TEMPO Interaktif, Jakarta - Mengayuh sepeda rutin dilakoni Hendra Karunia, 35 tahun, sejak dua tahun lalu. Tiga hari dalam sepekan ia bersepeda dengan rute dari rumahnya di kawasan Ciputat ke kantornya di Jeruk Purut, Jakarta Selatan. Jarak sekitar 19 kilometer itu ditempuhnya dalam dua jam.
Ada tiga alasan Hendara memutuskan rutin bersepeda. Yang pertama agar badan lebih fit. "Saya gampang kena flu. Tapi, setelah rutin bersepeda, saya jadi jarang flu," ujar pria dengan tinggi badan 180 sentimeter dan berat badan 70 kilogram ini.
Alasan kedua adalah untuk membantu kestabilan emosi. "Karena kalau pakai kendaraan biasa suka kesal kalau macet," ujar Hendra. Yang ketiga adalah untuk berhemat. "Karena bisa menekan pengeluaran untuk beli bensin," katanya.
Namun, sejak puasa hingga Lebaran tahun ini, Hendra menghentikan kegiatan rutinnya itu. Salah satu penyebabnya adalah cuaca yang kurang bersahabat. "Hujan terus," ujar desainer grafis di salah satu perusahaan iklan ini.
Walhasil, ia merasakan ada perbedaan di tubuhnya karena penghentian aktivitas itu. "Sebelumnya, saya merasa badan lebih fit, tidur juga lebih nyenyak," kata dia Jumat lalu. Seusai lebaran, Hendra pun berkomitmen untuk kembali rutin bersepeda.
Lain lagi dengan Rinaldi, 31 tahun. Staf public relations di perusahaan elektronik yang memulai kebiasaan berjalan kaki sejak dua bulan lalu ini juga sempat menghentikan kebiasaannya itu. Biasanya setiap hari dia berjalan kaki dari rumahnya di kawasan Blok M menuju kantornya di kawasan Jalan Sudirman, Jakarta Selatan. "Jaraknya kira-kira 2 kilometer. Biasanya saya tempuh dalam waktu setengah jam," ujarnya.
Manfaat berjalan kaki yang dirasakan Rinaldi adalah tubuhnya lebih segar ketika sampai di kantor. Selain itu, "Otot betis saya terasa lebih kencang," ujar lajang dengan tinggi badan 180 sentimeter dan berat 95 kilogram ini.
Spesialis kedokteran olahraga Michael Triangto memuji kebiasaan Hendra dan Rinaldi. Namun, kata Michael, jika seseorang menghentikan kebiasaannya berolahraga dan ingin memulainya kembali, ada hal-hal yang harus diperhatikan.
Menurut Michael, seseorang yang sebelumnya biasa bersepeda selama dua jam untuk menempuh jarak dari rumah ke kantor, mesti memperpanjang durasi bersepedanya. Misalnya menjadi tiga jam. "Artinya, untuk membiasakan kembali, speed bersepeda mesti diperlambat. Agar badan tidak kaget," ujar Direktur Slim + Health Sports Therapy di Rumah Sakit Mitra Kemayoran dan Mal Taman Anggrek itu.
Setelah badan menyesuaikan, durasi bersepeda bisa dikembalikan ke kebiasaan semula. "Kalau langsung ke durasi sebelumnya, tubuh bisa mengalami cedera," ujar Michael.
Setelah bersantap makanan khas Lebaran, lemak akan bertumpuk di tubuh kita. Bersepeda, kata Michael, merupakan salah satu cara untuk membakar lemak dalam tubuh serta membentuk otot di paha depan, paha belakang, betis, pinggang, punggung, dan pantat.
Lalu bagaimana dengan otot perut, karena biasanya lemak juga bisa menumpuk di perut? Untuk membakar lemak di perut, Michael menyarankan untuk melakukan olahraga tambahan dengan berjalan kaki. "Tidak usah repot-repot. Pada saat jam istirahat, sisihkan saja waktu 30 menit untuk berjalan santai di sekitar kantor," ujarnya. Dengan berjalan kaki, otot di perut akan bergerak sehingga bisa membakar lemak.
Namun Michael mengingatkan untuk tidak berolahraga secara berlebihan seusai Lebaran. Berkeringat, menurut dokter yang mengambil spesialis kesehatan olahraga di Universitas Indonesia ini, bukanlah patokan seseorang berhasil dalam berolahraga.
Keringat berlebih, kata penulis buku Langsing & Sehat dengan Sports Therapy itu, malah dapat membuat tubuh kekurangan cairan dan mengalami dehidrasi. "Jadi, supaya tubuh bugar, olahraga selama 30 menit setiap hari sudah cukup," kata Michael.
Olahraga yang berlebihan dapat diketahui dari intensitas detak jantung per menit. Detak jantung maksimal adalah 220 kali per menit dikurangi usia seseorang. Misalnya, untuk orang berusia 30 tahun, maka detak jantung maksimalnya adalah 220-30 = 190 kali per menit.
Olahraga yang baik, kata Michael, cukup menggunakan 60-80 persen dari detak jantung maksimal. Artinya, orang dengan usia 30 tahun hanya boleh berolahraga yang menghasilkan detak jantung 152 kali per menit (80 persen dari 190 kali per menit).
Bila detak jantung melebihi angka ini, olahraga orang tersebut harus diringankan karena bisa merusak jantung. Pengukuran detak jantung ini bisa dilakukan manual dengan memegang nadi tangan dan menghitungnya atau dengan menggunakan alat ukur.
Bersepeda, berjalan, dan berlari, menurut dokter lulusan Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta itu, adalah contoh olahraga kardio yang sifatnya ringan, durasinya (waktu melakukan) panjang dengan intensitas sering.
Pemilihan jenis olahraga ini akan bergantung pada tujuan seseorang dalam berolahraga serta berat badan. Orang dengan berat badan lebih dari 100 kilogram disarankan untuk tidak melakukan olahraga lari dan berjalan. "Karena lutut bisa berbenturan ketika menyangga berat tubuh," kata Michael.
Namun olahraga sepeda bisa menjadi pilihan orang yang memiliki berat badan di atas 100 kilogram. "Karena berat badan akan ditanggung sebagian oleh sadel," kata Michael. Agar kembali bugar setelah berlibur, selain berolahraga, ia mengingatkan untuk menjaga asupan makanan.
FANNY FEBIANA
Sumber: http://www.tempointeraktif.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar