Waspadai Jajanan Anak di Sekolah
LIBURAN Hari Raya Idulfitri 1431 H usai sudah. Kini, sejumlah anak-anak sudah memasuki bangku sekolah lagi. Menjalani rutinitas yang seperti biasanya. Belajar dan belajar.
Di balik kewajiban anak yang harus belajar, orangtua juga patut memberikan kewajiban untuk memberikan perlindungan ekstra. Bukan masalah pembiyaan sekolah. Namun juga mengenai apa yang dilakukan di sela-sela atau sesudah kegiatan belajar. Yakni jajan.
Masalah jajanan seperti terkesan sepele dan bahkan diremehkan. Banyak orangtua yang masih tidak sadar, jajanan di sekolah dapat menjadi ancaman keselamatan kesehatan anaknya. Berdasarkan kajian dan penyidikan dari Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM) Bandung beberapa waktu lalu, 30% dari sekolah yang ada terutama di tingkat sekolah dasar (SD), sejumlah jajanannya masih menggunakan bahan/zat kimia yang dapat mengganggu kesehatan peserta didik.
"Sejumlah makanan dan jajanan tersebut si antaramya mi dan bakso yang menggunakan formalin. Begitu juga dengan sirup, gulali, dan arumanis," ungkap Plt Kabid Sertifikasi dan Layanan Informasi Konsumen BBPOM Jabar, Dela Triatmini, belum lama ini.
Hasil uji klinis/laboratorium pada sirup, diketahui menggunakan pewarna rhodamin, yakni zat pewarna sintetis yang biasa digunakan pada produk tekstil. Guna memperkuat rasa manis sejumlah pedagang menggunakan gula biang dan parahnya menggunakan air mentah. Sedangkan gulali dan arumanis sama-sama menggunakan rhodamin B dan gula biang.
"Padahal bila terus mengonsumsi rhodamin B bisa menyebabkan gangguan pada fungsi hati, bahkan kanker hati. Sementara jika mengonsumsi makanan yang mengandung rhodamin B, dalam tubuh akan terjadi penumpukan lemak, sehingga lama-kelamaan jumlahnya terus bertambah," tuturnya.
Sementara gula biang berpotensi bisa mengakibatkan penyakit kanker kandung kemih pada manusia. Efek dari rhodamin B ataupun gula biang ini baru akan kelihatan setelah puluhan tahun.
Keracunan
Tidak salah jika jajanan patut diwaspadai. Simak pula hasil penelitian Institut Pertanian Bogor (IPB). Tingkat SD menempati ranking pertama dalam kasus keracunan yang berasal dari makanan. Dari 3.239 kasus yang terjadi, 26,09% atau sekitar 845 kasus berasal dari sekolah. Dari jumlah kasus tersebut, didominasi tingkat SD yakni 78,57% kasus dan 3,57%-nya di tingkat taman kanak-kanak.
"Zat pewarna, hingga pemutih, penyedap rasa, dan pengawet menjadi asal mula keracunan tersebut," ujar Dr. Yadi Haryadi dari Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB dalam satu kesempatan di Kota Bandung.
Apakah masalah ini menjadi tanggung jawab orangtua sepenuhnya? Tidak juga. Sebab di sekolah, guru harus pula berperan sentral dan menjadi kunci utama dalam pengawasan atas beredarnya makanan/jajanan yang akan dikonsumsi siswanya.
Agar tidak mudah tertipu, masyarakat atau sekolah perlu juga memberikan pengertian kepada anak dan peserta didiknya. Salah satunya adalah bersikap waspada atau jangan membeli makanan yang secara fisik berwarna mencolok.
Kantor Kementerian Pendidikan Nasional RI pun kini sudah melangkah jauh dengan ide dan kucuran dana sebesar Rp 25 juta untuk pembuatan kantin sehat di sejumlah SD. Di mana penyediaan air bersih terpenuhi dan makanan yang dijual memenuhi standar kesehatan.
Namun jika dana tersebut belum didapat sekolah, Della mengatakan, cukup melakukan koordinasi dengan para pedagang jajanan agar tidak lagi menggunakan bahan berbahaya.
Pengawasan dan pemberian informasi sudah. Jika masih ragu, maka tentu ini dikembalikan pada peran orangtua. Seperti yang pernah disampaikan artis dan ibu tiga anak Sahnaz Haque, akan lebih baik jika orangtua tidak lagi memberikan bekal materi kepada anaknya saat bersekolah. Berikan juga bekal makanan dari rumah. Karena lebih baik mencegah daripada harus mengobati. Setuju? (rinny rosliani/"GM")**
Sumber: http://www.klik-galamedia.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar