Pemerintah Tolak Cantumkan Kemiskinan
Rabu, 22 September 2010
JAKARTA (Suara Karya): Pemerintah tidak menanggapi usulan Komisi XI DPR untuk mencantumkan asumsi tingkat kemiskinan dan pengangguran dalam rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara (RUU APBN) 2011. Seperti diketahui, Komisi XI DPR menganggap asumsi tingkat kemiskinan dan pengangguran penting untuk dicantumkan dalam batang tubuh RUU APBN 2011. Ini terungkap saat pembahasan asumsi makro rancangan APBN 2011 oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Agus Martowardojo dan Komisi XI DPR di Jakarta, Selasa (21/9). "Kami masih mendalami dan mengkaji. Tapi, kalau dimasukkan dalam batang tubuh UU APBN, pemerintah sulit mendukung," kata Menkeu Agus Martowardojo. Menurut dia, penolakan pemerintah ini dikarenakan pembahasan mengenai tingkat kemiskinan dan pengangguran telah dicantumkan dalam rencana kerja pemerintah (RKP). Dalam hal ini, RKP merupakan lampiran dalam RUU APBN 2011. "Jadi, kami sampaikan target-target pencapaian pengurangan kemiskinan dan pengangguran di RKP. Ini bagian yang tidak terpisahkan dari UU APBN," ujarnya. Menkeu sendiri masih berpendapat asumsi-asumsi makro yang seharusnya dibahas dalam RAPBN 2011, antara lain pertumbuhan ekonomi, laju inflasi, nilai tukar kurs rupiah terhadap dolar AS, suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) tiga bulan, serta harga dan produksi riil (lifting) minyak. Pemerintah mengusulkan asumsi makro RAPBN 2011, antara lain pertumbuhan ekonomi 6,3 persen, nilai tukar Rp 9.300 per dolar AS, inflasi 5,3 persen, suku bunga SBI tiga bulan 6,5 persen, harga minyak ICP 80 dolar AS per barel, dan lifting 0,970 juta liter per hari. "Ini sebagai dasar menyusun besaran angka dalam APBN. Namun, terkait angka kemiskinan dan pengangguran agak sulit," tutur Agus. Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua Komisi XI DPR Harry Azhar Azis mengganggap asumsi tingkat kemiskinan dan pengangguran perlu dicantumkan dalam RUU APBN 2011. Ini karena sasaran akhir dari APBN untuk menyejahterakan rakyat. "Sasaran akhir APBN adalah menyejahterakan rakyat, dan pemerintah tidak mau ada angka pasti yang ingin dicapai di 2011," ujarnya. Harry Azhar Azis juga mengusulkan agar garis kemiskinan disesuaikan dengan pertumbuhan ekonomi. "Bagaimana kita dorong angkanya sesuai dengan pertumbuhan ekonomi (2011), yaitu 6,3 persen. Bisa tidak," ujar anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar ini. Sementara itu, anggota Komisi XI DPR Maruarar Sirait berpendapat agar asumsi tersebut dimasukkan dalam RAPBN 2011. Ini dilakukan agar ukuran serta paramater pemerintah dan DPR bisa disamakan, khususnya dalam menyikapi angka kemiskinan dan pengangguran. "Ada penelitian bahwa 1 persen angka pertumbuhan ekonomi tidak sama dengan (penciptaan lapangan pekerjaan untuk) 400.000 jiwa. Ini harus saya sampaikan apa adanya agar tidak salah mengerti. Ini juga supaya jangan pemerintah disalahkan karena ukuran tidak sama. Alangkah baiknya ukuran pemerintah dan DPR sama serta dengan parameter sama. Kalau tidak, maka repot," katanya. Di sisi lain, anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Andi Rahmat mengusulkan agar pemerintah menaikkan garis kemiskinan untuk mengurangi lebarnya jurang ketimpangan sosial. "Saya usul ukuran garis kemiskinan per kapitanya kita naikkan. Jadi, jangan Rp 155.000 lagi per bulan (untuk makanan)," katanya. Menurut dia, pengeluaran untuk makanan sebesar Rp 5.000 per hari per orang sudah tidak realistis. Sementara harga bahan pangan, seperti beras, sudah jauh lebih tinggi melampaui angka tersebut. "Apa Rp 5.000 per hari itu cukup? Harga beras saja sekarang sudah Rp 7.000 per kilogram," ujarnya. Sebelumnya, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Rusman Heriawan menjelaskan, kategori orang miskin adalah yang tidak mampu memenuhi kebutuhan 2.100 kilo kalori per hari atau sekitar Rp 155.615 per bulan. ini berarti sekitar Rp 5.000 per hari secara rata-rata nasional. Adapun kebutuhan dasar minimal untuk nonmakanan, seperti biaya bahan bakar, pendidikan, dan kesehatan, sekitar Rp 56.000 per bulan. "Jadi garis kemiskinan adalah pengeluaran Rp 212.000 per bulan per orang. Ini rata-rata nasional," ujarnya. Berdasarkan ketentuan ini, pada Maret 2010 terdapat sekitar 31 juta orang miskin dari 237 juta penduduk Indonesia atau 13,3 persen. BPS menghitung garis kemiskinan tertinggi terjadi di Provinsi DKI Jakarta, yaitu Rp 331.000 per bulan per orang. Sementara beberapa daerah yang garis kemiskinannya di atas Rp 250.000 atau di atas rata-rata nasional, antara lain Provinsi Aceh Rp 278.000, Riau Rp 256.000, Bangka-Belitung Rp 286.000, dan Kepulauan Riau Rp 300.000. "Jawa tengah cukup moderat, yaitu di bawah Rp 200.000, tepatnya Rp 192.000. Jadi, orang hidup di Aceh lebih sulit daripada di Yogyakarta," tuturnya. Di lain pihak, peneliti Pusat Penelitian Ekonomi (P2E) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Latief Adam mengatakan, program penuntasan kemiskinan masih memiliki kelemahan. Ini akibat efektivitas anggaran negara dalam menurunkan angka kemiskinan yang semakin berkurang. Ini merupakan hasil penelitian LIPI pada periode 2000-2004 bahwa setiap kenaikan 1 persen anggaran mampu menurunkan 0,4 persen kemiskinan. Namun, pada 2005-2009 justru menurun menjadi 0,06 persen. "Artinya, pada periode 2005-2009, semakin tidak efektif anggaran pengentasan kemiskinannya. Ini terjadi karena program-program yang ada tidak disesuaikan dengan political will (kebijakan politik) yang jelas," ujarnya. (Indra/Andrian)
Sumber: http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=262311
Tidak ada komentar:
Posting Komentar