Faktor Ekonomi
Menurut Depdikbud (1993) adalah ilmu mengenai asas-asas produksi, distribusi dan pemakaian barang-barang serta kekayaan (seperti hal keuangan, pendistribusian dan perdagangan). “Ekonomi adalah segala kegiatan yang bisa menghasilkan uang, prinsipnya ekonomi adalah modal yang sekecil-kecilnya menghasilkan untung yang sebesar-besarnya. Sedangkan menurut Depkes (2001) sesuai dengan hukum ekonomi, semakin tinggi pendapatan penduduk, maka semakin tinggi pula pengeluaran yang dibelanjakan.
Tingkat kesejahteraan suatu rumah tangga dapat dilihat dengan jelas melalui besarnya pendapatan yang diterima rumah tangga. Data mengenai pendapatan rumah tangga yang diperoleh dari survei sosial ekonomi nasional menggunakan pendekatan pengeluaran rumah tangga sebagai indikator produksi. Karena dengan semakin tinggi persentase pengeluaran untuk makanan terhadap total pengeluaran rumah tangga perbulan, menunjukkan semakin rendahnya tingkat ekonomi penduduk (Depkes RI., 2001).
Berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik Lampung tahun 2000 penggolongan tingkat ekonomi dibedakan menjadi : a) rendah (di bawah Rp. 325.000,-/bulan), b) sedang (Rp. 325.000,- s/d 700.000,- / bulan) c) tinggi (lebih Rp. 700.000,-/ bulan).
Keluarga dengan tingkat ekonomi tinggi, biasanya ingin mendapat pelayanan yang baik dan tempat pelayanan yang bagus sedangkan tingkat ekonomi menengah dan rendah, biasanya mereka tidak memperdulikan tempat, hal-hal penunjang pelayanan lainnya, yang terpenting adalah pelayanan baik (Depkes. 1996).
Faktor Pendidikan
Pendidikan adalah proses perubahan sikap atau tatalaku atau kelompok orang dalam usaha manusia melalui upaya pengajaran dan proses, perbuatan, cara mendidik (Depdikbud, 1993). Sedangkan menurut Syahlan (1996) pendidikan adalah uapay untuk memberi pengetahuan kepada anggota masyarakat tentang kesehatan sehingga terjadi perubahan perilaku yang positif yang tirus meningkat terhadap kesehatan diri, keluarga dan masyarakat.
Keluarga yang berpendidikan tinggi akan cepat awas terhadap perubahan kesehatan keluarganya. Mereka yang berpendidikan tinggi akan segera mencari bantuan kepada tenaga kesehatan atau unit pelayanan kesehatan. Keluarga yang berpendidikan rendah pada umumnya pasrah bila gangguan kesehatan menimpa anggotanya. Mereka akan meminta bantuan bila masalah kesehatan sudah berat (Shaylan, 1996).
Menurut Depkes (1996) rendahnya tingkat pendidikan dan buta huruf pada wanita menyebabkan ibu-ibu tidak mengetahui tentang perawatan selama hamil, bersalin, perawatan bayi dan semasa nifas. Tingkat pendidikan penduduk baru mencapai rata-rata. Proporsi tamat SLTP, SLTA dan perguruan tinggi menurun drastis terutama untuk wanita.
Pendidikan sangat mempengaruhi sikap ibu dalam memilih kepada siap aia akan meminta pertolongan dalam hal persalinan. Adapun tingkat pendidikan yang akan diteliti disini meliputi SD, SLTP, SLTA dan perguruan tinggi.
Faktor sosial budaya
Kebudayaan adalah hasil kegiatan dan akal budi manusia seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat, keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalaman dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya (Depkes. RI., 1996).
Menurut Depkes (1998) Budaya adalah nilai yang telah dihayati atua diamati oleh seorang atau kelompok masyarakat yang selanjutnya membentuk sikap mental atau pola berpikir yang dapat mewarnai pola tingkah laku atau perilaku dalam berbagai aspek kehidupan.
Keadaan sosial budaya di Indonesia menempatkan peristiwa kehamilan dan melahirkan bukan hanya sebagai urusan pribadi antara ibu dan suami dengan pelayan kesehatan, tetapi juga menjadikan urusan pihak lain seperti keluarga, kerabat bahkan penduduk di wilayah tempat tinggalnya. Melahirkan pada dasarnya sangat ketat dengan norma, adat istiadat setempat yang sangat beragam dan sering tidak menguntungkan dilihat dari segi kesehatan (Intraksi, 2000).
Budaya Indonesia yang menghormati orang tua memberi pengaruh kepada pengambilan keputusan dalam keluarga, kehadiran orang tua di dalam keluarga juga mempengaruhi dalam upaya kesehatan keluarga. Misalnya ibu yang akan melahirkan dapat dipengaruhi oleh orang tua dalam mengambil keputusan apakah lebih baik melahirkan di rumah atau di rumah sakit (Syahla, 1946).
Faktor Bidan
Bidan adalah seorang wanita yang telah mengikuti program pendidikan bidan dan lulus ujian sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan (Permenkes RI, No. 900/Menkes/SK/VII/2002). Sedangkan menurut Syahlan (1996) bidan dalam menjalankan tugasnya senantiasa harus berpedoman pada peran, tugas dan tanggung jawab sesuai dengan kebutuhan klien, keluarga dan masyarakat. Dalam memberikan pelayanan kebidanan faktor sosial budaya turut mendapat perhatian. Di dalam memberikan pelayanan kepada ibu hamil dan bersalin agar diupayakan tidak bertentangan dengan kebiasaan, adat istiadat, kepercayaan dan agama di masyarakat.
Agar seluruh tugas dan fungsi dan agama di masyarakat, seluruh efektif, bidan harus mengupayakan hubungan yang efektif dengan masyarakat, salah satu kunci keberhasilan hubungan yang efektif adalah komunikasi. Upaya lain bidan dalam melakukan tugasnya mempromosikan dirinya dengan menampilkan kepribadian yang berlaku di masyarakat. Untuk dapat menampilkan kepribadian yang sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku, bidan harus mempelajari sosial budaya, struktur pemerintahan, adat istiadat, kepercayaan dan agama (Depkes. 1996).
Menurut Interaksi (2000) penelitian dari comunity health and nutrition research laboratory faculty of medicine Gajah Mada University di Kabupaten Purworejo Jawa Tengah (1997) mengungkapkan fakta mengapa ibu tidak atau engan meminta pertolongan persalinan kepada bidan sebagai berikut : jarak jauh, sering tidak ditempat, bidan masih muda, alat tidak lengkap, bidan kurang sabar, kurang kemampuan medis, tidak melaksanakan adat dan sering dirujuk. Sedangkan keinginan atau harapan ibu tentang bidan adalah sedia tinggal di masyarakat, bersikap dewasa, tenang, sabar, menghormati tradisi, ongkosnya murah dan mampu melaksanakan uapacara adat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar