pertama merokok sebelum usia 10 tahun. (Suara Karya , 31/05/10))
Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa peraturan pencegahan merokok telah dilakukan pemerintah dan diikuti perda di tingkat daerah, kenyataannya jumlah perokok terus bertambah? Apalagi, sosialisasi ke perguruan tinggi mengenai bebas merokok juga dilakukan di seluruh Indonesia.
Ada beberapa hal yang menyebabkan masyarakat masih tetap merokok. Pertama; PP dan perda yang mengatur tentang merokok belum dipahami masyarakat luas. Dana triliunan rupiah yang dikucurkan pemerintah dari cukai rokok untuk sosialisasi, ternyata belum efektif karena sasarannya mahasiswa/perguruan tinggi dan masyarakat umum, sedangkan remaja dan pelajar tidak banyak dilakukannya. Kalaupun dilakukan, frekuensinya sangat kecil. Padahal, pemahaman bahaya merokok sejak kecil sangat diperlukan sebelum anak-anak itu mencoba merokok. Sebab begitu mencoba, mereka bisa ketagihan.
Lebih Mengenal
Kedua; masih banyak kegiatan di masyarakat dengan sponsor produsen rokok, yang pengaruhnya jauh lebih besar dibanding sosialisasi. Bahkan perusahaan rokok biasa menggelar pentas musik atau kegiatan lain yang digemari pelajar dan remaja dengan sponsor iklan produknya. Pengaruh inilah yang lebih besar dibanding sosialisasi yang dilakukan pemerintah. Sekali kegiatan pentas musik dengan sponsor rokok, maka ribuan bahkan puluhan ribu pengunjung hadir, sedangkan sosialisasi hanya diikuti puluhan orang, atau maksimal ratusan orang.
Jadi secara kuantitas, sosialisasi yang berikan pemerintah akan kalah jika ’’perang’’ melawan iklan yang dilakukan perusahaan rokok. Jika dilihat dari angka kehadiran, sosialisasi hanya diikuti mahasiswa atau masyarakat umum (orang dewasa), sedangkan konser musik/show dan kegiatan lainnya yang disponsori perusahaan rokok lebih banyak dihadiri pelajar atau anak-anak muda.
Kemudian, kegiatan dengan iklan rokok lebih mengena sasaran pelajar dan remaja sehingga mereka lebih mengenal rokok, bahkan terdorong mencoba merokok dibanding sosialisasi pada mahasiswa mencegah merokok. Mahasiswa yang sudah biasa merokok sulit menghentikannya karena ketergantungan pada nikotin. Ibarat perang, sosialisasi untuk tidak merokok tidak akan menang dengan serbuan iklan rokok sehingga tidak aneh jika jumlah perokok di negara kita meningkat tiap tahun. Untuk itu, yang penting sekarang ini, selain meningkatkan sosialisasi PP dan perda, pemerintah perlu menggalakkan sosialisasi bahaya merokok pada pelajar di sekolah. (10)
— Sri Supadmi SPd, guru IPA SMP Negeri 8 Pekalongan
Sumber: http://suaramerdeka.com/
Beberapa daerah pun mengeluarkan perda yang mengatur kawasan be-bas rokok. Aturan itu memang tidak sama antara daerah satu dan lainnya, namun semuanya dalam upaya mencegah merokok. Sampai pertengahan tahun ini, ada 18 provinsi menerapkan aturan mengenai kawasan merokok, termasuk Provinsi Jawa Tengah. Dukungan pencegahan merokok juga datang dari MUI yang dalam fatwanya menyatakan merokok hukumnya haram bagi anak-anak usia di bawah 17 tahun, meski masih banyak ulama belum sepakat dengan fatwa itu.
Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2003 menyebutkan bahwa penyelenggaraan pengamanan rokok bagi kesehatan dilaksanakan dengan pengaturan kandungan kadar nikotin dan tar, persyaratan produksi dan penjualan rokok, persyaratan iklan dan promosi rokok, serta penetapan kawasan tanpa rokok.
Meski PP sudah terbit sejak 1999, ternyata belum efektif. Data Depkes menyebutkan, 70 persen penduduk Indonesia, atau 141,44 juta jiwa, merupakan perokok aktif, dan 60 persen atau 84,84 juta jiwa di antaranya berasal dari masyarakat ekonomi lemah (miskin) (Gatra.com, 02/06/04). Kemudian survei Depkes 2006 menyebutkan sekitar 5% perempuan Indonesia perokok. Usia perokok juga makin muda dengan bukti jumlah pelajar merokok 37,3%. Bahkan dari survei itu, 10 pelajar mengaku kali pertama merokok sebelum usia 10 tahun. (Suara Karya , 31/05/10))
Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa peraturan pencegahan merokok telah dilakukan pemerintah dan diikuti perda di tingkat daerah, kenyataannya jumlah perokok terus bertambah? Apalagi, sosialisasi ke perguruan tinggi mengenai bebas merokok juga dilakukan di seluruh Indonesia.
Ada beberapa hal yang menyebabkan masyarakat masih tetap merokok. Pertama; PP dan perda yang mengatur tentang merokok belum dipahami masyarakat luas. Dana triliunan rupiah yang dikucurkan pemerintah dari cukai rokok untuk sosialisasi, ternyata belum efektif karena sasarannya mahasiswa/perguruan tinggi dan masyarakat umum, sedangkan remaja dan pelajar tidak banyak dilakukannya. Kalaupun dilakukan, frekuensinya sangat kecil. Padahal, pemahaman bahaya merokok sejak kecil sangat diperlukan sebelum anak-anak itu mencoba merokok. Sebab begitu mencoba, mereka bisa ketagihan.
Lebih Mengenal
Kedua; masih banyak kegiatan di masyarakat dengan sponsor produsen rokok, yang pengaruhnya jauh lebih besar dibanding sosialisasi. Bahkan perusahaan rokok biasa menggelar pentas musik atau kegiatan lain yang digemari pelajar dan remaja dengan sponsor iklan produknya. Pengaruh inilah yang lebih besar dibanding sosialisasi yang dilakukan pemerintah. Sekali kegiatan pentas musik dengan sponsor rokok, maka ribuan bahkan puluhan ribu pengunjung hadir, sedangkan sosialisasi hanya diikuti puluhan orang, atau maksimal ratusan orang.
Jadi secara kuantitas, sosialisasi yang berikan pemerintah akan kalah jika ’’perang’’ melawan iklan yang dilakukan perusahaan rokok. Jika dilihat dari angka kehadiran, sosialisasi hanya diikuti mahasiswa atau masyarakat umum (orang dewasa), sedangkan konser musik/show dan kegiatan lainnya yang disponsori perusahaan rokok lebih banyak dihadiri pelajar atau anak-anak muda.
Kemudian, kegiatan dengan iklan rokok lebih mengena sasaran pelajar dan remaja sehingga mereka lebih mengenal rokok, bahkan terdorong mencoba merokok dibanding sosialisasi pada mahasiswa mencegah merokok. Mahasiswa yang sudah biasa merokok sulit menghentikannya karena ketergantungan pada nikotin. Ibarat perang, sosialisasi untuk tidak merokok tidak akan menang dengan serbuan iklan rokok sehingga tidak aneh jika jumlah perokok di negara kita meningkat tiap tahun. Untuk itu, yang penting sekarang ini, selain meningkatkan sosialisasi PP dan perda, pemerintah perlu menggalakkan sosialisasi bahaya merokok pada pelajar di sekolah. (10)
— Sri Supadmi SPd, guru IPA SMP Negeri 8 Pekalongan
Sumber: http://suaramerdeka.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar