Sampel adalah sebagian dari populasi.  Artinya tidak akan ada sampel jika tidak ada populasi. Populasi adalah  keseluruhan elemen atau unsur yang akan kita teliti. Penelitian yang  dilakukan atas seluruh elemen dinamakan sensus. Idealnya, agar hasil  penelitiannya lebih bisa dipercaya, seorang peneliti harus melakukan  sensus. Namun karena sesuatu hal peneliti bisa tidak meneliti  keseluruhan elemen tadi, maka yang bisa dilakukannya adalah meneliti  sebagian dari keseluruhan elemen atau unsur tadi. 
Berbagai alasan yang masuk akal mengapa peneliti tidak  melakukan sensus antara lain adalah,(a) populasi demikian banyaknya  sehingga dalam prakteknya tidak mungkin seluruh elemen diteliti; (b)  keterbatasan waktu penelitian, biaya, dan sumber daya manusia, membuat  peneliti harus telah puas jika meneliti sebagian dari elemen penelitian;  (c) bahkan kadang, penelitian yang dilakukan terhadap sampel bisa lebih  reliabel daripada terhadap populasi – misalnya, karena elemen  sedemikian banyaknya maka akan memunculkan kelelahan fisik dan mental  para pencacahnya sehingga banyak terjadi kekeliruan. (Uma Sekaran,  1992); (d) demikian pula jika elemen populasi homogen, penelitian  terhadap seluruh elemen dalam populasi menjadi tidak masuk akal,  misalnya untuk meneliti kualitas jeruk dari satu pohon jeruk    
Agar hasil penelitian yang dilakukan terhadap sampel masih  tetap bisa dipercaya dalam artian masih bisa mewakili karakteristik  populasi,  maka cara penarikan sampelnya harus dilakukan secara seksama.  Cara pemilihan sampel dikenal dengan nama teknik sampling atau teknik  pengambilan sampel .         
Populasi atau universe adalah  sekelompok orang, kejadian, atau benda, yang dijadikan obyek penelitian.  Jika yang ingin diteliti adalah sikap konsumen terhadap satu produk  tertentu, maka populasinya adalah seluruh konsumen produk tersebut. Jika  yang diteliti adalah laporan keuangan perusahaan “X”, maka populasinya  adalah keseluruhan laporan keuangan perusahaan “X” tersebut, Jika yang  diteliti adalah motivasi pegawai di departemen “A” maka populasinya  adalah seluruh pegawai di departemen “A”. Jika yang diteliti adalah  efektivitas gugus kendali mutu (GKM) organisasi “Y”, maka populasinya  adalah seluruh GKM organisasi “Y”
Elemen/unsur adalah setiap satuan  populasi. Kalau dalam populasi terdapat 30 laporan keuangan, maka setiap  laporan keuangan tersebut adalah unsur atau elemen penelitian. Artinya  dalam populasi tersebut terdapat 30 elemen penelitian. Jika populasinya  adalah pabrik sepatu, dan jumlah pabrik sepatu 500, maka dalam populasi  tersebut terdapat 500 elemen penelitian.
Syarat sampel  yang baik
       Secara umum,  sampel yang baik adalah yang dapat mewakili sebanyak mungkin  karakteristik populasi. Dalam bahasa pengukuran, artinya sampel harus  valid, yaitu bisa mengukur sesuatu yang seharusnya diukur. Kalau yang  ingin diukur adalah masyarakat Sunda sedangkan yang dijadikan sampel  adalah hanya orang Banten saja, maka sampel tersebut tidak valid, karena  tidak mengukur sesuatu yang seharusnya diukur (orang Sunda). Sampel  yang valid ditentukan oleh dua pertimbangan.
Pertama : Akurasi atau ketepatan , yaitu  tingkat ketidakadaan “bias” (kekeliruan) dalam sample. Dengan kata lain  makin sedikit tingkat kekeliruan yang ada dalam sampel, makin akurat  sampel tersebut. Tolok ukur adanya “bias” atau kekeliruan  adalah  populasi. 
Cooper dan Emory (1995) menyebutkan bahwa  “there is no systematic variance” yang maksudnya adalah tidak ada  keragaman pengukuran yang disebabkan karena pengaruh yang diketahui atau  tidak diketahui, yang menyebabkan skor cenderung mengarah pada satu  titik tertentu. Sebagai contoh, jika ingin mengetahui rata-rata luas  tanah suatu perumahan, lalu yang dijadikan sampel adalah rumah yang  terletak di setiap sudut jalan, maka hasil atau skor yang diperoleh akan  bias. Kekeliruan semacam ini bisa terjadi pada sampel yang diambil  secara sistematis
      Contoh systematic variance yang  banyak ditulis dalam buku-buku metode penelitian adalah jajak-pendapat  (polling) yang dilakukan oleh Literary Digest (sebuah majalah yang  terbit di Amerika tahun 1920-an) pada tahun 1936. (Copper & Emory,  1995, Nan lin, 1976). Mulai tahun 1920, 1924, 1928, dan tahun 1932  majalah ini berhasil memprediksi siapa yang akan jadi presiden dari  calon-calon presiden yang ada. Sampel diambil berdasarkan petunjuk dalam  buku telepon dan dari daftar pemilik mobil. Namun pada tahun 1936  prediksinya salah. Berdasarkan jajak pendapat, di antara dua calon  presiden (Alfred M. Landon dan Franklin D. Roosevelt), yang akan menang  adalah Landon, namun meleset karena ternyata Roosevelt yang terpilih  menjadi presiden Amerika.
Belum pernah ada sampel yang bisa mewakili  karakteristik populasi sepenuhnya. Oleh karena itu dalam setiap  penarikan sampel senantiasa melekat keasalahan-kesalahan, yang dikenal  dengan nama “sampling error” Presisi diukur oleh simpangan baku  (standard error). Makin kecil perbedaan di antara simpangan baku yang  diperoleh dari sampel (S) dengan simpangan baku dari populasi (, makin  tinggi pula tingkat presisinya. Walau tidak selamanya, tingkat presisi  mungkin  bisa meningkat dengan cara menambahkan jumlah sampel, karena  kesalahan mungkin bisa berkurang kalau jumlah sampelnya ditambah (  Kerlinger, 1973 ). Dengan contoh di atas tadi, mungkin saja perbedaan  rata-rata di antara populasi dengan sampel bisa lebih sedikit, jika  sampel yang ditariknya ditambah. Katakanlah dari 50 menjadi 75.
Ukuran sampel 
          Ukuran sampel atau jumlah sampel yang diambil menjadi persoalan  yang penting manakala jenis penelitian yang akan dilakukan adalah  penelitian yang menggunakan analisis kuantitatif. Pada penelitian yang  menggunakan analisis kualitatif, ukuran sampel bukan menjadi nomor satu,  karena yang dipentingkan alah kekayaan informasi. Walau jumlahnya  sedikit tetapi jika kaya akan informasi, maka sampelnya lebih  bermanfaat.
         Dikaitkan  dengan besarnya sampel, selain tingkat kesalahan, ada lagi beberapa  faktor lain yang perlu memperoleh pertimbangan yaitu, (1) derajat  keseragaman, (2) rencana analisis, (3) biaya, waktu, dan tenaga yang  tersedia . (Singarimbun dan Effendy, 1989). Makin tidak seragam sifat  atau karakter setiap elemen populasi, makin banyak sampel yang harus  diambil.  Jika rencana analisisnya mendetail atau rinci maka jumlah  sampelnya pun harus banyak. Misalnya di samping ingin mengetahui sikap  konsumen terhadap kebijakan perusahaan, peneliti juga bermaksud  mengetahui hubungan antara sikap dengan tingkat pendidikan. Agar tujuan  ini dapat tercapai maka sampelnya harus terdiri atas berbagai jenjang  pendidikan SD, SLTP. SMU, dan seterusnya.. Makin sedikit waktu, biaya ,  dan tenaga yang dimiliki peneliti, makin sedikit pula sampel yang bisa  diperoleh. Perlu dipahami bahwa apapun alasannya, penelitian haruslah  dapat dikelola dengan baik (manageable).
          Misalnya, jumlah bank yang dijadikan populasi  penelitian ada 400 buah. Pertanyaannya adalah, berapa bank yang harus  diambil menjadi sampel agar hasilnya mewakili populasi?. 30?, 50? 100?  250?. Jawabnya tidak mudah. Ada yang mengatakan, jika ukuran populasinya  di atas 1000, sampel sekitar 10 % sudah cukup, tetapi jika ukuran  populasinya sekitar 100, sampelnya paling sedikit 30%, dan kalau ukuran  populasinya 30, maka sampelnya harus 100%. 
          Ada pula yang menuliskan, untuk penelitian  deskriptif, sampelnya 10% dari populasi, penelitian korelasional, paling  sedikit 30 elemen populasi, penelitian perbandingan kausal, 30 elemen  per kelompok, dan untuk penelitian eksperimen 15 elemen per kelompok  (Gay dan Diehl, 1992).
           Roscoe (1975) dalam Uma Sekaran (1992)  memberikan pedoman penentuan  jumlah sampel sebagai berikut :
1. Sebaiknya ukuran sampel di antara 30  s/d 500 elemen
2. Jika sampel dipecah lagi ke dalam  subsampel (laki/perempuan, SD?SLTP/SMU, dsb), jumlah minimum subsampel  harus 30
3. Pada penelitian multivariate (termasuk  analisis regresi multivariate) ukuran sampel harus beberapa kali lebih  besar (10 kali) dari jumlah variable yang akan dianalisis.
4. Untuk  penelitian eksperimen yang sederhana, dengan pengendalian yang ketat,  ukuran sampel bisa antara 10 s/d 20 elemen.
Teknik-teknik  pengambilan sampel
        Secara umum, ada dua jenis teknik pengambilan sampel yaitu, sampel acak  atau random sampling / probability sampling, dan sampel tidak acak atau  nonrandom samping/nonprobability sampling. Yang dimaksud dengan random  sampling adalah cara pengambilan sampel yang memberikan kesempatan yang  sama untuk diambil kepada setiap elemen populasi. Artinya jika elemen  populasinya ada 100 dan yang akan dijadikan sampel adalah 25, maka  setiap elemen tersebut mempunyai kemungkinan 25/100 untuk bisa dipilih  menjadi sampel. Sedangkan yang dimaksud dengan nonrandom sampling atau  nonprobability sampling, setiap elemen populasi tidak mempunyai  kemungkinan yang sama untuk dijadikan sampel. Lima elemen populasi  dipilih sebagai sampel karena letaknya dekat dengan rumah peneliti,  sedangkan yang lainnya, karena jauh, tidak dipilih; artinya  kemungkinannya 0 (nol).
          Dua jenis teknik pengambilan sampel di atas mempunyai tujuan yang  berbeda. Jika peneliti ingin hasil penelitiannya bisa dijadikan ukuran  untuk mengestimasikan populasi, atau istilahnya adalah melakukan  generalisasi maka seharusnya sampel representatif dan diambil secara  acak. Namun jika peneliti tidak mempunyai kemauan melakukan generalisasi  hasil penelitian maka sampel bisa diambil secara tidak acak. Sampel  tidak acak biasanya juga diambil jika peneliti tidak mempunyai data  pasti tentang ukuran populasi dan informasi lengkap tentang setiap  elemen populasi. Contohnya, jika yang diteliti populasinya adalah  konsumen teh botol, kemungkinan besar peneliti tidak mengetahui dengan  pasti berapa jumlah konsumennya, dan juga karakteristik konsumen. Karena  dia tidak mengetahui ukuran pupulasi yang tepat, bisakah dia mengatakan  bahwa 200 konsumen sebagai sampel dikatakan “representatif”?. Kemudian,  bisakah peneliti  memilih sampel secara acak, jika tidak ada informasi  yang cukup lengkap tentang diri konsumen?. Dalam situasi yang demikian,  pengambilan sampel dengan cara acak tidak dimungkinkan, maka tidak ada  pilihan lain kecuali sampel diambil dengan cara tidak acak atau  nonprobability sampling, namun dengan konsekuensi hasil penelitiannya  tersebut tidak bisa digeneralisasikan. Jika ternyata dari 200 konsumen  teh botol tadi merasa kurang puas, maka peneliti tidak bisa mengatakan  bahwa sebagian besar konsumen teh botol merasa kurang puas terhadap the  botol.
         Di setiap jenis  teknik pemilihan tersebut, terdapat beberapa teknik yang lebih spesifik  lagi. Pada sampel acak (random sampling) dikenal dengan istilah simple  random sampling, stratified random sampling, cluster sampling,  systematic sampling, dan area sampling. Pada nonprobability sampling  dikenal beberapa teknik, antara lain adalah convenience sampling,  purposive sampling, quota sampling, snowball sampling
Probability/Random  Sampling.
       Syarat  pertama yang harus dilakukan untuk mengambil sampel secara acak adalah  memperoleh atau membuat kerangka sampel atau dikenal dengan nama  “sampling frame”. Yang dimaksud dengan  kerangka sampling adalah daftar  yang berisikan setiap elemen populasi yang bisa diambil sebagai sampel.  Elemen populasi bisa berupa data tentang orang/binatang, tentang  kejadian, tentang tempat, atau juga tentang benda. Jika populasi  penelitian adalah mahasiswa perguruan tinggi “A”, maka peneliti harus  bisa memiliki daftar semua mahasiswa yang terdaftar di perguruan tinggi  “A “ tersebut selengkap mungkin. Nama, NRP, jenis kelamin, alamat, usia,  dan informasi lain yang berguna bagi penelitiannya.. Dari daftar ini,  peneliti akan bisa secara pasti mengetahui jumlah populasinya (N). Jika  populasinya adalah rumah tangga dalam sebuah kota, maka peneliti harus  mempunyai daftar seluruh rumah tangga kota tersebut.  Jika populasinya  adalah wilayah Jawa Barat, maka penelti harus mepunyai peta wilayah Jawa  Barat secara lengkap. Kabupaten, Kecamatan, Desa, Kampung. Lalu setiap  tempat tersebut diberi kode (angka atau simbol) yang berbeda satu sama  lainnya.
        Di samping  sampling frame, peneliti juga harus mempunyai alat yang bisa dijadikan  penentu sampel. Dari sekian elemen populasi, elemen mana saja yang bisa  dipilih menjadi sampel?. Alat yang umumnya digunakan adalah Tabel Angka  Random, kalkulator, atau  undian. Pemilihan sampel secara acak bisa  dilakukan melalui sistem undian jika elemen populasinya tidak begitu  banyak. Tetapi jika sudah ratusan, cara undian bisa mengganggu konsep  “acak” atau “random” itu sendiri.
1.
Simple Random Sampling atau Sampel Acak Sederhana
Simple Random Sampling atau Sampel Acak Sederhana
Cara atau teknik ini dapat dilakukan jika  analisis penelitiannya cenderung deskriptif dan bersifat umum. Perbedaan  karakter yang mungkin ada pada setiap unsur atau elemen  populasi tidak  merupakan hal yang penting bagi rencana analisisnya. Misalnya, dalam  populasi ada wanita dan pria, atau ada yang kaya dan yang miskin, ada  manajer dan bukan manajer, dan perbedaan-perbedaan lainnya.  Selama  perbedaan gender, status kemakmuran, dan kedudukan dalam organisasi,  serta perbedaan-perbedaan lain tersebut bukan merupakan sesuatu hal yang  penting dan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap hasil  penelitian, maka peneliti dapat mengambil sampel secara acak sederhana.  Dengan demikian setiap unsur populasi harus mempunyai kesempatan sama  untuk bisa dipilih menjadi sampel. Prosedurnya :
1. Susun  “sampling frame”
2. Tetapkan jumlah sampel yang akan  diambil
3. Tentukan alat pemilihan sampel
4. Pilih  sampel sampai dengan jumlah terpenuhi
2. Stratified Random Sampling  atau Sampel Acak Distratifikasikan
Karena unsur populasi berkarakteristik heterogen, dan  heterogenitas tersebut mempunyai arti yang signifikan pada pencapaian  tujuan penelitian, maka peneliti dapat mengambil sampel dengan cara ini.  Misalnya, seorang peneliti ingin mengetahui sikap manajer terhadap satu  kebijakan perusahaan. Dia menduga bahwa manajer tingkat atas cenderung  positif sikapnya terhadap kebijakan perusahaan tadi. Agar dapat menguji  dugaannya tersebut maka sampelnya harus terdiri atas paling tidak para  manajer tingkat atas, menengah, dan bawah. Dengan teknik pemilihan  sampel secara random distratifikasikan, maka dia akan memperoleh manajer  di ketiga tingkatan tersebut, yaitu stratum manajer atas, manajer  menengah dan manajer bawah. Dari setiap stratum tersebut dipilih sampel  secara acak. Prosedurnya :
1. Siapkan “sampling frame”
2. Bagi  sampling frame tersebut berdasarkan strata yang dikehendaki
3. Tentukan  jumlah sampel dalam setiap stratum
4. Pilih sampel dari  setiap stratum secara acak.
Pada  saat menentukan jumlah sampel dalam setiap stratum, peneliti dapat  menentukan secara (a) proposional, (b) tidak proposional. Yang dimaksud  dengan proposional adalah jumlah sampel dalam setiap stratum sebanding  dengan jumlah unsur populasi dalam stratum tersebut. Misalnya, untuk  stratum manajer tingkat atas (I) terdapat 15 manajer, tingkat menengah  ada 45 manajer (II), dan manajer tingkat bawah (III) ada 100 manajer.  Artinya jumlah seluruh manajer adalah 160. Kalau jumlah sampel yang akan  diambil seluruhnya 100 manajer, maka  untuk stratum I diambil  (15:160)x100 = 9 manajer, stratum II = 28 manajer, dan stratum 3 = 63  manajer.
Jumlah dalam setiap  stratum tidak proposional. Hal ini terjadi jika jumlah unsur atau elemen  di salah satu atau beberapa stratum sangat sedikit. Misalnya saja,  kalau dalam stratum manajer kelas atas (I) hanya ada 4 manajer, maka  peneliti bisa mengambil semua manajer dalam stratum tersebut , dan untuk  manajer tingkat menengah (II) ditambah 5, sedangkan manajer tingat  bawah (III), tetap 63 orang.
3. Cluster Sampling atau Sampel  Gugus
Teknik ini biasa juga  diterjemahkan dengan cara pengambilan sampel berdasarkan gugus. Berbeda  dengan teknik pengambilan sampel acak yang distratifikasikan, di mana  setiap unsur dalam satu stratum memiliki karakteristik yang homogen  (stratum A : laki-laki semua, stratum B : perempuan semua), maka dalam  sampel gugus, setiap gugus boleh mengandung unsur yang karakteristiknya  berbeda-beda atau heterogen. Misalnya, dalam satu organisasi terdapat  100 departemen. Dalam setiap departemen terdapat banyak pegawai dengan  karakteristik berbeda pula. Beda jenis kelaminnya, beda tingkat  pendidikannya, beda tingkat pendapatnya, beda tingat manajerialnnya, dan  perbedaan-perbedaan lainnya. Jika peneliti bermaksud mengetahui tingkat  penerimaan para pegawai terhadap suatu strategi yang segera diterapkan  perusahaan, maka peneliti dapat menggunakan cluster sampling untuk  mencegah terpilihnya sampel hanya dari satu atau dua departemen saja.  Prosedur :
1. Susun sampling frame berdasarkan gugus  – Dalam kasus di atas, elemennya ada 100 departemen.
2. Tentukan  berapa gugus yang akan diambil sebagai sampel
3. Pilih  gugus sebagai sampel dengan cara acak
4. Teliti setiap  pegawai yang ada dalam gugus sample
4. Systematic  Sampling atau Sampel Sistematis
Jika peneliti dihadapkan pada ukuran populasi yang banyak dan  tidak memiliki alat pengambil data secara random, cara pengambilan  sampel sistematis dapat digunakan. Cara ini menuntut kepada peneliti  untuk memilih unsur populasi secara sistematis, yaitu unsur populasi  yang bisa dijadikan sampel adalah yang “keberapa”.  Misalnya, setiap  unsur populasi yang keenam, yang bisa dijadikan sampel. Soal  “keberapa”-nya satu unsur populasi bisa dijadikan sampel tergantung pada   ukuran populasi dan ukuran sampel. Misalnya, dalam satu populasi  terdapat 5000 rumah. Sampel yang akan diambil adalah 250 rumah dengan  demikian interval di antara sampel kesatu, kedua, dan seterusnya adalah  25. Prosedurnya :
5. Susun sampling frame
6. Tetapkan  jumlah sampel yang ingin diambil
7. Tentukan K (kelas interval)
8. Tentukan  angka atau nomor awal di antara kelas interval tersebut secara acak  atau random – biasanya melalui cara undian saja.
9. Mulailah  mengambil sampel dimulai dari angka atau nomor awal yang terpilih.
10. Pilihlah  sebagai sampel angka atau nomor interval berikutnya
4.Area  Sampling atau Sampel Wilayah
Teknik  ini dipakai ketika peneliti dihadapkan pada situasi bahwa populasi  penelitiannya tersebar di berbagai wilayah. Misalnya, seorang marketing  manajer sebuah stasiun TV ingin mengetahui tingkat penerimaan masyarakat  Jawa Barat atas sebuah mata tayangan, teknik pengambilan sampel dengan  area sampling sangat tepat. Prosedurnya :
1. Susun sampling frame  yang menggambarkan peta wilayah (Jawa Barat) – Kabupaten, Kotamadya,  Kecamatan, Desa.
2. Tentukan wilayah yang akan dijadikan  sampel (Kabupaten ?, Kotamadya?, Kecamatan?, Desa?)
3. Tentukan  berapa wilayah yang akan dijadikan sampel penelitiannya.
4. Pilih  beberapa wilayah untuk dijadikan sampel dengan cara acak atau random.
5. Kalau  ternyata masih terlampau banyak responden yang harus diambil datanya,  bagi lagi wilayah yang terpilih ke dalam sub wilayah.
Nonprobability/Nonrandom  Sampling atau Sampel Tidak Acak
        Seperti telah diuraikan sebelumnya, jenis sampel ini  tidak dipilih secara acak. Tidak semua unsur atau elemen populasi  mempunyai kesempatan sama untuk bisa dipilih menjadi sampel. Unsur  populasi yang terpilih menjadi sampel bisa disebabkan karena kebetulan  atau karena faktor lain yang sebelumnya sudah direncanakan oleh  peneliti. 
1.
Convenience Sampling atau sampel yang dipilih dengan pertimbangan kemudahan.
Convenience Sampling atau sampel yang dipilih dengan pertimbangan kemudahan.
Dalam  memilih sampel, peneliti tidak mempunyai pertimbangan lain kecuali  berdasarkan kemudahan saja. Seseorang diambil sebagai sampel karena  kebetulan orang tadi ada di situ atau kebetulan dia mengenal orang  tersebut. Oleh karena itu ada beberapa penulis menggunakan istilah  accidental sampling – tidak disengaja – atau juga captive sample   (man-on-the-street) Jenis sampel ini sangat baik jika dimanfaatkan  untuk penelitian penjajagan, yang kemudian diikuti oleh penelitian  lanjutan yang sampelnya diambil secara acak (random). Beberapa kasus  penelitian yang menggunakan jenis sampel ini,  hasilnya ternyata kurang  obyektif. 
2.
Purposive Sampling
Purposive Sampling
Sesuai dengan namanya, sampel diambil dengan maksud atau  tujuan tertentu. Seseorang atau sesuatu diambil sebagai sampel karena  peneliti menganggap bahwa seseorang atau sesuatu tersebut memiliki  informasi yang diperlukan bagi penelitiannya. Dua jenis sampel ini  dikenal dengan nama judgement dan quota sampling.
1.  Judgment Sampling
Sampel  dipilih berdasarkan penilaian peneliti bahwa dia adalah pihak yang  paling baik untuk dijadikan sampel penelitiannya.. Misalnya untuk  memperoleh data tentang bagaimana satu proses produksi direncanakan oleh  suatu perusahaan, maka manajer produksi merupakan orang yang terbaik  untuk bisa memberikan informasi. Jadi, judment sampling umumnya memilih  sesuatu atau seseorang menjadi sampel karena mereka mempunyai  “information rich”.
Dalam program  pengembangan produk (product development), biasanya yang dijadikan  sampel adalah karyawannya sendiri, dengan pertimbangan bahwa kalau  karyawan sendiri tidak puas terhadap produk baru yang akan dipasarkan,  maka jangan terlalu berharap pasar akan menerima produk itu dengan baik.  (Cooper dan Emory, 1992).
2. Quota Sampling
Teknik sampel ini adalah bentuk dari sampel  distratifikasikan secara proposional, namun tidak dipilih secara acak  melainkan secara kebetulan saja.
Misalnya,  di sebuah kantor terdapat pegawai laki-laki 60%  dan perempuan 40% .  Jika seorang peneliti ingin mewawancari 30 orang pegawai dari kedua  jenis kelamin tadi maka dia harus mengambil sampel pegawai laki-laki  sebanyak 18 orang sedangkan pegawai perempuan 12 orang. Sekali lagi,  teknik pengambilan ketiga puluh sampel tadi tidak dilakukan secara acak,  melainkan secara kebetulan saja.
3. Snowball Sampling – Sampel Bola  Salju
Cara ini banyak dipakai  ketika peneliti tidak banyak tahu tentang populasi penelitiannya. Dia  hanya tahu satu atau dua orang yang berdasarkan penilaiannya bisa  dijadikan sampel. Karena peneliti menginginkan lebih banyak lagi, lalu  dia minta kepada sampel pertama untuk menunjukan orang lain yang  kira-kira bisa dijadikan sampel. Misalnya, seorang peneliti ingin  mengetahui pandangan kaum lesbian terhadap lembaga perkawinan. Peneliti  cukup mencari satu orang wanita lesbian dan kemudian melakukan  wawancara. Setelah selesai, peneliti tadi minta kepada wanita lesbian  tersebut untuk bisa mewawancarai teman lesbian lainnya. Setelah jumlah  wanita lesbian yang berhasil diwawancarainya dirasa cukup, peneliti bisa  mengentikan pencarian wanita lesbian lainnya. . Hal ini bisa juga  dilakukan pada pencandu narkotik, para gay, atau kelompok-kelompok  sosial lain yang eksklusif (tertutup)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar